Oleh: Eka Ummu Hamzah
(Pemerhati Masalah Publik)
Kedatangan Paus Fransiskus awal bulan September 2024 disambut dengan gagap-gempita oleh rakyat Indonesia khususnya umat Nasrani. Kunjungan kepala negara Vatikan ini diantaranya dalam rangka mengadakan misa agung di Gelora Bung Karno (GBK). Sambutan kedatangan Paus ini memang sangat meriah, bukan hanya umat Kristiani tapi juga berbagai umat beragama khususnya Islampun ikut memeriahkan sambutan ini.
Tidak tanggung-tanggung, kedatangan disambut di mesjid kebanggaan Indonesia,yakni Mesjid Istiqlal Jakarta. Ada juga sambutan dengan pembacaan Injil dan Al Qur'an atas nama toleransi beragama.
Sebagai muslim yang cerdas, kita perlu waspadai atas kunjungan Paus Fransiskus ini, mengingat dia adalah pemimpin tertinggi dalam agama Nasrani. Bukan hanya sekedar Mengunjungi sesama umat Nasrani, tapi ada misi lain yang dia bawa, diantaranya penguatan toleransi beragama, pluralisme, sinkretisme, juga mendakwahkan kepada masyarakat Indonesia khususnya untuk menerima dengan tangan terbuka pernikahan sesama jenis alias homo seksual, yang semuanya bertentangan dengan akidah umat Islam.
Publik seharusnya
Ketua Wakil Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin memandang, Paus Fransiskus bukan hanya sekedar kunjungan pastoral biasa, melainkan ada misi terselubung yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Beliau menyampaikan salah satu isi pidato sang paus pada saat perayaan misa untuk memerintah para Romo agar memberkahi perkawinan sesama jenis meski tidak sesuai dengan perintah agama.
"Publik semestinya menggunakan akal sehatnya agar tidak mudah tertipu dengan sambutan extra ordinary ini", ungkapnya. (SUARAISLAM.id. 05 September 2024).
Merusak Keluarga
Keberadaan kaum pelangi atau LGBTQ+ saat ini memang masih minoritas, sekitar 7 persen per tahun 2018 dari penduduk Indonesia, itu menurut Prof Euis Sunarti. Namun, pergerakan kaum pelangi ini sangat massif. Pergerakan mereka sangat cepat dan juga dukungan dunia internasional. Mereka terus berusaha mendapatkan pengakuan dunia sebagai manusia yang terlahir sebagai LGBTQ+.
Bahkan sebulan sebelum kedatangan Paus Fransiskus, sebuah ajang kontes kecantikan waria Miss Beauty Star digelar di jantung ibukota. Sebagai bukti bahwa gerakan LGBTQ+ ini berusaha untuk eksis di panggung publik.
Tapi kita tidak boleh menutup mata dan menerima keberadaan mereka dengan tangan terbuka, atau menganggap sebagai hal yang biasa, apalagi sebagai genetik baru dalam perkembangan hidup manusia. Agama manapun menentang perilaku ini. LGBTQ+ ini adalah perilaku abnormal, bertentangan dengan fitrah manusia. Menimbulkan kerusakan baik fisik, psikis, maupun kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dalam skala keluarga , LGBTQ+ bisa menimbulkan bahaya di antaranya:
1. Merusak hubungan antara anggota keluarga.
Banyak kasus yang terjadi, ketika salah satu anggota keluarga terjangkit LGBTQ+, keberadaannya akan mendapat penolakan dari keluarga. Bahkan tidak sedikit para pelaku LGBTQ+ ini melakukan pernikahan normal hanya sekedar menutupi bahwa dirinya tidak normal secara seksual. Kondisi ini tentu akan merusak kasih-sayang yang menjadi dasar hubungan antara keluarga, khususnya suami istri.
2. Mematikan naluri berketurunan.
Penyimpangan orientasi seksual ini jelas merupakan ancaman bagi keberlangsungan terciptanya generasi-generasi baru. Adanya anak yang lahir bukan lagi menjadi harapan dari pasangan sesama jenis atau transgender. Padahal salah satu tujuan pernikahan adalah melestarikan jenis manusia dengan lahirnya keturunan (QS. an-Nisa : 1)
3. Merusak nasab.
Jikapun pasangan LGBTQ+ ini menikah dan menginginkan anak, yang terjadi justru kekacauan nasab. Pasangan homo atau lesbi bisa saja mengadopsi anak, namun jika di sandarkan nasabnya pada orang tua angkatnya, maka jelas ini adalah pelanggaran terhadap syariat Islam. Nasab adalah hal yang sangat dijaga, Islam melarang menyandarkan nasab anak pada bulan ayahnya ( QS. al- Azab: 4-5). Hal ini karena nasab akan berkaitan dengan hukum-hukum keluarga yang lain seperti perwalian, waris, garis mahram dan nafkah.
4. Sumber penularan penyakit.
Tahun demi tahun, penularan HIV di kalangan homoseksual dan seks bebas semakin menanjak. Pada tahun 2021, dari 36.902 kasus yang terdeteksi, penularan pada LSL ( lelaki seks lelaki alias homo) melonjak jadi 27 persenan. (Republika.co.id, 28/12/2022).
Apalagi pada kasus biseksual, HIV bisa ditularkan pada istri dan dari istri bisa menukarkannya kepada bada bayi yang dilahirkan.
Islam Mampu Menundukkan dan Mencegah LGBTQ+
Islam bukan sekedar agama ritual, tapi juga sebagai aturan hidup (ideologi) yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia. LGBTQ+ dipandang oleh Islam sebagai bentuk penyimpangan fitrah yang harus diluruskan, penyakit yang harus disembuhkan, dan keburukan yang harus dicegah. Islampun melarang segala bentuk wasilah yang mengarak pada perilaku LGBTQ+ dan melarang segala bentuk dukungan dan pembenaran atasnya.
Islam mencegah LGBTQ+ dengan solusi paradigmatis, praktis dan sistematik. Secara paradigmatis, Islam mencegah penyebaran LGBTQ+ dengan menutup pintu-pintu penghantar LGBTQ+, seperti mengontrol tontonan-tontonan, perilaku serta pemahaman masyarakat.
Masyarakat harus satu pemikiran dan perasaan memandang LGBTQ+ sebagai suatu masalah yang harus diatasi. Dengan itu masyarakat aktif melakukan kontrol sosial. Kesadarin ini sangat penting, sebagaimana dituturkan oleh imam Al-Ghazali dalam ihya' 'Ulum al-Din(1/77): "Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan/Melainkan untuk menghindari diri darinya/Siapa yang tidak mengetahui keburukan/Diantara manusia maka akan terjerumus kedalamnya.
Selain kontrol dari masyarakat, yang juga sangat penting adalah pera negara. Negara wajib melindungi rakyatnya dari perbuatan LGBTQ+. Negara juga wajib menetapkan perbuatan mendukung dan mengkampanyekan LGBTQ+ termasuk tindakan kriminal. Wajib dilarang dan dicegah apaun bentuk dan medianya. Pelaku wajib dikenai sanksi hukuman.
Sanksi hukum Islam jelasnya dirinci sesuai dengan penyimpangan yang dilakukan.Pertama : Lesbian disanksi ta'zir. Begitupun transgender sesuai dengan ijtihad qaadhi. Kedua: Gay atau biseksual pelaku liwath disanksikan dengan hukuman mati. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW: " siapa saja di antara kalian yang menjumpai seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukum matilah subjek dan objeknya". ( HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim.) Mereka wajib dihukum dangan hukuman mati,apakah nanti di rajam atau dibakar (pendapat Ali bin Abi Thalib r.a.
Disinilah peran negara sangat penting. LGBTQ+ adalah buah liberalisme yang dihasilkan oleh ideologi Kapitalisme. Selama ideologi ini masih dipakai ditengah kehidupan masyarakat maupun bernegara, mustahil problem LGBTQ+ ini bisa selesai.
Hanya negara yang menerapkan sisrem Islamlah yang sanggup menghukum dengan sangsi tegas kepada para pelaku LGBTQ+ ini. Tidak lain adalah Negara Khilafah.
Wallahu a'lam.
Tags
Opini