Penambahan Menteri ala Demokrasi Merupakan Politik Balas Budi




Oleh : Anne, Pegiat Literasi, Ciparay Kab. Bandung



Bulan Oktober 2024 akan menjadi bulan istimewa bagi calon-calon penguasa Indonesia. Sebab, pada Oktober nanti tengah dijadwalkan pelaksanaan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan bagi presiden dan wakil presiden terpilih pada pemilu periode 2024 ini. Bukan info pelantikannya yang menjadi bola panas untuk dibahas, pasalnya ada isu kuat akan adanya penambahan jumlah kursi menteri di kabinet baru Indonesia.

Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei Kedai KOPI Ibnu Dwi Cahyo menilai pemerintahan Prabowo dan Gibran yang akan dilantik pada Oktober mendatang layak memiliki susunan kabinet yang banyak atau gemuk. Dengan syarat kabinet gemuk tersebut harus diisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin (Kabinet Zaken). 

Wacana yang beredar menyebutkan bahwa jajaran kementerian yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Jumlah ini bertambah dari yang sebelumnya hanya sebanyak 34 kementerian. 
Ibnu pun menuturkan, tidak hanya dari kalangan profesional, tokoh dengan latar belakang partai politik juga layak dipilih sebagai menteri asalkan memiliki pengalaman profesional di bidang yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin. (www.antaranews.com

Tak bisa di pungkiri, bahwasanya pragmatisme politik sudah tampak dari awal, sehingga meski dinyatakan menang 58% tidak akan benar- benar berpihak kepada rakyat. Hal ini, dikarenakan sistem demokrasi yang dianut Indonesia, adalah sistem pemerintahan presidensial, yakni pengangkatan menteri menjadi hak prerogatif presiden. Dimana, Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat menteri-menteri yang akan memimpin struktur kelembagaan negara di bawah presiden dari orang-orang yang menurutnya berkompeten dan ahli di bidangnya. 

Namun nyatanya, penambahan struktur, jabatan, dan pengangkatan orang yang akan melakukan tugas-tugas kenegaraan, sebatas bagi-bagi kursi. Meski berulang disangkal dengan ucapan klarifikasi, fakta menguatkan apa yang terjadi dalam sistem politik Indonesia hari ini. Keadilan hukum atas rakyat masih disangsikan. Dasar pengangkatan dan penempatan orang-orang dalam jabatan masih dan selalu jadi pertanyaan. 

Inilah, wajah asli Demokrasi. Bahwasanya, dalam demokrasi ada dua pilar yang senantiasa berbeda antara konsep dengan fakta. Pertama, ketika mereka mengeklaim kedaulatan di tangan rakyat, yang terjadi sebenarnya kedaulatan itu bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan para pemodal. Kedua, kekuasaan itu konon lagi-lagi katanya di tangan rakyat, padahal kekuasaan itu ada di tangan segelintir oligarki. Oleh karena itu, tidak selayaknya rakyat mempercayai janji-janji atau narasi-narasi yang dibangun oleh partai-partai baik yang mengaku partai Islam atau partai nasionalis karena semuanya pragmatism, yaitu sekadar mempertahankan kepentingan- kepentingan mereka.

Ditambah, kemenangan Prabowo- Gibran, sebenarnya tidak lepas dari upaya meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh rezim sebelumnya. Sepuluh tahun lalu juga sama, rezim terdahulu menjanjikan apa yang disebut Kabinet Zaken dalam konteks Nawacita. Artinya, dengan pencitraan dia ingin meraih dukungan (rakyat), tetapi pada saat yang sama melakukan banyak  kebijakan-kebijakan yang sifatnya otoriter berupa UU yang tidak pro rakyat, tetapi pro oligarki. 
 
Intinya, jangan lupa membaca Prabowo- Gibran itu berarti Prabowo-Jokowi ke depan. Langkah-langkah ke arah sana sudah terlihat saat merevisi UU Kementerian dan koalisi gemuk sesuai tagline mereka gemoy.
Sangat sulit, membayangkan akan ada kabinet zaken sebagaimana klaim mereka. 

Tentunya beda hal, jika dalam sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, kepala negara (khalifah) adalah penanggung jawab penuh seluruh pengelolaan urusan rakyat. Namun, aturan syariat juga membolehkan pemimpin negara mengangkat orang-orang yang dipercaya dalam pengelolaan urusan rakyatnya. Oleh karenanya, boleh mengangkat sesuai dengan kebutuhannya dalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut. Jadi, tidak ada dalam sistem pemerintahan Islam pengangkatan pejabat karena balas budi, apalagi transaksional. Hal seperti itu, jelas perbuatan yang melanggar syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hari perhitungan. 

Dalam pemerintahan yang berdasarkan pada syari'at Islam, pembentukan lembaga struktur negara dan pengangkatan pejabat berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi. Struktur jabatan yang efektif efisien adalah yang harus menjadi pertimbangan dalam dampaknya pada keterlaksanaan pengelolaan urusan rakyat. Karena, beban keuangan otomatis akan mengikuti.
Hal ini, tersebab jumlah orang dalam struktur pemerintahan, pasti berbanding lurus dengan jumlah kewajiban negara yang harus dibayarkan pada pejabat yang diangkat beserta staf-staf negara. 

Kini saatnya, rakyat tidak terlalu banyak berharap kepada rezim yang ada karena berharap pada manusia hakikatnya akan siap-siap untuk kecewa. Sudah seharusnya, yang menjadi harapan hanyalah Allah SWT., melalui aturan-aturan Allah yang diterapkan secara kaffah, serta berharap kepada partai yang memperjuangkan tegaknya aturan Allah SWT., tersebut.
Wallahu a'lam bish shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak