Oleh : Sri Setyowati
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi Undang-Undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (19/9). Setidaknya terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu di antaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. (cnnindonesia.com, 20/09/2024)
Wacana yang beredar menyebutkan jajaran kementerian yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Jumlah ini bertambah 10 dari yang sebelumnya hanya sebanyak 34 kementerian. (antaranews.com, 18/09/2024)
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah yang biasa dipanggil dengan sebutan Castro menyatakan bahwa penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Ketentuan sebelumnya 34 tapi sekarang dihapus, karena memang rezim pemerintahan Prabowo nanti membutuhkan legitimasi bagaimana mengakomodasi semua kabinet gemuk. Ada semacam over coalition yang butuh diakomodasi, maka satu-satunya pilihan adalah menambah jumlah kementerian. Padahal menurut Castro, jumlah kementerian 34 sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak. Castro juga memandang seharusnya pos-pos kementerian koordinator dihilangkan agar terjalin komunikasi langsung antara presiden dengan menteri. Hal itu sekaligus untuk memangkas birokrasi.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat senada dengan Castro bahwa menambah pos kementerian merupakan langkah yang keliru, seharusnya yang ditambah adalah kantor dinas-kantor dinas. Kultur masyarakat dan geografis Indonesia tidak memerlukan banyak kementerian atau jabatan di tingkat pusat. Justru, yang perlu ditambah adalah kantor dinas di tingkat provinsi. Kementerian sebagai wilayah administratif hanya perlu mengawal regulasi dan implementasi yang dibebankan pada kedinasan di wilayah. Prabowo sebaiknya memangkas jumlah kementerian yang ada saat ini dan melebur yang sifat kerjanya hampir sejenis atau bersinggungan atau bertumpuk. Seharusnya, kementerian di Indonesia justru dimoratorium, bahkan dikurangi. Contoh Setkab dilebur dengan Setneg, Kemensos dilebur dengan Tenaga Kerja. Kemenko PMK dihapus, Kemenhub dilebur dengan PUPR, dan lainnya. (cnnindonesia.com, 20/09/2024)
Indonesia menerapkan sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, karena itu pengangkatan menteri menjadi hak prerogatif presiden. Artinya presiden memiliki wewenang untuk mengangkat menteri-menteri yang akan memimpin struktur kelembagaan negara dibawah presiden dari orang-orang yang berkompeten dan ahli di bidangnya. Namun, gemuknya kementerian atau penambahan pos kementerian jelas membutuhkan banyak orang. Tentu saja kebutuhan dana untuk gaji para menteri juga bertambah. Hal ini beresiko menambah beban anggaran negara yang secara tidak langsung akan bertambahnya utang negara karena salah satu faktor pemasukan APBN adalah dari utang. Dan sudah bisa dipastikan kenaikan pajak juga tidak bisa dihindari karena selain utang, instrumen penting lainnya dalam pemasukan APBN adalah dari pajak. Di sisi lain, tugas tiap kementerian menjadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan terjadi tumpang tindih, temasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif dan tidak efisien. Selain itu akan membuka peluang korupsi dan menjadi sarana bagi-bagi kue kekuasaan balas jasa atas kerja Pemilu atau Pilpres. Dan belum bisa dijamin kepentingan rakyat makin menjadi perhatian. Legislasi yang dijalankan hanya untuk mengakomodasi kepentingan elit politik dan pemilik modal. Bagi-bagi porsi kekuasaan melalui posisi di kabinet juga akan memicu lemahnya pengawasan pada parlemen ke depannya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala negara adalah penanggung jawab penuh seluruh pengelolaan urusan rakyatnya. Ketika pemimpin negara mampu menyelesaikan sendiri seluruh pengelolaan urusan rakyat, maka hendaknya ia selesaikan sendiri tanpa mengangkat pembantu. Namun, syariat juga memperbolehkan pemimpin negara mengangkat orang-orang yang dipercaya dalam pengelolaan urusan rakyatnya. Struktur jabatan yang efektif efisien harus menjadi pertimbangan karena menyangkut pada pengelolaan keuangan rakyat. Jumlah orang dalam struktur pemerintahan harus sesuai dengan jumlah kewajiban negara yang harus dibayarkan kepada pejabat yang diangkat beserta staf-staf negara. Ketika seluruh permasalahan kehidupan rakyat yang menjadi tanggung jawab pengelolaan negara bisa ditangani oleh struktur yang ramping maka tidak perlu terjadi penggemukan. Boleh mengangkat pejabat negara bila sesuai dengan kebutuhannya dalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut.
Jadi dalam sistem pemerintahan Islam tidak ada pengangkatan pejabat karena balas budi, apalagi transaksional. Pembentukan struktur lembaga negara dan pengangkatan pejabat pemerintahan harus berdasarkan syariat Islam. Setiap pelanggaran terhadap syariat akan dimintai pertanggung jawaban di yaumil akhir.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Tags
Opini