Gadai SK Wakil Rakyat Usai Dilantik, Masalah Kian Pelik




Oleh. Lilik Yani (Muslimah Peduli Umat)

Usai Dilantik, SK Wakil Rakyat digadaikan, sungguh ironis. Terindikasi untuk membayar biaya politik termasuk kampanye, dan lainnya. Separah itukah demokrasi, hingga untuk mendapat jabatan harus diperebutkan? Tak melihat kwalitas yang penting bisa membayar mahal. Jadilah saling sikut demi sebuah kursi jabatan.

Dilansir dari detikjatim.com - Sejumlah Anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai 'gadaikan' Surat Keputusan (SK) pengangkatan ke bank. Fenomena gadai SK massal usai pelantikan Anggota DPRD ini menunjukkan betapa mahalnya biaya politik di Indonesia. Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof Anang Sujoko menilai langkah anggota legislatif menggadaikan SK adalah fenomena yang cukup memprihatinkan. Beban berat Anggota DPRD yang terpilih muncul akibat mahalnya biaya proses demokrasi.

"Fenomena yang sangat menarik. Tetapi menariknya, itu lebih bicara keprihatinan yang amat sangat terhadap fenomena demokrasi atau praktik demokrasi yang ada di Indonesia saat ini," ujar Anang Sujoko kepada detikJatim, Sabtu (7/9/2024).

Para calon legislatif (caleg) yang berjuang memperebutkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus merogoh kocek dalam dalam. Beberapa caleg bercerita jika ada yang sampai mengeluarkan uang hingga Rp5 miliar. Sebagian besar dari dana tersebut dihabiskan untuk politik uang dan alat peraga kampanye (APK). Tak heran kemudian, usai dilantik mereka ramai-ramai menggadaikan SK Pelantikan.

Biaya Politik Tinggi, Kualitas Tak Berfungsi

Biaya politik yang tinggi ini tak lepas dari kecenderungan masyarakat yang masih terjebak dalam politik transaksional. Menurut sang caleg, masyarakat lebih memilih kandidat yang menawarkan uang lebih banyak ketimbang memperhatikan kualitas atau fungsi dewan sebagai wakil rakyat. Siapa yang memberikan amplop lebih besar, dia yang dipilih. Fungsi dewan diabaikan, politik transaksional menentukan segalanya. Tak hanya itu, ketimpangan antara jumlah pemilih dan kursi yang diperebutkan juga membuat caleg merasa harus mengeluarkan lebih banyak uang demi menarik perhatian pemilih.

Pengeluaran besar membuat anggota DPRD terpilih terpaksa mencari cara untuk menutupinya. Banyak yang akhirnya menggadaikan Surat Keputusan (SK) pelantikan mereka ke bank, dengan pinjaman mulai dari Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Direktur LSM Magetan Center Coruption Watch sekaligus pengamat politik, Beni Ardi mengungkapkan kekhawatirannya bahwa beban finansial ini akan mengganggu kinerja para wakil rakyat. "Mereka akan fokus mencari cara untuk mengembalikan modal politik, ketimbang menjalankan tugas sebagai wakil rakyat

Hukum Berutang dalam Islam

Hutang diatur dalam Islam karena memang merupakan salah satu sektor kecil dalam urusan ekonomi ummat. Hutang juga bukan saja dilakukan oleh orang yang tidak mampu, namun juga oleh orang yang mampu atau memiliki banyak harta. Banyak sekali permasalahan dan konflik yang hadir dari soal hutang. Oleh karena itu apapun yang bisa berdampak pada permasalahan sosial, Islam pasti akan mengatur, setidaknya secara prinsip umum karena persoalan teknis bisa saja berubah.

Karena Islam cukup konsen terhadap permasalahan utang, maka ada beberapa dalil yang berkaitan dengan hal tersebut. Berikut ini adalah beberapa dalil yang Islam berikan terkait permasalahan utang, yang perlu kita perhatikan.

Islam melarang umatnya untuk meninggal dalam keadaan memilili hutang. Hutang bisa menjadi pemberat dan penghapus kebaikan kita kelak dihisab di akhirat. Seperti yang disampaikan oleh hadits berikut.

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah)

“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi). Hadits ini menunjukkan bahwa hutang yang belum dibayar menjadi pemberat dan membuat jiwa kita tidak diterima terlebih dahulu. Untuk itu, jangan sampai hal ini terjadi. Saat kita masih hidup di dunia, maka segerakanlah kewajiban membayar hutang.

Yang lebih parah dari berhutang adalah ketika mereka tidak berniat untuk membayar dan menyelesaikan hutangnya. Mereka akan diberikan status sebagai pencuri karena menggunakan dan memakan uang yang bukan haknya. Ini sama seperti pencuri.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah)

Wakil Rakyat Biasa Utang, Kinerja Terganggu Tidak?

Kebiasaan wakil rakyat gadai SK pasca dilantik merupakan salah satu potret buruk politik demokrasi.
Disinyalir "tradisi" ini terkait mahalnya ongkos politik untuk meraih kursi kekuasaan dan maraknya gaya hidup hedon wakil rakyat dalam sistem sekuler demokrasi. Sehingga alih-alih bekerja demi kepentingan rakyat, yang ada adalah merebaknya budaya korupsi dan penyalahgunaan jabatan di kalangan pejabat publik termasuk wakil rakyat.

Biaya politik yang mahal, demi meraih sebuah kursi pimpinan. Demikianlah sistem demokrasi, kursi jabatan dijual. Siapa berani membayar mahal, merekalah yang bisa menempatinya. Dalam hal ini demokrasi tak mengutamakan kualitas pimpinan, melainkan siapa yang berani membayar mahal.

Maka tidak heran jika banyak wakil rakyat berebut kedudukan, meski uang tak cukup, mereka berani berutang. Hutang harus dibayar, tak segan SK wakil rakyat yang baru dilantik sudah digadaikan. Bisa dibayangkan, belum bekerja sudah memiliki beban hutang? Dari mana membayar, apakah gaji yang akan diterima bisa membayar utang?

Akankah menimbulkan peluang korupsi demi bisa membayar utang? Jika demikian halnya, mana bisa fokus bekerja jika memiliki banyak beban utang? Yang ada justru rancangan demi rancangan agar bagaimana caranya memperoleh masukan besar untuk balik modal. Biaya politik sangat mahal, diperoleh dari berutang maka segala cara ditempuh demi sukses membayar utang.

Hakikat Jabatan dalam Islam

Islam menetapkan jabatan adalah amanah. Landasannya adalah akidah dan standarnya adalah hukum syara'. 

Perlu diyakini bahwa jabatan merupakan amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki, meskipun tidak sesuai harapan masyarakat. Misalnya, Allah SWT memberikan jabatan kepada Raja Thalut yang pandai dan gagah, meskipun masyarakatnya menilai bahwa Thalut tidak pantas menyandang gelar raja, karena tergolong orang miskin (Q.S. al-Baqarah [2]: 247)

Sebagaimana manusia memiliki syahwat menguasai harta, manusia juga memiliki syahwat untuk menguasai jabatan. Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, keduanya adalah dua rukun (pilar) dunia. Pendapat ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw:

“Cinta harta dan jabatan menumbuhkan kemunafikan di hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman (sayur-mayur)”.

Rasulullah Saw pun mengibaratkan cinta harta dan jabatan itu lebih merusak terhadap keimanan seorang muslim, dibandingkan dua serigala buas yang dilepas ke tengah kerumunan domba.

Meskipun banyak al-Qur’an dan Hadis yang secara tersurat maupun tersirat mencela jabatan, tetap saja manusia memperebutkan jabatan. Menurut Imam al-Ghazali, hal ini dikarenakan jabatan merupakan kelezatan dunia yang terbesar. Bagaimana tidak? Berbekal jabatan, pejabat menguasai hati rakyatnya. Dari penguasaan hati tersebut, muncul beragam kenikmatan duniawi yang diperoleh pejabat dengan mudah.

