Oleh : Eti Fairuzita
Harga pangan disebut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sebagai salah satu penyebab terjadinya deflasi di Indonesia lima bulan berturut-turut. Pada September 2024, deflasi Indonesia sebesar 0,12 persen secara bulanan atau month to month (mtm).
Ekonom Pangan dan Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menyebut menurunnya harga pangan (volatile food) selaras dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sektor pertanian September 2024, yang terus menurun sejak mencapai puncaknya di April 2024.
“IHPB pertanian bulan September 2024 mencapai 2,14 persen (yoy), terus menurun sejak mencapai puncaknya pada momen Idul Fitri April 2024 lalu (9,10 persen yoy). Jadi memang penyebab utama deflasi ini karena kenaikan harga pangan amat sangat tinggi di akhir 2023 hingga awal tahun 2024,” kata Eliza kepada kumparan, Sabtu (5/10).
Eliza mengatakan harga komoditas sayuran anjlok disebabkan oleh oversupply yang tidak diimbangi dengan kemampuan penyimpanan komoditas sayuran untuk jangka panjang. Situasi ini juga membuat banyak petani merugi karena membusuknya komoditas sayuran.
“Mengingat karakteristik tanaman sayuran ini mudah busuk, ketika harga anjlok seperti saat ini petani lebih memilih diberikan hasil panennya bahkan ada yang dibuang karena dari pada lama disimpan di petani ini akan membusuk,” ujar Eliza.
Eliza mengungkapkan hampir 56 persen konsumsi dari masyarakat kelas menengah dan bawah adalah untuk kebutuhan pangan. Namun, kini ketika jumlah kelas menengah menurun, daya beli juga ikut menurun. Situasi ini juga perparah dengan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Akhirnya daya beli masyarakat terus melemah hingga saat ini. diperparah dengan banyaknya PHK yg menyebabkan daya beli masyarakat kian tertekan,” kata Eliza.
Eliza menuturkan situasi ini sebenarnya sudah mulai dirasakan pada akhir 2023 dan kondisi daya beli masyarakat terus melemah hingga saat ini.
“Sebetulnya lampu kuning pelemahan daya beli ini sudah terasa sejak akhir tahun 2023 bahkan. Saat ini sudah beneran melemah,” tutur Eliza.
Deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas "masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja," kata ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.
Karena itu, permintaan bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% mustahil terwujud. Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli.
Hal ini sudah dirasakan oleh sejumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Salah satunya, Eli Kamilah di Subang, Jawa Barat. Kedai kopinya di Desa Sukamandijaya sepi pembeli sudah beberapa pekan terakhir.
"Pernah yang beli cuma lima orang, padahal biasanya tuh bangku selalu penuh," ujar Eli kepada BBC News Indonesia.
Untuk mengatasi persoalan ini, presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, diminta melakukan langkah cepat ketika sudah dilantik nanti.
Antara lain, dengan memberikan insentif hingga operasi pasar agar produk-produk UMKM tetap dilirik masyarakat sampai mengevaluasi ulang kebijakan hilirisasi sektor padat modal yang dianggap tak berdampak pada lapangan kerja.
Deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut, merupakan indikasi pemerintah tidak mampu mengatasi penurunan daya beli masyarakat. Alhasil, kondisi ini berdampak pada penurunan harga-harga barang dan jasa. Dalam jangka panjang akan mengakibatkan pengurangan produksi dan pada akhirnya akan berujung pada PHK massal. Tidak bisa dipungkiri, kinerja sistem perekonomian Indonesia ditopang sebagian besarnya oleh konsumsi rumah tangga selama ini. Deflasi mengindikasikan rumah tangga tidak mampu memenuhi kebutuhan belanja barang dan jasa, sehingga mereka menahan daya belinya. Keputusan ini membuat konsumsi rumah tangga menurun, atau dengan kata lain daya beli masyarakat rendah secara signifikan. Jika daya beli sektor rumah tangga terus menurun, maka dampak secara langsung adalah pada kesejahteraan anggota keluarga termasuk ibu dan anak.
