Oleh Yuli Cantayani, S.E.
Seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya Rp 20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Diketahui "SS menjual bayinya Rp. 20 juta dan MT rencananya diupah Rp 3 jutaan. Alasan SS karena kesulitan ekonomi. Sementara si pembeli bayi ini karena memang belum memiliki anak," sambungnya.
Untuk saat ini, para pelaku ditahan untuk menjalani proses hukum yang ada. Para pelaku dijerat dengan UU No 35 tahun 2014 dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. (KOMPAS, 14/8/2024)
Seharusnya kasus ini tidak dilihat dari sudut pelanggaran hukum semata. Banyaknya kasus dengan faktor himpitan ekonomi mengakibatkan hilangnya akal sehat dan matinya naluri keibuan. Kasus ibu SS yang menjual bayinya Rp. 20 juta hanya sebagian kecil dari kasus-kasus lainnya yang terjadi di masyarakat. Terlebih apabila supporting system dalam menjalankan peran sebagai orang tua juga tidak berjalan, baik karena sama-sama miskin atau individualistis. Kondisi tersebut juga semakin menguatkan alasan menjual buah hati sendiri.
Selain itu berbicara masalah ekonomi keluarga erat pula kaitannya dengan kemampuan seorang suami dalam hal memberi nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada saat ini para suami sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan, PHK terjadi dimana-mana, persaingan bisnis tidak sehat karena UMKM harus bersaing dengan para pengusaha bermodal besar di ring yang sama. Ekonomi yang semakin sulit karena negara tidak menjamin kesejahteraan rakyat. Sementara negara terus memalak rakyat atas nama pajak. Ini terjadi karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi materi membuat cara pandang apapun dilihat dari untung rugi termasuk hubungan penguasa dengan rakyat.
Di sisi lain, kasus SS dan yang lainnya mencerminkan gagalnya sistem pendidikan membentuk pribadi yang bertaqwa. Sistem pendidikan yang berasas sekulerisme kapitalisme membuat agama dipisahkan dari kehidupan. Alhasil generasi tidak bisa mengaitkan perbuatan mereka berdasarkan halal haram, pahala dosa, baik buruk sesuai syari’at agama. Generasi dididik menjadi pribadi yang material oriented sehingga mereka akan melakukan apapun demi bertahan hidup meski harus menjual anak kandungnya sendiri.
Sungguh deretan kepiluan ini adalah hasil penerapan sistem sekulerisme kapitalisme dalam kehidupan.
Ini berbeda sekali dengan sistem Islam dalam mengurus rakyat. Dalam sistem Islam menetapkan peran negara sebagai raa’in (pengurus), kesejahteraan menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari)
Tugas negara sebagai pemimpin wajib mengurus kemaslahatan rakyat termasuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Islam memiliki sistem ekonomi yang menyejahterakan rakyat melalui berbagai mekanisme, termasuk banyaknya lapangan pekerjaan.
Islam juga memiliki sistem pendidikan yang akan membentuk kepribadian Islam. Sistem pendidikan dalam Islam diberikan secara gratis untuk semua masyarakat. Semantara negara menetapkan kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam, hingga terbentuk kepribadian Islam dan kemampuan menjalani kehidupan dalam diri generasi. Dengan kebijakan seperti ini dapat dipastikan insan - insan yang ada di masyarakat menjadi insan mulia yang senantiasa mengaitkan perbuatan mereka dengan syari’at. Menjadi insan-insan yang kuat dalam mengarungi kehidupan.
Ditambah media juga berperan untuk mendukung terbentuknya keimanan serta menjaga keimanan. Konten - konten tidak sesuai akidah Islam seperti konten mengumbar aurat, penyebaran ideologi kapitalisme, ide sekulerisme, paham liberaisme dan sejenisnya akan diarang tayang. Hanya konten edukatif yang mencerdaskan umat serta menambah kekaguman terhadap Islam saja yang dibolehkan tayang.
Oleh karena itu, penerapan Islam kaffah di dalam sebuah institusi negara akan mewujudkan optimalnya fungsi keluarga.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Tags
Opini