Oleh : Hestie
Lagi dan lagi, brutalitas dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para demonstran yang melakukan unjuk rasa. Seperti kita ketahui, belum lama ini mahasiswa melakukan aksi Kawal Putusan MK dan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pilkada. Tak hanya mahasiswa aksi juga dilakukan berbagai elemen masyarakat mulai dari akademisi, jurnalis, artis hingga komedian yang langsung turun kejalan. Bahkan aksi dilakukan secara serempak diberbagai daerah.
Alih-alih kritiknya diterima, masa aksi justru mendapatkan tindakan brutalitas aparat kepolisian yang melakukan kekerasan, menangkap secara acak dengan disertai tindakan kekerasan berupa tembakan gas air mata, pemukulan hingga berakibat luka, serta intimidasi. Tindakan represif ini tidak mencerminkan salah satu indikator pemerintahan dengan sistem demokrasi yaitu kebebasan warga negara dalam berekspresi dan memberikan pendapat.
Sejatinya, unjuk rasa ini adalah bentuk kritik kepada pemerintah dan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebebasan berpendapat masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Bahkan demokrasi menjamin kebebasan berpendapat seperti yang termaktub dalam UUD1945 pasal 28e (3) dan diatur dengan UU No.9 tahun 1998. Kritik pada pemerintahan juga bukan hanya mencerminkan keterbukaan dan perbedaan dalam masyarakat, namun berpotensi untuk mendorong perbaikan dan perubahan dalam kebijakan publik.
Cacatnya sistem demokrasi semakin terlihat jelas. Kebebasan berpendapat yang sejatinya dilindungi UUD hanya sekedar jargon yang tak terwujud. Karena dalam demokrasi, kekuasaan adalah alat bagi kepentingan individu atau kelompok. Sistem yang lahir dari buah pikiran manusia yang penuh kelemahan dan ketidak sempurnaan sejatinya tidak mungkin bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan. Meski pun dipaksa untuk diterapkan, yang muncul adalah kezaliman penguasa atas rakyatnya.
Pandangan Islam
Dalam sistem Islam, menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan atau lebih dikenal dengan muhasabah lil hukkam. Aktivitas muhasabah adalah hal yang biasa dalam Islam. Tradisi saling mengingatkan tumbuh dalam pemerintahan Islam, wa tawa shoubil haq wa tawa shoubish shobri, yaitu untuk menjaga hudud atau batas-batas. Selain itu kaum muslim juga berhak mengadakan syura dan menyampaikan pendapat. Semua aktivitas tersebut diwakili oleh Majelis Umat. Para anggota Majelis Umat inilah yang bertugas melakukan muhasabah dan syura.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah mendapat kritik terkait mahar, ketika seorang perempuan bernama Khaulah keberatan terhadap ketetapannya tersebut. Padahal kala itu Umar memimpin wilayah yang sangat luas yaitu Jazirah Arab, Mesir hingga Persia. Tetapi Khalifah Umar dengan rendah hati mengakui, “Wanita ini benar, dan Umar salah.” Umar menepati janjinya, tatkala ia minta kepada rakyatnya agar meluruskannya tatkala mereka melihatnya bengkok.
Kritik terhadap penguasa pun terjadi di masa kejayaan Islam, yaitu ketika Abu Muslim melihat kekeliruan pada diri Muawiyyah. Maka ketika Muawiyyah berdiri di mimbar, “Dengarkanlah dan taatilah.” Abu Muslim menjawab, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu.” Maka muawiyyah kemudian masuk dan mandi untuk menghilangkan kemarahannya, sehingga akhirnya bisa menerima pernyataan Abu Muslim.
Kritik pada pemerintah adalah sebuah keniscayaan demi tegaknya khilafah. Dalam sistem Islam, suasana keimanan selalu ditumbuhsuburkan. Rakyat mudah menyampaikan koreksi tanpa terjadi silang sengketa, penguasa pun lapang dada menerima koreksi. Area muhasabah selalu difokuskan pada kebijakan, bukan pribadi penguasa. Ini adalah bentuk kasih sayang pada sesama muslim. Kritik dalam Islam dilandasi lillah, untuk mengingatkan penguasa agar kembali pada Allah, serta menyelesaikan seluruh perselisihan pada kitabullah dan sunah Rasul.
Tags
Opini