Kejahatan Anak Makin Menjadi akibat pornografi




By :Ummu Aqsha



Polrestabes Palembang telah menyerahkan tiga pelaku pembunuhan siswi SMP di Palembang berinisial AA (13 tahun) ke panti rehabilitasi yang berada di kawasan Indralaya, Ogan Ilir. Ketiga pelaku yakni, MZ (13), MS (12) dan AS dibina sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Undang-undang melindungi mereka dari penahanan, mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak," kata Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono, Jumat 6 September 2024.
Harryo mengaku dilimpahkan ketiga pelaku ke panti rehabilitasi karena adanya permintaan keluarga agar ketiga pelaku untuk dilakukan pembinaan.
Keluarga memohon bantuan pihak kepolisian untuk menitipkan ketiga pelaku di panti rehabilitasi anak, demi keselamatan mereka," jelas dia. Harryo menyebut, ketiga pelaku akan tetap menjalani pengawasan penuh dari kepolisian meski menjalani rehabilitasi di LPKS Dharmapala. Selain itu, kepolisian juga akan berkoordinasi dengan keluarga serta dinas sosial mengenai perkembangan ketiga pelaku.

Hingga saat ini, ketiga pelaku sudah berada di Indralaya dan dalam pengawasan penuh," jelas dia.
Harryo juga mengingatkan masyarakat untuk tidak ikut-ikutan menyebarkan foto para pelaku mengingat mereka masih dibawah umur. Dirinya mengatakan, pelaku penyebaran foto ABH akan mendapat sanksi pidana. (Kumparan.com 6/9/2024).

Pornografi Marak Kejahatan Merebak

Kejahatan anak makin merebak Hal ini berdasarkan Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan belum genap 14 tahun hanya dapat dikenakan tindakan dan tidak dapat dilakukan penahanan.

Kasus pemerkosaan karena menonton video porno sudah merebak. Pada 2023, tiga anak berusia 8 tahun di Mojokerto, Jawa Timur memperkosa temannya karena menonton konten pornografi melalui ponsel. Pada akhir 2023, seorang pemuda berumur 18 tahun memperkosa anak perempuan (13 tahun) di Tambora, Jakarta Barat. Masih banyak kasus pemerkosaan lain yang terjadi karena pelaku menonton video porno.

Kasus Palembang menunjukkan betapa besarnya bahaya pornografi. Akibat pornografi, generasi muda menjadi rusak. Mereka tega melakukan perbuatan keji hingga membunuh. Mereka bahkan bangga dan memamerkan aksinya pada temannya. Tidak ada rasa malu atau takut.

Paparan pornografi terhadap generasi memang luar biasa masif. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Femmy Eka Kartika Putri mengatakan pada 2022 sekitar 97% anak Indonesia telah terpapar pornografi. Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2021 mengungkapkan bahwa 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan di Indonesia menyaksikan pornografi melalui media daring.

Tidak hanya mengakses pornografi, anak-anak juga rentan menjadi korban kejahatan pornografi. KPAI menyebut Indonesia berada pada fase darurat pornografi anak dalam tiga tahun terakhir. Sepanjang 2016—2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan kasus pornografi terhadap anak jumlahnya mencapai 9.228 kasus. Sedangkan laporan dari National Center for Missing and Exploited Children pada 2024 terdapat 5.566.015 konten kasus pornografi anak di Indonesia selama kurun waktu 4 tahun.

Dampak Buruk Pornografi

Kecanduan pornografi jelas merusak generasi karena mengakibatkan gangguan perkembangan otak, emosi, hingga menurunnya kemampuan bersosialisasi. Anak yang sering melihat konten pornografi maka dopamin akan membanjiri prefrontal cortex yang berperan sebagai pusat kepribadian. Dampaknya, anak sulit membedakan baik dan buruk, sulit mengambil keputusan, kurangnya rasa percaya diri, daya imajinasi menurun, dan kesulitan merencanakan masa depan.
Pornografi juga menyebabkan rentetan dampak lanjutan yang serius. Akibat pornografi, pergaulan bebas merajalela, terjadilah kehamilan yang tidak diinginkan, lalu marak permohonan dispensasi nikah, pernikahan dini, perceraian, hingga aborsi. Selain itu, pornografi juga menjadi pemicu kejahatan pemerkosaan dan pembunuhan sebagaimana yang terjadi di Palembang.

Demikianlah gambaran kerusakan generasi akibat maraknya pornografi. Anak-anak kehilangan masa kecil mereka yang bahagia, bisa bermain dan belajar dengan tenang dan tumbuh sesuai fitrah mereka dalam lingkupan kebaikan.

Kini anak-anak makin terancam dari segala sisi. Media massa didominasi tayangan liberal. Media sosial lebih parah lagi, banyak komunitas yang menjadi wadah tayangan pornografi di dalamnya. Bahkan anak-anak dijadikan konten pornografi, foto dan video mereka juga diperjualbelikan.
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa terdapat lebih dari 130.000 transaksi terkait praktik prostitusi dan pornografi anak. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa praktik prostitusi dan pornografi melibatkan lebih dari 24.000 anak berusia 10—18 tahun. Frekuensi transaksi mencapai 130 ribu kali dengan nilai lebih dari Rp127 miliar.

Miris, pemerintah tidak serius menyelesaikan pornografi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hanya menjadikan pemblokiran domain situs sebagai strategi utama, padahal pornografi tidak hanya berseliweran di situs-situs. Konten pornografi bisa dengan mudah diperoleh dari aplikasi-aplikasi. Bahkan video porno kini kerap disebarkan melalui aplikasi sosial media seperti YouTube, Facebook, X, Telegram, dan WhatsApp sehingga makin mudah diakses.
Fenomena kerusakan generasi akibat maraknya pornografi adalah buah dari buruknya sistem pendidikan kita yang sekuler. Pendidikan tidak ditujukan pada mencetak generasi bertakwa, tetapi demi tujuan materialistis atau dengan kata lain cuan. Akibatnya, lahirlah generasi yang permisif, mereka berperilaku bebas dan serba boleh. Mereka bahkan berani melakukan kejahatan demi memenuhi keinginannya.