Mengingat begitu banyaknya keistimewaan yang dapat diraih melalui jabatan, tidak heran banyak orang berlomba-lomba memperebutkan kursi jabatan. Inilah yang disebut al-takatsur (saling memperbanyak), tepatnya memperbanyak pengaruh atau pengikut.

Problemnya adalah jabatan di dunia itu terbatas. Misalnya, hanya ada satu kursi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, dan kepala desa. Oleh sebab itu, perebutan jabatan di dunia selalu memicu persaingan tidak sehat.  

Ketika pejabat terlampau nyaman duduk di atas kursi jabatan, maka sulit sekali baginya untuk melepaskan jabatan tersebut secara sukarela (legowo). Fakta sejarah sudah membuktikan begitu banyak pejabat yang tidak rela kehilangan kekuasaan, sehingga mati-matian mempertahankan kekuasaannya, sekalipun dengan cara-cara biadab, seperti yang dilakukan Fir’aun dan Namrudz yang membunuh para bayi laki-laki.

Itulah kiranya hikmah mengapa al-Qur’an menggunakan istilah “mencabut” kekuasaan dengan paksa (wa tanzi’u al-mulka) (Q.S. Ali Imran [2]: 26), karena pada umumnya pejabat tidak rela mundur dari jabatannya, kecuali dipaksa oleh keadaan atau masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, apabila kita ingin atau sedang menduduki jabatan, maka hendaknya memperhatikan tiga hal.

Pertama, tidak perlu mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara, karena jabatan yang diperoleh secara haram, akan menghilangkan pertolongan Allah SWT. Sebaliknya, jabatan yang diperoleh secara halal, akan mengundang pertolongan Allah SWT (H.R. Bukhari-Muslim).

Kedua, ketika mengemban suatu jabatan, pejabat harus berhati-hati dalam melangkah, karena peluang pejabat masuk neraka adalah dua kali lipat dibandingkan peluangnya masuk surga.

Ketiga, jika sudah waktunya menyudahi jabatan, tidak perlu dipertahankan mati-matian; karena jika pejabat tidak mau lengser secara sukarela, maka dia akan “dilengserkan” oleh Allah SWT secara paksa dengan berbagai cara yang tak terkira.

Sebaliknya, jika kita berposisi sebagai rakyat atau pemilih, maka hendaknya kita memperhatikan tiga hal juga.

Pertama, ikhtiar memilih pemimpin yang terbaik sesuai tuntunan Islam. Misalnya, memilih pemimpin yang memiliki jiwa kesatria (gagah berani) dan cinta negara layaknya Nabi Dawud AS (Q.S. al-Baqarah [2]: 251) serta memiliki sikap empati atas kepedihan nasib masyarakat dan tekad kuat memperbaiki nasib masyarakat disertai sikap kasih sayang tanpa batas sebagaimana Rasulullah Saw (Q.S. al-Taubah [9]: 128).

Kedua, istikharah, yaitu meminta pilihan yang terbaik kepada Allah SWT. Misalnya, shalat istikharah.

Ketiga, berdoa. Misalnya, berdoa sesuai tuntunan Rasulullah Saw,

“(Ya Allah) mohon jangan Engkau kuasakan kepada kami, pemimpin yang tidak sayang kepada kami” (H.R. al-Tirmidzi).

Demikian hakikat pemimpin menurut Islam. Islam mengenal Majelis Umat (MU) yang tupoksinya beda dengan wakil rakyat dalam demokrasi. Fungsi MU adalah perpanjangan aspirasi umat yang dipilih karena kepercayaan, bukan iklan/pencitraan yang berbiaya mahal.

Kalau tahu begitu indahnya kepemimpinan dalam Islam, masihkah mengulang demokrasi yang mahal dan tak ada jaminan sejahtera?

Wallahualam bissawwab







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak