'Marriage is Scary’, Really?



Oleh: Putri Hanifah



Beberapa hari ini selepas kejadian selebgram Cut Intan Nabila melayangkan kasus kekerasan yang dialami dirinya di Instagram, banyak korban KDRT yang menyusul buka suara dan mengunggah video KDRT-nya di sosial media, tak luput juga disusul warga tiktok memerbincangkan horornya pernikahan dengan tagar ‘marriage is scary’. Tapi betulkah menikah semenyeramkan itu?

Guys, tidak ada salahnya lho memerbincangkan satu bahasan ini, sebab menikah adalah bagian dari syariat Islam. Saking agungnya ikatan pernikahan ini, Allah sampai menyandingkan dengan ikatan perjanjian agung antara Allah dengan para Rasul berpredikat Ululazmi, yaitu nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (QS An-Nisa: 154).

Fakta Bukan Sumber Hukum

‘Andaikan di dunia ini laki-laki yang benar hanya ada dua orang, sedangkan semua melakukan kekerasan’, fakta tersebut tetap tidak bisa dijadikan sumber hukum. Sumber hukum (rujukan utama) itu hanya dua saja: alquran dan assunnah. Islam memandang hukum asal pernikahan adalah sunnah, maknanya jika dikerjakan mendapatkan pahala sedangkan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Di sisi lain meskipun hukum menikah adalah sunnah, tetapi Islam juga melarang aktivitas tabattul (melajang). Sehingga apapun fakta kerusakan yang terjadi, tidak mengurangi kemuliaan pernikahan dan lantas tidak mengubah hukum menikah menjadi makruh.

Jika kita sampai memiliki pemahaman ‘marriage is scary’ secara tidak langsung kita juga mengatakan bahwa pernikahan adalah syariat yang menakutkan, naudzubillah. Padahal satu-satunya jalan untuk bisa menyalurkan gharizah nau (naluri untuk melestarikan jenis) adalah melalui institusi sah bernama pernikahan. Sebagai analogi sederhana, ketika terjadi fakta seluruh pemuda di suatu kampung cedera karena olahraga, bukan berarti aktivitas olahraga-nya yang salah dan menjadi tidak penting. Begitu juga dengan aktivitas pernikahan, ketika terdapat ketidakidealan dalam pernikahan, bukan berarti yang salah adalah aktivitas pernikahannya.

Akibat Penerapan Sekularisme dalam Kehidupan

Sebagai bagian dari intelektual, kitalah yang harusnya bertanya bagaimana pernikahan dianggap scary (mengerikan), padahal Allah turunkan lengkap aturan sampai penyelesaian permasalahan? Usut punya usut alasannya karena ilmu tentang pernikahan tidak terintegrasi dalam kurikulum pendidikan nasional. Jangankan bicara ilmu pernikahan, untuk masuk perguruan tinggi saja soal yang diujikan beda dengan yang dipelajari di SMA. Huft…

Guys padahal ya menikah kan nggak cuma sehari dua hari, menikah ini adalah perjalanan seumur hidup. Untuk bisa kerja di luar negeri saja ada bootcampnya: dari belajar bahasa sampai bagaimana kontrak dengan penyalur tenaga kerja. Kenapa untuk pernikahan yang sifatnya adalah ibadah dibiarkan mengalir saja? Yang penting nikah dulu, nanti kalau udah punya anak baru belajar dll (dikira trial error kali ya). Nanti di tengah jalan kalau ada masalah barulah berdalih: ‘aku bertahan karena anak’ ‘aku rela menahan rasa sakit daripada jadi janda’ dll.

Yang lebih menyedihkan lagi apakah korban harus mengupload aktivitas KDRT di sosial media terlebih dahulu agar viral, diketahui seluruh dunia baru ditindak oleh aparat? Fakta ini setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa terdapat kererroran sistem hukum negeri ini. Kok bisa aib dibuka selebar-lebarnya baru ada tindakan yang nyata dari aparat kita?

Semua mata tertuju kepada Armor Treador. Dimaki kata-kata kotor, dihujat, diperlakukan kurang baik. Betul memang Armor melakukan pelanggaran hukum syariat, tapi percayalah meskipun Armor adalah pelaku, tapi di sisi lain ia juga adalah korban dari penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Terdapat beberapa praduga ‘Bisa jadi Armor melakukan kekerasan karena sebelumnya dia juga mendapatkan kekerasan?’; ‘Kenapa akses pornografi oleh negara tidak ditutup rapat-rapat’ ‘Selama ini apakah kasus KDRT itu ditengahi oleh kedua orang tuanya, atau orang tuanya hanya menyolusikan sabar ya nak, terima apa adanya?’ hmm..

Menikah Juga Butuh Sistem Islam!

Guys, sesungguhnya berbagai makian dan cacian kepada Armor bukan sebuah solusi hakiki, sebab selepas ini bisa jadi terdapat Armor Armor lain yang muncul. Solusi sesungguhnya adalah memahami bahwa hubungan suami-istri adalah hubungan persahabatan. Dibutuhkan kerjasama kedua belah pihak untuk saling berfastabiqul khairat dalam kebaikan, serta memupuk kesabaran. Terdapat perbedaan adalah hal biasa, selagi bukan berbeda dalam hal yang sifatnya prinsip. Butuh ketaqwaan individu agar saling ridha untuk terus beribadah bersama.

Selanjutnya ketika terdapat kasus KDRT, musthinya sebagai bagian dari masyarakat kita musthi melakukan amar-ma’ruf nahi mungkar. Jika yang melakukan kemaksiatan adalah pasangan, kitalah yang mengingatkan. Orang tua ketika melihat anaknya melakukan KDRT langsung diingatkan dengan tegas, bukan malah berstatement ‘Yang sabar ya, si fulan emang begitu orangnya’
Sebagai penjaga terakhir dan yang paling kuat, kita tetap membutuhkan Negara Islam, yang menyediakan integrasi pendidikan pernikahan dengan pendidikan sekolah, sehingga kita belajar sesuatu yang sifatnya aplikatif, sistem hukumnya juga sistem hukum yang tanggap cepat (tak perlu upload ke sosial media dulu untuk bisa diproses hukum, sehingga aib tidak perlu tersebar sampai ke luar negeri.

Masih ada kok laki-laki sholeh lain yang rumah tangganya baik, bahkan produktif melakukan kebaikan. Hanya saja memang tidak viral di sosial media, karena mereka lebih hati-hati, supaya tidak terkategori bagian dari memamerkan kemesraan. Jadi meskipun masih belia, jangan patah semangat. Ilmui ibadah terpanjangmu, supaya lebih ringan hisabmu []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak