By : Ummu Aqsha
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP tak hanya mengatur kenaikan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen pada 2025. Beleid ini juga mengatur kenaikan tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya 2,2 persen menjadi 2,4 persen per 1 Januari 2025.
Kegiatan membangun rumah sendiri adalah kegiatan mendirikan bagunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan tersebut digunakan sendiri atau oleh pihak lain.
Artinya, bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha atau pekerjaan apapun.
Tarif PPN membangun rumah sendiri diatur secara rinci di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
“Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,” demikian tertulis di Pasal 3 ayat (2) PMK Nomor 61 Tahun 2022 tersebut, dikutip Tirto Jumat (13/9/2024).
Artinya, dengan tarif PPN yang saat ini berlaku ialah 11 persen, maka saat wajib pajak (WP) membangun rumah sendiri akan dikenakan PPN sebesar 2,2 persen (20 persen x tarif PPN 11 persen). Dengan demikian, jika per Januari nanti pemerintah mengerek PPN menjadi 12 persen, PPN atas KMS akan menjadi 2,4 persen (20 persen x tarif PPN 12 persen).
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/ atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah,” lanjut Pasal 3 ayat (3) aturan itu.
Meski begitu, tidak semua rumah yang dibangun atau direnovasi sendiri akan dikenakan tarif PPN 2,4 persen. Pada Pasal 2 ayat (4) dijelaskan, rumah yang dikenai PPN adalah bangunan yang berdiri di atas bidang tanah dan/atau perairan dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/ atau baja. Selain itu, bangunan diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha.
“Dan luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi),” bunyi beleid tersebut.
Sementara itu, kegiatan membangun sendiri dapat dilakukan sekaligus dalam jangka waktu tertentu atau bertahap, dengan jangka waktu antartahapan tak lebih dari 2 tahun. Ketika masa pembangunan antartahapan lebih dari 2 tahun, dianggap sebagai kegiatan membangun sendiri yang terpisah.
“Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu,” bunyi Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 61 Tahun 2022.
Problematik Rumah akibat
Sistem yang Rusak
Rumah merupakan problematik besar yang dihadapi masyarakat saat ini. Banyak orang yang tidak memiliki rumah. Sebagian lagi memiliki rumah, tetapi kondisinya tidak layak. Sulitnya kepemilikan rumah sejatinya akibat distribusi kepemilikan harta yang timpang sehingga segelintir orang bisa punya banyak rumah, sedangkan yang lainnya tidak punya rumah. Tidak hanya rumah, distribusi tanah juga sangat timpang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah rumah tangga yang belum punya rumah dalam lima tahun terakhir mencapai belasan juta. Mereka tidak tinggal di rumah milik sendiri, melainkan di kontrakan, rumah orang tua, atau menumpang pada keluarga lainnya. Pada 2021 ada 14,3 juta rumah tangga yang tidak tinggal di rumah sendiri. Jumlah itu setara dengan 18,9% dari total rumah tangga di Indonesia yang jumlahnya sekitar 75,6 juta. Jakarta menjadi wilayah dengan tingkat kepemilikan hunian terendah di Indonesia. Data BPS 2022 menunjukkan bahwa hanya 56,13% rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah.
Data tersebut menunjukkan betapa timpangnya kepemilikan rumah di Indonesia. Ketimpangan ini adalah keniscayaan dalam sistem kapitalisme karena sistem yang rusak menganut liberalisme ekonomi yang melegalkan para pengusaha bermodal besar untuk menguasai tanah seluas-luasnya. Negara bahkan memberikan kemudahan dan insentif pada perusahaan properti sehingga mereka leluasa menguasai tanah seluas apa pun.
Sebaliknya, rakyat kecil kesulitan memiliki rumah. Bagi mereka, membeli satu rumah saja butuh biaya yang sangat besar, begitu juga dengan membangun rumah. Harga tanah dan material seperti semen, batu, bata, pasir, kayu, dan cat melejit tinggi. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menyebabkan harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan sangat mahal. Hal ini membuat rakyat kesulitan untuk memiliki rumah.
Pekerjaan yang tersedia tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah yang memadai,
sementara rakyat yang membangun rumah yang memadai atau layak di kenakan pajak yang makin tinggi dan ini lah tidak ada upaya Negara untuk
meringankan beban rakyat,apalagi adanya penetapan pajak rumah.
Besaran pajak rumah berupa nilai tertentu sebesar jumblah biyaya yang di keluarkan dan atau di bayarkan untuk membangun bangunan dalam setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai,tidak termasuk biyaya perolehah tanah sesuai dengan ketetapan negara.
Nyatalah Negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan atau perumaham Masyarakat.
Penetapan pajak adalah suatu keniscayaan karena sumber pendapatan negara kapitalisme dari pajak.
Sistem Pemalak rakyat
Alih-alih membantu rakyat agar memiliki rumah, pemerintah justru berusaha merogoh dana rakyat dari segala sisi. Selama ini rakyat sudah dikenai PPh, PPN, PBB, PKB, maupun jenis pajak lainnya, tetapi pemerintah masih saja merasa kurang untuk menyedot dana masyarakat sehingga terus melakukan perluasan subjek dan objek pajak demi mengejar target penerimaan negara dari pajak.
