Oleh: Yeni Sri Wahyuni
Pada tahun 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Termasuk untuk pembelian rumah hingga membangun rumah sendiri tanpa kontraktor yang besarannya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.30/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Pajak membangun rumah sendiri saat PPN masih 11 persen yang berlaku saat ini adalah 2,2 persen dan saat PPN naik menjadi 12 persen mulai tahun depan adalah 2,4 persen. (Kompas.com, 15/09/2024)
Fakta ini menggambarkan betapa sulitnya masyarakat memiliki rumah, apalagi ditambah dengan kenaikan pajak membangun rumah. Hal ini membuktikan bahwa negara gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyatnya. Sehingga, rakyat tidak bisa membangun rumah yang layak dan nyaman. Sementara itu, rakyat yang bisa membangun rumah yang layak atau memadai justru dikenai pajak yang makin tinggi. Tampaklah tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat, apalagi adanya penetapan pajak rumah.
Pajak menjadi sumber utama pemasukan negara yang mengadopsi kapitalisme. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menjadikan negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan atau perumahan bagi rakyatnya. Mirisnya, negara kapitalisme terus mengelabui rakyat dengan berbagai slogan agar terus menerus membayar pajak. Seperti, "warga negara yang baik adalah yang taat pajak". Ini menunjukkan bahwa negara dalam sistem kapitalisme hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai peri'ayah dan pemberi solusi bagi rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam, penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan,kesehatan, dan keamanan rakyat. Dalam memenuhi kebutuhan pokok termasuk papan rakyat, negara akan menempuh mekanisme tidak langsung yang diatur syariat Islam. Pertama, negara akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat dengan gaji yang layak. Ketersediaan lapangan pekerjaan akan terbuka lebar, sebab negara akan menciptakan suasana yang kondusif untuk bekerja.
Kedua, negara menjamin kebutuhan papan atau perumahan masyarakat melalui hukum-hukum pertanahan berlandaskan syariat. Hal ini memudahkan rakyat dalam memperoleh lahan. Pasalnya, lahan mati baik yang belum pernah dihidupkan maupun yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, maka kepemilikannya akan berpindah kepada siapa saja yang menghidupkan lahan tersebut. Negara juga bisa memberikan tanah kepada rakyat yang membutuhkan.
Kemudian, negara dilarang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama. Dalam Islam, ada tiga sumber pemasukan negara, yaitu dari harta milik negara seperti fai, jizyah, kharaj, 'usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan lain-lain. Selanjutnya, ada harta milik umum yang dikelola negara secara mandiri dengan tujuan kepentingan dan kemaslahatan rakyat seperti tambang, hutan, danau, laut, dan lain-lain. Terakhir, harta yang diberikan melalui sedekah kaum muslim seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak.
Maka, dengan mengelola tiga jenis sumber pendapatan ini, negara mampu menjamin kebutuhan rakyat terpenuhi. Adapun pajak dalam sistem Islam yang dikenal dengan istilah dharibah, disamakan dengan harta sedekah dari orang kaya ketika kas negara kosong. Pajak merupakan pungutan sementara dan tidak bersifat permanen.
Demikianlah, ketika Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan akan menjadi solusi segala permasalahan manusia. Dalam Islam, fungsi negara sebagai raa’in, yakni melayani urusan rakyat secara totalitas. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk meraih kesejahteraan adalah dengan kembali kepada ajaran Islam secara kaffah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini