Oleh: Linda Maulidia, S.Si
Seputar kawin anak acap kali dikambinghitamkan sebagai penyebab putus sekolah, anak terlantar, meningkatnya perceraian, bahkan KDRT karena ketidaksiapan mental dan ekonomi. Dalam sebuah Seminar Nasional Cegah Kawin Anak di Semarang, Kementerian Agama (Kemenag) memberi edukasi tentang bahaya praktik perkawinan anak kepada ratusan pelajar madrasah dan sekolah.
Ini adalah Kesimpulan yang serampangan dan membahayakan. Perlu ada data yang oyektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi tuduhan yang menyesatkan. Dan Hal ini adalah ironis, karena di sisi lain, justru remaja dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang pro seks bebas. Menikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi.
Pencegahan perkawinan anak sejatinya adalah amanat SDGs yang merupakan program Barat yang harus diwujudlkan juga di negeri-negeri muslim. Tentu saja program tersebut berpijak pada paradigma Barat, yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Di antara targhet yang akan dicapai adalah pengentasan stunting dan pencegahan pernikahan anak, yang dijadikan proyek nasional dalam RPJMN 2020-2024. Angka perkawinan anak ditargetkan turun dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024. dan target ini akan berdampak kepada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga muslim, bahkan akan menghancurkan keluarga muslim.
Agama jika dipisahkan dari kehidupan akan menghasilkan masyarakat dan peraturan yang memuja syahwat, untung rugi menjadi pertimbangan. Kebebasan berbicara dan bersikap menghantarkan pada penyimpangan dan kerusakan moral. Pergaulan bebas, pemerkosaan, pencabulan, hamil di luar nikah yang berujung aborsi semakin menjadi budaya. Parahnya lagi solusi yang diberikan berupa sosialisasi alat pencegah kehamilan.
Kebijakan yang tidak berorentasi pada penyelamatan generasi, pencegahan apalagi penjerahan pada pelaku kemaksiatan menghantarkan pada kegagalan nikah dini.
Kebijakan yang ada berupa imbauan-imbauan saja tanpa mengindahkan syahwat yang bisa muncul kapan dan pada siapapun. Untuk meletakkan batasan kemaksiatan dan batas usia pelaku saja tidak jelas. Bagaimana bisa usia 18 tahun dikatakan masih anak-anak karena merujuk pada konvensi hak anak dalam PBB?
Seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, bukan menyibukkan diri mencegah perkawinan anak (yang sebenarnya kategori mereka bukan anak-anak menurut syariat sehingga sebenarnya perkawinan mereka sah menurut syara’).
Islam Kaffah, Solusi Tuntas
Dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah, berbagai hal yang menjadi problem hari ini –yang muncul karena penerapan sistem sekuler kapitalisme- dapat terselesaikan. Termasuk terjaganya pergaulan antara laki-laki dan Perempuan yang akan mencegah pergaulan bebas dan segala dampaknya. Rakyat pun hidup Sejahtera karena sistem ekonomi islam akan menjamin terwujudnya kesejahteraan. Pun sistem media akan makin mneguatkan kepribadian Islam
Pernikahan dalam Islam boleh dilakukakan kapan pun tanpa batasan umur, selama tidak ada paksaan, ada kesiapan ilmu, kesiapan memberi nafkah, kesiapan fisik walaupun belum haid. Hari ini narasi keburukan pernikahan dini seolah-olah benar karena melihat fakta yang ada berdasarkan pandangan sekularisme kapitalisme.
Semua mengambil peran secara terintegritas mulai dari individunya, masyarakat bahkan negara. Kebolehan pernikahan disertai penjagaan dari semua sisi oleh keluarga dan negara. Keluarga menanamkan tanggung jawab, negara memfasilitasi pendidikan pra nikah, penjagaan akidah umat, bahkan pemenuhan lapangan kerja bagi laki-laki. Dalam khasanah kehidupan Islam tidak ada pelarangan nikah dini dengan alasan-alasan yang sebenarnya bisa diatur, dirubah dan diperbaiki. Bagaimana keberkahan rumah tangga bisa didapat sementara kemuliaan negerinya bukan milik Allah, rasul-Nya dan bukan pula milik kaum muslim. Keluarga sakinah, mawaddah, warahmah hanya ada dalam penjagaan negara yang berperadaban tinggi dari semua sisi.
Di dalam Shahih Muslim dituturkan sebuah riwayat dari Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah saw. menikahiku pada usiaku yang keenam. Dan beliau tinggal serumah denganku pada usiaku yang kesembilan.” (HR. Muslim)
Wallahua'lam
Tags
Opini