Oleh : Wahyuni M (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (19/9).
Setidaknya terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu di antaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa kabinet gemuk yang diproyeksikan dibentuk pada pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menambah nomenklatur kementerian akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral. Pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto kelak dikabarkan akan menambah Kementerian atau Lembaga menjadi 44 dari yang saat ini hanya 34. Dengan syarat kabinet gemuk tersebut harus diisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin.
Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo menilai, tidak hanya dari kalangan profesional, tokoh dengan latar belakang partai politik juga layak dipilih sebagai menteri asalkan memiliki pengalaman profesional di bidang yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin.
Wacana tersebut dinilai akademisi asal Yogyakarta Dr. Nuhbatul Basyariah, S.E.I., M.Sc. sebagai bentuk pemborosan anggaran dan rawan terjadi praktik politik balas budi. Nuhbahtul menjelaskan bahwa rencana penambahan kursi dan jabatan baru tidak boleh didasarkan pada politik balas budi. Akibatnya, hanya menghambur-hamburkan anggaran Negara. Akan ada potensi peningkatan beban biaya tunjangan dan gaji di APBN mendatang. Banyaknya Kementerian jelas membutuhkan banyak orang. Konsekuensinya kebutuhan dana untuk gaji para Menteri makin besar. Hal ini beresiko bertambahnya utang negara dan naiknya pajak. Dimana sumber utama pemasukan APBN adalah pajak.
Nuhbatul menegaskan penambahan struktur, jabatan, dan pengangkatan orang yang akan melakukan tugas-tugas kenegaraan, jangan sampai hanya karena bagi-bagi kursi. Meski disangkal dengan ucapan klarifikasi, fakta menguatkan apa yang terjadi dalam sistem politik Indonesia hari ini. Keadilan hukum atas rakyat masih disangsikan. Dasar pengangkatan dan penempatan orang-orang dalam jabatan masih dan selalu jadi pertanyaan.
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat menteri-menteri yang akan memimpin struktur kelembagaan negara di bawah presiden dari orang-orang yang berkompeten dan ahli di bidangnya. Seorang aparatur negara memiliki tugas yang berat, membantu presiden melaksanakan pengelolaan atas urusan rakyatnya secara adil.
Namun di sisi lain, jobdes tiap Kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindik, temasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif efisien. Resiko terjadinya korupsi juga makin besar dan belum ada jaminan kepentingan rakyat makin menjadi perhatian. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut, yaitu banyak berpihak pada para pemilik modal.
Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala negara (khalifah) adalah penanggung jawab penuh seluruh pengelolaan urusan rakyat. Diasumsikan, jika pemimpin negara mampu menyelesaikan sendiri seluruh pengelolaan urusan rakyat, maka hendaknya ia selesaikan sendiri tanpa mengangkat pembatu. Namun khalifah boleh mengangkat pembantu atau pejabat untuk membantu tugasnya. Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien. Jobdesk dan tanggungjawabnya jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan.
Jadi tidak ada dalam sistem pemerintahan Islam pengangkatan pejabat karena balas budi, apalagi transaksional. Jelas itu perbuatan yang melanggar syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hari perhitungan. Masyarakat sesungguhnya memiliki kekuasaan untuk membuat negeri ini mau ke mana melangkah. Apakah akan terus berkubang pada sikap pragmatis atau bergerak berputar haluan menuju kepada nilai-nilai shohih.
Tags
Opini