FOMO ; MENGEJAR KEPUASAN MATERIAL, MENGUKIR CITRA SOSIAL.



  Oleh : Ummu Aqeela
 
Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan sebuah boneka bernama “Labubu”. Diketahui bonekanya menjadi viral di sejumlah platform media sosial mulai dari Instagram, TikTok, hingga X.
 
Labubu merupakan peri berbulu dengan ciri khas telinga runcing, senyum 'nakal' dan gigi runcing. Sebenarnya karakter ini sudah diperkenalkan sejak 2015, tapi setahun belakangan jadi populer. Viral gantungan boneka Labubu salah satunya berkat unggahan organik Lisa 'Blackpink' di akun Instagramnya. Labubu pun dicari publik Thailand sampai masyarakat internasional.
 
Harga gantungan boneka Labubu juga dibanderol dengan harga yang tidak murah karena bisa dibeli sekitar Rp600 ribu hingga Rp1 jutaan. Boneka tersebut bisa dibeli di perusahaan mainan Pop Mart. Dan mirisnya tidak sedikit orang berbondong dan merogoh kocek segitu besar untuk mendapatkannya.
 
Melansir dari Tatler Asia, Labubu lahir dari tangan seniman kelahiran Hong Kong, Kasing Lung. Labubu sendiri adalah bagian dari kelompok makhluk yang disebut The Monsters. Selain Labubu, ada karakter bernama Zimomo dan Tycoco. Mereka terinspirasi dari dongeng Nordik dan kali pertama muncul di buku anak-anak.
 
Kemudian pada 2019, Lung menandatangani perjanjian eksklusif dengan perusahaan mainan Tiongkok Pop Mart. Kemitraan ini mengubah The Monsters dari karakter buku cerita jadi mainan koleksi. Sejak saat itu, Labubu dirilis dalam beragam warna, bentuk dan ukuran. Pop Mart yang notabene terkenal dengan blind box-nya pun bikin kolektor bersedia membeli demi mendapat karakter yang disukai. (CNN Indonesia, 13 Sebtember 2024)
 
Fakta diatas adalah salah satu yang menjadi perbincangan anak-anak muda zaman sekarang, fenomena FOMO atau Fear of Missing Out. Yaitu kekhawatiran atau kecemasan yang dialami seseorang jika ia kehilangan momen atau informasi tertentu. Ia selalu merasa tertinggal bahwa kehidupan orang lain (terutama di media sosial) akan lebih berwarna dibanding kehidupannya sendiri. Sehingga ia khawatir, jika tidak mengetahuinya lebih cepat, akan membuatnya tidak terlihat keren atau bahagia.
 
Walhasil, mereka tidak akan merasa tenang dan senang sampai mereka mendapatkan barang-barang atau melakukan aktivitas kekinian. Tanpa mempertimbangkan aspek kebutuhan dan kebermanfaatannya bagi mereka.
 
Kalau kita ingin bicara tentang kebiasaan FOMO dan kemampuannya untuk membuat orang merasa perlu membayar sesuatu hanya agar tidak merasa tidak ketinggalan, maka tentu kita pun perlu membahas tentang fenomena konsumerisme. Konsumerisme sendiri adalah fenomena sosial yang mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak barang daripada yang sebenarnya mereka butuhkan. Meski tidak bisa dijelaskan dalam penjelasan yang paralel, konsumerisme sesuai perkembangannya di masyarakat sangat berhubungan dengan sistem yang bercokol yakni kapitalisme.
 
Sistem ekonomi yang mendorong semua elemen masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan melibatkan diri dalam pasar. Dan esensi utama dari kapitalisme adalah murni untuk menciptakan keuntungan finansial. Dengan memunculkan sensasi seperti tayangan iklan menarik yang berintensitas tinggi misalnya, publik mampu dimanipulasi sehingga dapat berpikir produk yang sedang diiklankan memang benar-benar harus didapatkan. Orang-orang tergoda untuk membeli bukan karena kebutuhan, tetapi karena ingin mengejar kepuasan material dan mengukir citra sosial.
 
Dalam Islam, Rasulullah SAW telah memberikan kita pedoman bijak tentang konsumsi dan perilaku konsumerisme. Memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah hal yang wajar dan manusiawi. Namun, ada batas yang perlu dijaga agar kita tidak terjebak dalam perilaku konsumerisme yang berlebihan.
 
Dalam Islam konsumerisme, dengan segala berlebihan dan ketidakpahaman akan batas-batasnya, sering kali membawa dampak negatif seperti perilaku sombong dan pamer yang sangat tidak diinginkan dalam ajaran Islam. Allah SWT telah menegaskan pentingnya berkonsumsi dengan bijaksana. Ayat yang menyatakan,
 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS: Al-Furqan; 67) 
mengingatkan kita untuk hidup dalam keseimbangan, bukan dalam berlebihan atau ketiadaan.
 
Dengan mengintegrasikan ajaran Islam secara kaffah ke dalam kehidupan, umat Muslim dapat menciptakan model konsumsi yang lebih etis dan berkelanjutan, yang tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan. Dan ini tentu saja tidak akan mampu kita perjuangkan sendirian. Butuh Institusi besar sebagai pembuat kebijakan. Institusi dalam naungan sebuah Daulah Islamiyah, yang akan menjaga seluruh umat memegang lurus akidahnya dan menundukkan hawa nafsunya.
 
Wallahu’alam bishowab.
 
 
 
 
 
 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak