Sindikat TPPO Merajalela di Tengah Minimnya Jaminan Kesejahteraan Warga Negara



Oleh : Ami Ammara



Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi menyebutkan ada 11 warga Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan disekap Myanmar.

"Awalnya, ada enam korban yang melapor ke kami, kemudian ada penambahan dua orang sehingga totalnya ada delapan orang yang sudah melapor. Sementara tiga korban lainnya dari pihak keluarga belum datang untuk membuat pengaduan atau melapor," kata Ketua SBMI Kabupaten Sukabumi Jejen Nurjanah di Sukabumi, Rabu.

Menurut Jejen, awalnya mereka dijanjikan bekerja jadi tenaga admin/administrasi atau pelayan investasi berbentuk mata uang Kripto di Thailand, tapi pada akhirnya menyeberang ke Myawaddy, Myanmar dan bekerja menjadi pelaku penipuan (scammer) daring.

Mereka berangkat pada Mei dan Juni. Apabila melihat dari cara berangkat, para korban TPPO ini menggunakan visa kunjungan kemudian ada iming-iming mendapatkan gaji besar maka sudah dipastikan merupakan modus operandi TPPO.

Dari pihak keluarga yang melapor datanya para korban yang berjumlah delapan orang sudah ada di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI. Sementara, tiga korban yang belum ada pengaduan dari keluarganya masih ditelusuri identitas mereka.

Maka dari itu, SBMI mendorong agar keluarga korban segera melapor agar bisa dengan cepat diberikan bantuan hukum dan penanganan lebih lanjut. Adapun 11 korban berasal dari Desa Kebonpedes, Jambenenggang, Cipurut dan Cireunghas, Kecamatan Kebonpedes.

Informasi yang kami terima, 11 korban mengalami penyekapan dan dipekerjakan sebagai penipu berbasis daring. Selain itu, keselamatan mereka pun terancam karena seperti diketahui Myanmar saat ini tengah terjadi konflik," tambahnya.

Kenyataan Pahit

Alasan ekonomi berupa iming-iming gaji tinggi di tengah gelombang PHK di dalam negeri menjadi faktor yang masuk akal bagi para korban TPPO tersebut. Mereka seolah-olah tidak menemukan alternatif lain dalam mencari pekerjaan. Ini karena kondisi ekonomi masyarakat di berbagai aspek sudah terlalu mengimpit.

Tidak hanya soal maraknya PHK, karut-marut ekonomi nasional tampak dari inflasi pangan, kelangkaan gas elpiji bersubsidi, rencana pencabutan subsidi BBM, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, bahkan harga kuota internet yang merangkak naik. Semua itu adalah faktor-faktor strategis yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat luas. Pada saat yang sama, beragam jenis pajak, potongan, maupun pungutan menghantui gaji para pekerja yang jumlah pokoknya sendiri tidak seberapa.

Belum lagi berbagai godaan visual melalui aplikasi di ponsel pintar, baik itu berupa belanja daring di marketplace, game online, serta judol dan pinjol. Semua itu menjadi gaya hidup sekuler yang meracuni masyarakat dengan hedonisme dan konsumerisme. Namun yang jelas, hal itu turut menguras kantong masyarakat.

Dengan demikian, kita tidak bisa menyalahkan para korban sepenuhnya. Sudahlah di dalam negeri ancaman kesulitan hidup tinggi, ketika para korban itu mengadu nasib ke luar negeri demi mengharapkan gaji tinggi ternyata kondisinya tidak lebih baik. Bahkan mereka harus menerima berbagai perlakuan yang tidak manusiawi dari majikannya. Sejatinya, faktor ekonomi yang membuat mereka rela mencari nafkah jauh dari keluarga tersebut hanya secuil dari arus deras kapitalisme yang secara sistemis menyebabkan berbagai dampak buruk bagi masyarakat.

Peran Negara

Dalam kasus TPPO semacam ini sebenarnya peran negara tidak cukup dengan mengevakuasi para korban agar bisa kembali ke Tanah Air. Negara juga harus memberikan solusi sistemis agar ketika para korban TPPO sudah berhasil dipulangkan mereka tidak lantas menambah angka pengangguran.

Hanya saja, melihat peran negara yang selama ini cenderung lepas tangan untuk mengurus berbagai hajat publik di dalam negeri, kita layak pesimis akan ada langkah strategis yang diambil oleh pemerintah untuk menyolusi kasus TPPO secara tuntas dengan jaminan politik dan ekonomi bagi para korbannya saat sudah kembali.

Semestinya, negara berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, bukan malah menjadikan para pekerja migran sebagai pahlawan devisa yang posisi mereka hanya dimanfaatkan berdasarkan produktivitas ekonomi. Wujud peningkatan kesejahteraan itu di antaranya pengentasan kemiskinan, pelayanan penuh dari negara di sektor-sektor publik, penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai, mengatur perdagangan luar negeri agar tidak merugikan industri dalam negeri, juga pengambilalihan tata kelola sektor tambang migas dan minerba dari swasta.

