oleh Dwi March Trisnawaty, Mahasiswi Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga
Sebelumnya telah disahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP. Awalnya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenai 11%, kini sesuai aturan harus menaikkan tingkat PPN menjadi 12% selambat-lambatnya direalisasikan pada tahun 2025. Beleid tersebut selain mengatur kenaikan tarif PPN juga mengesahkan aturan kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya sebesar 2,2 persen menjadi 2,4 persen per 1 Januari 2025. Pemerintah dengan ambisinya bercita-cita menargetkan penerimaan anggaran pajak tahun 2025 dalam RAPBN sebesar Rp2.189,3 triliun. (Tirto.id, 13/09/2024)
Bahkan aturan mengenai PPN KMS atau pajak membangun sendiri ini sudah dicanangkan sejak tahun 1994 melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 595/KMK.04/1994 tentang: Batasan dan Tata Cara Pengenaan PPN atas KMS yang Dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan tidak dalam Lingkungan Perusahaan atau Pekerjaan. Artinya PPN KMS atau Pajak Membangun Sendiri merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak pribadi maupun badan yang digunakan untuk yang bersangkutan sendiri dan bukan digunakan buat usaha. Luas bangunan yang dikenakan PPN KMS adalah minimal 200 meter persegi (200m2). (klikpajak.id)
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini semakin menyusahkan rakyat untuk memiliki rumah meskipun di atas tanahnya sendiri. Baik dari ketersediaan lapangan kerja dan upah minimum yang sangat jomplang di berbagai regional tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah secara layak. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah memadai dan kompatibel dapat dikenakan pajak semakin tinggi. Hal ini selaras dengan fenomena generasi zillenial yang diprediksi masa depannya akan semakin kesulitan memiliki rumah sendiri, salah satu faktornya berupa upah yang tidak sesuai. Bagaimana tidak, disamping kebijakan naiknya pajak yang masif rakyat di berbagai kalangan diharuskan membayar sendiri semua kebutuhan primernya seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum lainnya yang harusnya didapatkan secara murah bahkan gratis.
Inilah bentuk kezaliman penguasa sekuler kapitalistik. Ketiadaan pemimpinan negara dalam meringankan beban rakyat, setelah munculnya penetapan pajak rumah. Pajak dalam ekonomi kapitalis merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dinilai dapat membangun perekonomian negara, karena sumber pendapatan tetap ekonomi negara dalam sistem kapitalisme berasal dari utang dan pajak. Hingga negara melepas tanggung jawab memberikan jaminan kebutuhan papan/perumahan masyarakat. Di samping itu, pemerintah secara gigih mempropagandakan bahwasannya sebagai warga negara yang taat membayar pajak adalah warga yang baik. Namun tidak dipungkiri bahwa para penguasa menjadikan pungutan pajak sewaktu-waktu bisa dikorupsi. Alhasil kebijakan ini jauh dari kepentingan kesejahteraan rakyat, justru sebagai ladang segar bagi para koruptor.
Dalam ekonomi kapitalisme penerimaan negara berasal dari pungutan utang dan pajak atas semua barang. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang berasal dari 12 pos penerimaan baitul mal, sedangkan pajak bukanlah pendapatan utama negara. Pajak (dharibah) hanyalah pos darurat yang akan dipungut oleh negara kepada warga negara tertentu jika keuangan negara dalam kondisi kritis. Dari penerimaan negara berasal dari kas baitul mal wajib digunakan untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Negara juga akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat dengan gaji yang layak utamanya bagi laki-laki sebagai kepala rumah tangga.
Negara menjamin penyediaan kebutuhan berupa rumah/papan masyarakat salah satunya memberikan subsidi rumah dengan 2 model. Pertama berupa penyediaan rumah murah serta bisa gratis. Kedua, negara menyubsidi pembiayaan bangunan rumah yang telah memiliki tanah sendiri. Selain itu persoalan tanah telah diatur berupa hukum-hukum tentang kepemilikan tanah. Hukum tanah terdiri dari larangan penelantaran tanah, menghidupkan tanah yang mati (ihya al mawat), pemagaran tanah yang mati disebut (tahjir) dan kebijakan iqtha' yakni pemberian tanah oleh negara untuk dibagun rumah, juga larangan mengambil pajak.
Sementara itu, negara dalam Islam memiliki sumber pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum sumber daya alam yang sangat melimpah. Sehingga tidak membutuhkan pajak dalam pemasukan negara. Khilafah sangat anti membebani rakyatnya dengan pajak kecuali pada kondisi ekonomi negara sedang kritis dan pungutan yang dikenai terbatas pada rakyat yang kaya serta hanya kaum laki-laki. Sedemikian Islam menjaga kesejahteraan di tiap-tipa rakyat mendapatkan rumah dengan aman, tentram, dan jauh dari pungutan pajak yang zalim. Wallahualam bissawab.
refrensi:
https://tirto.id/bangun-rumah-sendiri-kena-pajak-24-persen-mulai-januari-2025-g3K2#google_vignette
https://klikpajak.id/blog/cara-hitung-lapor-tarif-ppn-atas-kegiatan-membangun-sendiri-kms/
Tags
Opini