Pemerintah sangat getol mengejar pajak sebagai konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Setiap tahun target pajak selalu dinaikkan. Subjek dan objek pajak juga diperluas. Ini artinya rakyat makin diperas untuk membayar pajak.
Sungguh, negara telah mengambil uang rakyat secara paksa atas nama pajak. Di sisi lain, kekayaan alam diserahkan secara gratis pada korporasi swasta kapitalis. Bahkan para pengusaha besar itu mendapatkan keringanan pajak. Ini jelas-jelas tidak adil. Namun, begitulah akibat penerapan sistem kapitalisme yang memalak rakyat.
Mengenai klaim pemerintah bahwa penerapan PPN KMS untuk mewujudkan keadilan karena orang yang membeli rumah kena pajak, ini juga tidak berdasar. Jika ingin adil, seharusnya negara menyediakan rumah murah bagi rakyat, tanpa pajak pembelian rumah maupun PPN KMS. Itu baru adil karena penyediaan rumah bagi rakyatnya adalah tugas negara. Sayang, jaminan penyediaan rumah tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme. Yang ada, rakyat justru dipalak di berbagai sisi.
Islam sebagai Solusi Tuntas
Dalam sistem Islam Sesungguhnya jaminan penyediaan perumahan hanya ada dalam sistem Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat secara orang per orang. Negara (Khilafah) menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat dengan gaji yang layak sehingga rakyat hidup sejahtera dan bisa membeli sandang, pangan, dan papan.
Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan papan masyarakat dengan membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat untuk memiliki rumah. Kebijakan tersebut antara lain penerapan sistem ekonomi Islam yang mewujudkan stabilitas harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan sehingga biaya membangun rumah bisa terjangkau oleh rakyat.
Khilafah menyediakan rumah subsidi bagi rakyatnya dengan dua model. Pertama, negara menyediakan rumah murah atau bahkan gratis sehingga rakyat mudah untuk memilikinya. Kedua, negara menyubsidi biaya pembangunan rumah sehingga rakyat yang memiliki tanah tidak kesulitan untuk membangun rumah.
Adapun soal tanah, rakyat tidak harus membeli untuk bisa memiliki tanah. Mereka bisa memiliki tanah secara gratis dan sekaligus legal. Hal ini karena Khilafah mempermudah rakyat memiliki tanah dengan penerapan hukum-hukum seputar tanah yang meliputi:
-Larangan Menelantarkan Tanah
Tidak boleh ada tanah yang telantar, melainkan harus dikelola. Tanah yang telantar lebih dari tiga tahun akan disita negara dan diberikan pada yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu atau ia berikan tanah tersebut kepada orang lain. Jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya.” (HR Bukhari).
Dengan aturan ini, tidak akan ada orang yang menguasai tanah yang sangat luas, tetapi dibiarkan (ditelantarkan), sedangkan orang lain ada yang membutuhkan tanah, tetapi tidak memilikinya. Aturan ini akan menyolusi persoalan ketimpangan pemilikan tanah.
- Dorongan Menghidupkan Tanah Mati.
Untuk memiliki tanah, rakyat tidak harus membeli. Mereka bisa memiliki tanah dengan cara menghidupkan tanah mati. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang, tetapi hanya mengeluarkan tenaga untuk menghidupkan tanah mati. Dari situ mereka memperoleh tanah untuk membangun rumah. Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa menghidupkan tanah yang mati maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Bukhari).
“Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh satu orang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan cara menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun yang bisa menghidupkannya. Dengan adanya upaya seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti upaya seseorang tadi telah menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya.”
– Dorongan melakukan pemagaran (tahjir)
Pemagaran merupakan salah satu cara untuk menghidupkan tanah mati. Rakyat bisa memiliki tanah secara geratis dan legal,dengan memagari tanah yang terlantar atau mati.
- Kebijakan iqtha’
Iqtha’ adalah pemberian tanah oleh negara pada rakyatnya. Negara bisa memberikan tanah kepada warganya untuk dibangun rumah di atasnya. Dengan kebijakan ini, rakyat tidak kesulitan untuk memiliki tanah dan rumah. Amru bin Syuaib ra. berkata, “Rasulullah saw. pernah memberi lahan kepada sekelompok orang dari Muzaynah atau Juhainah.
Dengan berbagai kebijakan tersebut, rakyat akan mudah untuk memiliki rumah, baik dengan membeli ataupun membangun sendiri. Jika membeli, harganya murah dan bahkan bisa gratis. Jika membangun sendiri, tanahnya disediakan oleh negara dan bisa diperoleh tanpa mengeluarkan uang, cukup dengan tenaga. Harga material bahan bangunan juga terjangkau karena ada subsidi dari negara. Bahkan negara bisa memberi dana pada rakyat yang membutuhkan untuk membangun rumah.
Penerapan Sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dan Negara akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi Rakyat dengan gaji yang layak. Negara juga menjamin kebutuhan papan atau rumah bagi Rakyatnya.
Wallahualam bishshawab.
Tags
Opini