Selain itu, negara semestinya memberikan edukasi pada masyarakat melalui sistem pendidikan dalam berbagai format, baik itu formal maupun non formal. Ini dalam rangka mencetak SDM yang memiliki beragam keahlian dan kepakaran agar berguna untuk menyelesaikan persoalan-persoalan teknis dalam kehidupan. Dengan begitu, negara tidak melulu mengandalkan investasi swasta maupun asing untuk bisa mengembangkan berbagai sektor strategis di dalam negeri.

Pemerintah juga harus tegas menerapkan sistem sanksi agar bisa menutup celah munculnya sindikat TPPO. Terlebih jika benar dugaan ada keterlibatan aparat, mereka semestinya turut mendapatkan sanksi. Keterlibatan aparat menyebabkan TPPO terus berulang, apalagi jika tidak ada sanksi yang tegas.

Solusi Islam

Kasus TPPO menunjukkan bahwa negara sekuler kapitalis telah gagal menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyatnya. Sebaliknya, negara Islam (Khilafah) akan menangani kasus TPPO melalui penerapan politik luar negeri sesuai syariat Islam.

Politik luar negeri Daulah Islam adalah hubungannya dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Hubungan ini adalah bentuk pemeliharaan urusan-urusan umat di luar negeri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai (junnah), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Politik luar negeri Daulah Islam tegak di atas asas pemikiran yang tetap dan tidak akan berubah, yaitu penyebarluasan Islam ke seluruh dunia pada setiap umat dan bangsa. Dalam persoalan lalu lintas imigrasi, Islam memandang dari sisi individu yang keluar masuk wilayah negara Islam yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu warga negara Islam (muslim maupun kafir zimni), orang-orang kafir muahid (kafir yang negaranya terikat perjanjian dengan Khilafah), dan orang-orang kafir harbi yang negaranya tidak terikat perjanjian dengan Khilafah.

Jika yang bermigrasi adalah warga negara Islam, baik muslim maupun kafir zimni, mereka boleh keluar masuk wilayah Daulah Islam tanpa ada paspor. Untuk orang-orang kafir muahid, diperlakukan sesuai dengan isi naskah perjanjian yang disepakati oleh Daulah Islam dengan negara mereka. Sedangkan orang kafir harbi tidak boleh memasuki wilayah Daulah Islam kecuali dengan paspor, yaitu izin masuk khusus. Jika orang kafir harbi itu masuk untuk berdagang/bisnis, izin tersebut juga berlaku untuk komoditasnya.

Selain itu, Khilafah juga menerapkan sistem ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat secara individu per individu. Rakyat Khilafah tidak akan mengalami kenyataan pahit terkait dengan pemasukan ekonomi bagi rumah tangga. Warga Khilafah tidak perlu bersusah payah bekerja di luar negeri demi memperoleh gaji tinggi karena di dalam negeri semua kebutuhannya sudah disediakan oleh negara.

Pemenuhan kebutuhan tersebut diutamakan untuk kebutuhan primer. Meski demikian, Khilafah juga memiliki kebijakan untuk memberikan harta (i’tha’) kepada rakyatnya, baik itu kebutuhan primer, sekunder, tersier, maupun berupa tanah dalam konteks menghidupkan tanah mati (ihyaul mawat). Untuk harta kepemilikan umum seperti tambang migas dan minerba, Khilafah akan mengambilalih tata kelolanya dari swasta dan mengembalikan hasil pengelolaan itu kepada rakyat selaku pemilik asalnya.

Khilafah akan menyelenggarakan sistem pendidikan Islam, baik yang formal maupun nonformal, dengan pelaksanaan yang berbasis akidah Islam. Pengambilan bidang minat keilmuan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu. Selanjutnya, keahlian dan kepakaran mereka akan dimanfaatkan dalam sektor-sektor strategis publik yang juga dikelola oleh Khilafah, seperti pertanian, pertambangan, kehutanan, kesehatan, pendidikan, kemaritiman, transportasi, infrastruktur, teknologi, dan industri. Hal ini dalam rangka membuka banyak lapangan kerja di dalam negeri bagi warga.

Khilafah akan menutup berbagai celah yang memungkinkan terjadinya pengembangan harta secara haram sehingga harta yang masuk ke baitulmal (kas negara) maupun yang beredar di tengah-tengah masyarakat adalah harta yang halal dan berkah. Nominal gaji yang diberikan oleh pemerintah kepada para pegawai negara ditetapkan menurut pendapat khubara’ (para ahli) sesuai dengan jenis pekerjaannya agar mereka tidak kekurangan gaji/harta sampai-sampai harus menjadi orang-orang yang mudah menerima suap, khususnya untuk meloloskan para pelaku TPPO.

Khilafah akan menerapkan sistem sanksi yang tegas dan berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Makna “pencegah” adalah agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama. Sedangkan “penebus” maknanya sanksi tersebut akan dapat menebus dosa pelaku. Hal ini dalam rangka menutup berbagai peluang munculnya kasus TPPO beserta aparat yang bisa disuap untuk memuluskannya sehingga kasus TPPO tidak akan berulang.
Wallahualam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak