Benarkah Kementerian Makin Banyak untuk Kepentingan Rakyat?



Riza Maries Rachmawati




Perhelatan pesta demokrasi telah berakhir dengan terpilihnya pemimpin nomer satu negeri ini serta wakilnya. Namun tampaknya akan ada hal berbeda dalam kepemimpinan pemimpin terpilih kali ini dibandingkan kepeminpinan yang lalu yaitu terkait jumlah kementerian. Dalam Undang-undang sebelumnya telah membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 instutusi. Kini DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Dengan UU ini tentunya presiden terpilih akan lebiih leluasa menggunakan hak prerogatifnya menyusun kabinet. (cnnindonesia.com, 20-09-2024)

Wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi atau Awiek menilai revisi UU Kementerian Negara dibentuk untuk memudahkan presiden dalam menyusun kementerian demi tata kelola yang efektif. Pendapat Awiek ini bersebrangan dengan pendapat para pakar yang mengkhawatirkan terjadinya tumpang-tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang-ruang baru bagi praktik kolusi korupsi, nepotisme (KKN). (kabar24.bisnis.com, 19-09-2024)
Lantas benarkah bertambah banyaknya jumlah kementerian ini untuk kepentingan rakyat?. Meski dibantah dengan keras, diduga kuat kebijakan ini dilakukan untuk jalan bagi presiden terpilih untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Sebab kebijakan ini diketahui tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 hingaa 2024. Ataupun daftar 43 rancangan UU yang pembahasannya diprioritaskan selesai sebelum Oktober mendatang. Oleh karena itu, pembahasan Undang-Undang ini menunjukan kesan pemaksaan dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu bukan kepentingan rakyat.

Dalam sistem politik Demokrasi kebijakan bagi-bagi kue kekuasaan merupakan hal yang lumrah terjadi. Kemenangan presiden terpilih dalam sistem ini disokong oleh saham modal yang telah ditanamkan partai maupun non partai. Untuk maju melenggang ke perhelatan politik demokrasi dinegeri ini dibutuhkan dana yang sangat besar. Biaya pemilu dalam sistem demokrasi sangat mahal, khususnya biaya kampanye yang digunakan untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan pemerintahan. Pada akhirnya dana besar tersebut diperoleh oleh partai yang mengusung calon presiden dengan membuka ruang saham modal kampanye bagi siapa saja termasuk para korporat. 

Ketika tampuk kepimpinan telah didapatkan, hal pertama yang dipikirkan oleh penguasa adalah bagaimana cara mengembalikan modal. Dalam waktu yang singkat karena masa jabatannya terbatas hanya 5 tahun saja, penguasa terpilih mau tidak mau harus mengembalikan modal sekaligus keuntungan dari kekuasaannya. Alhasil bagi-bagi kekuasaan pun tidak bisa dihindari. Segala kebijakan pemerintah  dikeluarkan demi memuluskan jalannya termasuk perubahan Undang-Undang ini

Demikianlah gambaran politik pragmatis yang ada di negeri yang mengusung sistem politik demokrasi ini. Pemilu dalam politik Demokrasi hanya dijadikan sebagai alat bagi elit politik melalui legitimasi masyarakat untuk duduk di kursi kekuasaan. Saat penguasa berhasil menduduki kursi kekuasaannya mereka hanya memikirkan pendukungnnya di masa-masa kampanye, salah satunya melalui bagi-bagi kue kekuasaan. Sehingga mustahil penguasan memikirkan apalagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Tak heran banyak praktik korupsi selama ini terjadi didalam tubuh pemerintah diduga kuat sebagai upayan mendapatkan keuntungan melalui kekuasaan. 

Sangat berbeda dengan arah politik yang diatur dalam sistem pemeritahan shahih yakni sistem Khilafah Islamiyah. secara bahasa politik berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Secara makna politik diartikan sebagai ri’ayatus syu’unil ummah (mengurus urusan umat). Pengertian ini diambil dari berbagai hadits yang menjelaskan terkait kekuasaan, Rasulullah saw: “Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi (lain). Namun sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku aka nada para Khalifah lalu jumlah mereka akan banyak. (Para sahabat) bertanya, Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?. Beliau menjawab, Tunaikanlah baiat kepada (Khalifah) yang pertama kemudian kepada yang berikutnya, lalu penuhilah hak mereka dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Muttafaq’alaih)

Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja hamba yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan ia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), ia tidak akan mendium baunya surga” (HR. Al-Bukhari). Dan masih banyak lagi hadits sejenisnya. Dengan demikian politik dibatasi dalam pengertian aktivitas untuk mengurus kepentingan umar secara praktis menggunakan hukum-hukum syariah.

Dalam negara Islam, kekuasaan ada di tangan umat sedangkan kedaulatan ada di tangan syariat. Penguasa atau Khalifah dipilih umat dengan metode bai’at, sesuai syariat Islam. Khalifah bertugas menerapkan dan mengadopsi hukum-hukum syariah yang memang dibutuhkan untuk memelihara urusan-urusan umat. Imam an-Nawawi dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhal (VII/390) telah berkata: “Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA) … yang mudah untuk dikumpulkan”.

Ahlul Halli wal’Aqli bisa dianggap mewakili umat untuk menetukan siapa penguasa yang akan memimpin umat khususnya dalam melaksanakan fardhu kifayah dalam pengangkatan Khalifah yang tidak harus dilakukan oleh semua orang. Melalui ketentuan ini seorang wakil umat atau penguasa yang terpilih adalah orang yang layak. Apalagi Khalifah yang dipilih dalam negara Khilafah bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia. Tetapi untuk menjalankan hukum Allah Ta’ala, sehingga hal ini akan menjauhkan dari kebijakan zalim dan menguntungkan segelintir orang saja.

Metode bai’at ini akan menutup celah politik balas budi yang selalu terjadi dalam sistem demokrasi. Karena Khalifah tidak menjanjikan kekuasaan kepada siapa pun, ketikan calon Khalifah itu terpilih menjadi Khalifah. Sehingga ketika Khalifah menunjuk orang-orang yang akan membantunya dalam mengurus urusan umat, Khalifah secara objektif memilih orang-orang yang memiliki kapabilitas memimpin. Apalagi Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah. Kelak pada hari kiamat, ia akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan, kecuali mereka yang melaksanakannya dengan baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw pun telah mencontohkan bahwa dalam politik tidak ada politik balas budi. Politik hanya digunakan untuk menerapkan syariat dan mengurus urusan umat sesuai dengan hukum syariat. Dan orang-orang yang membantu Khalifah pun adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas bukan orang-orang pesanan partai atau tim sukses seperti dalam sistem demokrasi. 

Wallahu’alam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak