Auliyaur Rosyidah
Baru-baru ini Indonesia ramai akan berita kedatangan Paus Frasiskus, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala negara Vatikan. Kedatangannya Paus ke Indonesia ini merupakan kunjungan yang pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam. Kedatangan Paus Fransiskus disambut dengan baik oleh Presiden RI dan beberapa tokoh muslim. Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas menilai kunjungan Paus Fransiskus menjadi symbol persahabatan dan dialog antar umat beragama di Indonesia. “Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia dianggap sebagai momentum penting untuk memperkuat hubungan bilateral Indonesia-Vatikan dan menjadikan Indonesia sebagai barometer kehidupan beragama yang rukun dan damai,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (19/7/2024).
Dalam kunjungannya kali ini, Paus Fransiskus juga menyampaikan pidato bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Kedua pemimpin ini menekankan perlunya menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dalam memperkuat persatuan, serta pentingnya menyuarakan perdamaian di tengah meningkatnya konflik global. “Perbedaan adalah anugerah dan toleransi adalah pupuk bagi persatuan dan perdamaian.” Tegas Presiden Jokowi. Pun juga pada misa agung yang diadakan di Gelora Bung Karno (GBK).
Namun, serangkaian prosesi penyambutan Paus Fransiskus yang dinarasikan memiliki tujuan menyampaikan perdamaian, kemanusian, dan toleransi ini telah kelewatan hingga menyinggung batas-batas Aqidah Islam. Diantaranya penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang adzan) yang dengan itu agar misa bisa diikuti secara utuh oleh umat katolik di Indonesia. Ada juga agenda pembacaan Injil dan Al-Qur’an untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersamaan dengan Paus Fransiskus yang menandatangani dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di Indonesia.
Dari sini sangat jelas bahwa serangkaian prosesi penyambutan Paus ini memiliki target yang mengarah pada toleransi, pluralisme, dan humanisme beragama. Yang sangat disayangkan adalah semua statement Paus direspon positif oleh para pemimpin, bahkan masyarakat muslim. Salah satu contohnya adalah mewajarkan usulan kumandang adzan diganti ke running text, dan sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang berarti “Salam, Bagimu Sang Peziarah Harrapan” untuk menyambut kedatangan Paus. Diantara yang berpartisipasi dalam buku ini adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ketua Umum ICRP periode 2023-2028, Abdul Mu’ti.
Buku ini tidak hanya sekedar untuk sambutan, namun juga menggambarkan seangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia. “Melalui partisipasi aktif dari pemimpin organisasi Islam, Aktivis muslim, dan cendekiawan Muslim Indonesia, kita dapat menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang menghargai pluralisme dan memperjuangkan hak-hak serta keadilan bagi semua warga, tanpa memandang agama dan keyakinan,” ucap Willem, salah satu editor buku ini. Sungguh miris sekali.
Hal ini sangatlah wajar terjadi saat sekulerisme memimpin sistem negri ini. Sistem yang bermindset memisahkan antara agama dengan kehidupan ini memiliki argument politik untuk memenangkan program moderasi beragama berkedok menguatkaan toleransi dan keadilan sosial dalam negri. Dan hal itu menjadi target dalam kepemimpinan sekulerisme ini. Yang dalam program moderasi beragama ini sejatinya menggerus Aqidah umat. Umat Islam dihimbau menjalankan toleransi dengan batas-batas semu yang mereka buat sendiri. Paham pluralism yang mengakui bahwa semua agama benar salah satunya. Sedangkan dalam batas Islam sendiri umat Islam dilarang mengakui kebenaran agama lain. Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama yang lain salah. Bahwa toleransi yang diperbolehkan dalam Islam adalah yang tidak menyinggung Aqidah dan ibadah, hal itu sudah sangat jelas tercantum dalam Al-Qur’an.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْن
Artinya: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Dengan kondisi seperti ini, dimana toleransi dan program moderasi beragama sangat massif digemborkan, umat Islam seharusnya lebih kritis dan punya sikap yang benar dalam mengambil langkah dalam menyikapi sebuah fakta terkait bahaya toleransi dan moderasi beragama yang dibawah oleh Paus dan sengaja diberi jalan oleh sekulerisme. Yang pastinya dalam pengambilan langkah harus sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Agar masyarakar muslim tidak semakin larut dalam kebingugan dan kekaburan dalam masalah yang mengotak-atik Aqidah umat Islam itu sendiri. Wallahu a’lam bi Showab.
Tags
Opini