Makin miris ketika mereka melakukan kejahatan, seperti pemerkosaan dan pembunuhan, ternyata negara tidak memberi hukuman yang tegas karena salah dalam mendefinisikan kata “anak”. Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berumur 18 tahun berdasarkan UU Perlindungan Anak.

Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan, bahkan mereka tidak bisa ditahan, melainkan hanya direhabilitasi, padahal mereka hakikatnya sudah balig. Mandulnya hukum menjadikan kejahatan “anak” makin marak, anak tidak lagi merasa takut melakukan kejahatan.

Makin miris ketika mereka melakukan kejahatan, seperti pemerkosaan dan pembunuhan, ternyata negara tidak memberi hukuman yang tegas karena salah dalam mendefinisikan kata “anak”. Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berumur 18 tahun berdasarkan UU Perlindungan Anak.
Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan, bahkan mereka tidak bisa ditahan, melainkan hanya direhabilitasi, padahal mereka hakikatnya sudah balig. Mandulnya hukum menjadikan kejahatan “anak” makin marak, anak tidak lagi merasa takut melakukan kejahatan.

Di sisi lain, peran orang tua dan masyarakat makin lemah. Amar makruf nahi mungkar tidak terwujud di tengah masyarakat. Orang tua juga kerap abai terhadap pendidikan anak di rumah karena sibuk dengan tuntutan ekonomi. Orang tua justru memberi mereka fasilitas ponsel yang menjadikan pornografi makin mudah diakses. Jelas, hilangnya fungsi orang tua, masyarakat, dan negara berkelindan menyebabkan generasi tenggelam dalam kubangan pornografi.

Potret generasi makin suram adalah realita hari ini. Hal ini tampak dari prilaku pelaku yang kenduan pornografi dan bangga dengan kejahatan yang di lakukan nya.
Fenomena ini juga menggambarkan anak anak kehilangan masa kecil yang bahagia,bermain dan belajar dengan tenang sesuai dengan fitroh anak dalam kebaikan. Hal ini tentu juga berkaitan dengan media yang makin riberal,sementara itu tidak ada keseriusan dalam bernegara menutup konten konten pornografi demi melindungi generasi dan gagalnya sistem pendidikan juga tampak dari kasus ini.

Solusi Islam Melindungi Generasi

ni sungguh berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam (Khilafah), negara berfungsi sebagai junnah (perisai) yang melindungi generasi dari seluruh sisi. Yang-pertama, negara Khilafah berasaskan akidah Islam sehingga sistem pendidikannya juga berdasarkan akidah Islam. Penyusunan kurikulum pun bersumber dari Islam sehingga terwujudlah generasi bertakwa. Perilaku mereka berpatokan pada halal haram, bukan kebebasan.

-Kedua, Khilafah akan membersihkan media massa dan media sosial dari konten pornografi. Khilafah akan serius menutup situs-situs porno dengan mengerahkan para ahli teknologi informasi. Khilafah juga akan memblokir media sosial yang terbukti menyediakan peluang bagi konten pornografi.
Ketiga, Khilafah akan menerapkan sistem sanksi yang adil dan tegas. Pelaku bisnis pornografi akan dihukum dengan tegas hingga mewujudkan efek jera. Keberadaan mereka akan ditelusuri dari jejak digital dan transaksi keuangan sehingga bisa ditangkap dan dihukum sesuai ketentuan syariat Islam. Khilafah juga akan mengembalikan definisi anak, yaitu orang yang belum balig.
Sedangkan orang-orang yang sudah balig diposisikan sebagai mukalaf, yaitu pihak yang bisa dibebani hukum, termasuk sanksi. Dengan demikian, sebagaimana kasus Palembang, jika pelakunya sudah balig, mereka akan dihukum dengan hukuman zina atas kejahatan pemerkosaan, yaitu jilid sebanyak 100 karena mereka belum menikah
ini sebagai sebagai mana firman Allah SWT.
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” (QS An-Nur [24]: 2).
Selain itu, mereka juga dikenai hukuman kisas karena melakukan pembunuhan yang disengaja. Hukuman atas mereka adalah dibunuh dengan cara dipenggal.

Di dalam Islam pun mewajibkan negara mencegah terjadinya kerusakan generasi melalui penerapan berbagaibaspek kehidupan sesuai dengan aturan Islam di antaranya pendidikan Islam, media Islami hingga sistem sanksi yang menjerakan.
Negara mengembalikan fungsi orang tua sebagai pendidik anak dengan beberapa cara :
1.Edukasi kepada para ayah terkait pentingnya peranan ayah dalam pendidikan anak.
2.Memberikan kesejahteran yg nerata sehingga para ibu tidak di paksa oleh kondisi ekonomi untuk bekerja yang melalaikan fungsi pendidikan pada anak.
3.Negara memberikan aturan pemberian gawai sehingga tidak di berikan terlalu dini.
Dan juga negara memiliki peranan besar dalam hal ini sebagai salah satu pilar tegaknya aturan Allah SWT.
Pada anak anak yang mengalami masalah mental karena pornografi negara akan melakukan rehabilitasi dan terapi sehingga bisa sembuh dan normal.
Jadi solusi ini akan terwujud dengan penerapan islam kaffah dalam naungan Khilafah.

Wallahu 'alam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak