Oleh : Maulli Azzura
Wacana pemerintah untuk menerapkan aturan asuransi motor dan mobil mulai menggema.PT Jasaraharja Putera (JRP Insurance) baru saja mengumumkan peluncuran produk asuransi terbaru, JRP-TPL Pro. Produk ini telah sepenuhnya disetujui oleh OJK dengan Nomor Lisensi S-1051/PD.021/2024 dan dirancang untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi pemilik kendaraan bermotor dengan menawarkan jaminan tanggung jawab pihak ketiga.
Pemerintah dengan menggandeng JRP berfokus untuk mewajibkan iuran tersebut untuk jenis kendaraan baru di tahun 2025. Asuransi tersebut menurut pemerintah akan banyak manfaatnya bagi pemilik asuransi seperti kecelakaan dengan unit yang rusak serta teruntuk pengemudinya.Namun demikian, patut dicurigai sudah tepatkan pemerintah membebankan kewajiban rakyatnya untuk meng-asuransikan kendaraannya?.
Sekilas memang aturan ini seperti memberikan nilai guna ( utility) bagi rakyat. Namun sebenarnya segala jenis asuransi yang ada merupakan pengembangan keuntungan baik pemerintah maupun perusahaan swasta yang digandengnya yang sarat praktik ribawi.Tentunya boleh dikatakan bahwa rakyat dipaksa untuk berbuat maksiat dan disisi lain sejatinya asuransi adalah produk kapitalis untuk menyuburkan ekonominya.
Saat ini istilah asuransi dan prakteknya sudah tidak asing lagi bagi umat islam. Mereka beranggapan seakan-akan masa depan seseorang selalu suram sehingga butuh asuransi yang seolah-olah menjadi solusi dalam menghadapi permasalahan hidup di masa depan. Inilah yang mendasari pemerintah dan JPR untuk menggalakan asuransi kendaraan agar baik unit ( kendaraan & pengemudi ) tergantikan kerugiannya jika terjadi sesuatu ( transfer of risk ).
Bagaimana hukumnya menurut Islam?
Karakter akad dhaman adalah akad tabarru’ (bertujuan kebajikan / tolong menolong), bukan akad tijarah (bertujuan komersial). Sedangkan asuransi hakikatnya bukan akad tabarru’, tapi akad tijarah, karena peserta mengharap mendapat klaim (dana pertanggungan) dan keuntungan dalam mudharabah (Kerja sama) Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah pemberian kepemilikan tanpa kompensasi / pengganti (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169)
Dalam asuransi terdapat unsur Ghoror (ketidak jelasan).Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Kemudian dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul SAWtelah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)”
(HR. Muslim no. 1513).
Dana yang diambil dari iuran tersebut pasti akan diolah oleh perusahaan JPR untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan bisa jadi dana yang sudah terkumpul tersebut akan di investasikan kemana saja .Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu”
(QS. An Nisa’: 29)
Nah dengan demikian jenis asuransi kendaraan yang akan segera direalisasikan pemerintah , merupakan aktivitas untuk mengantarkan pada suatu kemaksiatan terhadap Allah SWT dan rasulNya. Pemerintah sunguh telah menggiring rakyatnya untuk bergelimang dosa. Disisi lain pemerintah juga semakin dzalim terhadap rakyatnya dengan menambahkan beban hidup untuk menanggung iuran asuransi tersebut. Pemerintah sama sekali tidak memperhatikan aspek halal dan haram. Padahal cukup jelas bahwa segala jenis asuransi adalah wujud nyata dari praktik ribawi ekonomi kapitalis.
wallahu a'lam bish-showwab