Hal tersebut tidak bisa pungkiri mengingat sebagian besar anggaran rumah tangga saat ini diketahui dikeluarkan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Dan pada faktanya, deflasi juga terjadi pada harga bahan pangan strategis seperti cabai, telur, daging ayam, dan tomat. Jika untuk biaya belanja kebutuhan pokok atau sembako saja keluarga sudah mengurangi konsumsinya, apalagi untuk mengeluarkan biaya pendidikan dan kesehatan yang lebih mahal. Alih-alih terpenuhi, rumah tangga sangat mungkin akan mengorbankan kebutuhan pendidikan dan kesehatan mengingat rendahnya kemampuan daya beli rumah tangga dan tingginya biaya jasa pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, bukan tidak mungkin generasi akan mengalami penurunan kualitas kesehatan dan pendidikan.
Seperti inilah jika masyarakat diatur oleh ekonomi kapitalisme yang meniscayakan terjadinya monopoli kebutuhan pokok dan komersialisasi kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
Sangat berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Islam menetapkan kebutuhan atas pangan, papan, dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap individu rakyat. Islam juga menetapkan berbagai kebutuhan dasar publik seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh masyarakat. Semua ketersediaan kebutuhan-kebutuhan tersebut akan menjamin kesejahteraan rakyat bahkan diibaratkan seolah-olah memperoleh dunia secara keseluruhan.
Rasulullah saw Bersabda : 'Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi hari dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat, dan mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia'(HR. At-Tirmidzi).
Hadist ini menunjukkan konsep jaminan kesejahteraan dalam Islam. Tentu saja pelaku penjamin kesejahteraan rakyat bukan rakyat itu sendiri atau individu rakyat yang kaya raya. Islam menetapkan negara adalah pengurus, yang akan menjadi pelaku utama penjamin kesejahteraan bagi rakyat. Negara ini dikenal dengan sebutan Khilafah.
Untuk kebutuhan pokok, negara Khilafah menjaminnya secara tidak langsung. Negara akan menyiapkan lapangan pekerjaan yang sangat cukup, bahkan lebih dari cukup untuk setiap para laki-laki hingga tidak ditemukan seorang pun laki-laki yang tidak mendapatkan pekerjaan. Dampak jaminan pekerjaan bagi para laki-laki sangat luar biasa. Ketika laki-laki mendapat pekerjaan yang layak, mereka bisa menjalankan kewajiban memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, serta mampu menafkahi kerabat dekat untuk membantu saudaranya. Seandainya ada warga Khilafah yang tidak memiliki sanak saudara untuk menafkahinya, maka Khilafah akan menanggung nafkahnya.
Jika syariat ini berjalan, maka roda perekonomian rumah tangga akan berjalan, karena daya beli masyarakat akan terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Adapun untuk kebutuhan dasar publik akan dijamin secara langsung oleh negara. Kebutuhan dasar publik dalam Khilafah bukan objek komersialisasi sebagaimana yang terjadi saat ini. Secara fakta, kebutuhan tersebut membutuhkan dana yang amat besar untuk dipenuhi sedangkan status perekonomian masyarakat berbeda-beda, ada yang mereka kaya ada pula yang miskin. Jika kebutuhan dasar publik itu diserahkan kepada individu-individu pasti akan memberatkan bagi yang tidak mampu. Padahal kesehatan, pendidikan, dan keamanan merupakan kebutuhan dan hak setiap rakyat. Karena itu, di dalam Khilafah kebutuhan dasar publik disediakan dalam bentuk jaminan sosial. Sehingga setiap rakyat akan mudah bahkan gratis mengaksesnya. Tidak ada diskriminasi pelayanan akibat tarif biaya yang mampu dibayar.
Tentu saja agar jaminan ini bisa berjalan, dibutuhkan anggaran yang besar. Namun hal ini tidak menjadi masalah dalam negara Khilafah karena sistem keuangan negara Khilafah ditopang oleh Baitul Mal. Baitul Mal memiliki tiga pos pendapatan yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat. Untuk menjamin kebutuhan dasar publik, Khilafah mengambil anggaran dari pos kepemilikan umum atau juga bisa dari pos kepemilikan negara. Hanya saja, sekalipun sistem ekonomi Islam bisa menjauhkan rakyat dari deflasi, namun dibutuhkan pula sistem Islam yang lain agar kebijakan tersebut bisa berjalan. Karena itu, kebutuhan menghadirkan Khilafah untuk mencegah deflasi sangat mendesak untuk diwujudkan.
Wallahu alam bish-shawab
Tags
Opini