Oleh Wulansari Rahayu
Maraknya kawin anak dianggap sebagai penghambat terwujudnya generasi berkualitas, apalagi kawin anak dituding identik dengan putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, terjadinya stunting, KDRT dan hal-hal yang dianggap negatif. Bahkan dianggap perlu mengangkat remaja sebagai agen untuk mencegah perkawinan anak.
Kesimpulan yang serampangan dan membahayakan. Perlu ada data yang oyektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi tuduhan yang menyesatkan. Dan Hal ini adalah ironis, karena di sisi lain, justru remaja dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang pro seks bebas. Menikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi.
Seharusnya pemerintah lebih focus pada kebijakan kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, bukan menyibukkan diri mencegah perkawinan anak (yang sebenarnya kategori mereka bukan anak-anak menurut syariat sehingga sebenarnya perkawinan mereka sah menurut syara’.
Faktanya, beragam faktor yang menjadi pemicu terjadinya problem kawin anak yang salah kaprah, di antaranya pertama, adanya kesempitan ekonomi yamg semakin parah, hingga membuat banyak keluarga menjadikan kawin anak sebagai solusi untuk mengurangi beban keluarga, dengan harapan si anak perempuan akan ada yang menafkahi. Masalahnya, laki-laki saat ini juga tidak memiliki kesempatan yang luas untul mendapat pekerjaan yang layak.
Kedua, problem pergaulan bebas yang semakin marak. Interaksi ala Barat dianggap sebagai bentuk mengikuti gaya kekinian. Banyak remaja yang tidak lagi memiliki rasa malu hingga mengumbar kehidupan pergaulan dan sekualitas secara bebas. Hal ini membuat sebagian dari mereka memilik nikah dini sebagai solusi.
Ketiga, sebagian daerah telah menjadikan kawin anak sebagai adat kebiasaan turun menurun, ditambah pemikiran kekhawatiran jadi perawan tua atau tidak laku, sehingga orang tua segera ingin menikahkan anak-anaknya, tanpa pertimbangam mental dan ekonomi.
Keempat, kebebasan informasi dalam media sosial juga bisa menyebabkan terjadinya pernikahan dini. Konten-konten porno, adegan pacaran, hingga tayangan yang menampilkan kecantikan atau maskulinitas membuat seseorang terdorong untuk melakukan hal yang sama. Informasi yang bebas ini mendukung adanya pergaulan bebas. Alhasil, ketika sudah telanjur hamil, nikah dini jadi solusi.
Kelima, mayoritas remaja saat ini sebenarnya tidak siap menerima amanah besar. Mereka sukanya bersenang-senang dan belum siap mengarungi bahtera kehidupan. Kesulitan hidup saat ini dan susahnya mencari lapangan pekerjaan, membuat para lelaki tidak bisa memenuhi kewajibannya ketika menjadi suami. Akhirnya muncul pertengkaran antara suami istri. Kalau sudah demikian, perceraian pun dipandang sebagai jalan.
Secara global, pencegahan perkawinan anak sejatinya adalah amanat SDGs yang merupakan program Barat yang harus diwujudlkan juga di negeri-negeri muslim. Tentu saja program tersebut berpijak pada paradigma Barat, yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Di antara targhet yang akan dicapai adalah pengentasan stunting dan pencegahan pernikahan anak, yang dijadikan proyek nasional dalam RPJMN 2020-2024. Angka perkawinan anak ditargetkan turun dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024. dan target ini akan berdampak kepada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga muslim, bahkan akan menghancurkan keluarga muslim.
Dalam pandangan Islam, tidak ada masalah tatkala pernikahan dini hanya karena usia muda. Islam memang mengatur ada batasan usia menikah, yakni setelah balig dan mampu, syariat membolehkan bahkan mendorong seseorang untuk menikah. Namun demikian, Islam memahamkan setiap orang yang siap menikah juga harus paham akan konsekuensinya. Setelah menikah, mereka wajib menjalankan syariat pernikahan agar dapat mengarungi pernikahan dengan baik.
Dalam sistem Islam, pernikahan dini tidak menjadi soal. Ini karena dalam Islam, negara wajib menjamin rakyatnya atas kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, juga kesehatan dan pendidikan). Artinya, negara memberikan jaminan yang cukup kepada seluruh rakyatnya.
Selain itu, sistem pendidikan Islam juga akan mendidik generasi memahami tujuan penciptaannya dan peran yang telah Allah tetapkan. Mereka memiliki keimanan yang kuat dan keterampilan hidup yang cukup, serta mampu memahami hukum syarak. Semua itu akan menuntun mereka dalam menjalani pernikahan kelak. Dengan begitu, akan lahirlah keluarga yang kuat, beriman, dan bertakwa. Dari keluarga inilah lahir generasi-generasi unggul.
Oleh karena itu, kunci kuatnya generasi adalah dengan menerapkan semua aturan Islam. Jika semua ingin masalah pernikahan dini dan perceraian bisa teratasi tuntas, hanya Islam yang dapat menyelesaikan semua itu. Negara dalam Islam akan memastikan terjaganya generasi bahkan mencegah terjadinya hal-hal yang akan menyebabkam ada pihak-pihak yang berusaha menghancurkan keluarga muslim melalui pembatasan atau pencegahan angka kelahiran. Wallahua'lam
Tags
Opini