Oleh : Hestie
Pertambangan merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT secara cuma-cuma kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya untuk dimanfaatkan secara baik. Pertambangan akan selalu berkaitan erat dengan lingkungan hidup, entah itu hasilnya maupun dampaknya.
Baru-baru ini Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI membahas tentang salah satu hasil olahan tambang gas bumi yaitu Liquefied Petroleum Gas atau LPG. Komisi VII DPR RI mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah dari subsidi LPG 3 kg dengan uang tunai langsung (BLT). Subsidi dalam bentuk BLT dianggap sebagai solusi agar subsidi tepat sasaran, sehingga mengurangi beban anggaran negara dalam anggaran subsidi, dan akan diterapkan pada tahun 2026.
Padahal konsumen pengguna tabung gas melon 3 kg, kebanyakan adalah pedagang kecil, para penjual makanan keliling yang menaruh gas melon tersebut di gerobaknya. Notebene para penjual tersebut adalah masyarakat lapisan bawah atau rakyat miskin dan berpendapatan rendah.
Kebijakan pemerintah yang mengalihkan subsidi LPG 3 kg dengan BLT berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti naiknya harga barang, turunnya daya beli, juga membuka peluang potensi korupsi dan kerumitan implementasi.
Akar Permasalahan
Polemik kepemilikan tambang khususnya gas bumi sejatinya tak akan pernah berkesudahan dalam Sistem Kapitalisme Sekuler Demokrasi, karena sistem tersebut ditegakkan atas asas pengabaian Syariat Allah SWT dalam pengaturan urusan pemerintahan, dan ditopang oleh salah satu pilar yaitu pilar kebebasan berkepemilikan. Siapapun “bebas memiliki” tambang berlimpah di negara ini. Kesejahteraan rakyatpun menjadi sebatas angan-angan.
Pemerintahan yang menganut Sistem Kapitalisme Sekuler Demokrasi, mendaulat manusia sebagai pihak yang menetapkan aturan hukum terhadap urusan rakyat, yang kita sebut sebagai “Kedaulatan di tangan rakyat”, sehingga lahirlah produk hukum hasil daya pikir manusia, bukan produk hukum buatan Allah SWT, yang dalam sistem Islam lebih dikenal sebagai Syariah Islam Kaffah. Inilah perbedaan yang paling mendasar antara Sistem Kapitalisme Sekuler Demokrasi dengan Sistem Islam, sehingga dari sinilah cikal bakal munculnya secara kontinyu berbagai polemik yang tak berkesudahan.
Permasalahan di sektor pertambangan pada pemerintahan dengan Sistem Kapitalis Sekuler Demokrasi terletak pada pejabatnya yang korup serta kebijakan swastanisasi atas nama investasi. Pemerintah memberikan berbagai insentif untuk mendorong investasi swasta dan asing, termasuk konsesi lahan dalam sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. UU No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan memberikan konsesi tambang kepada pihak swasta untuk jangka waktu panjang.
Kebijakan ini berlanjut dengan UU No. 22/2001 di sektor minyak dan gas bumi yang memberikan konsesi pengelolaan migas hingga 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Kebijakan ini menunjukkan permasalahan mendalam akibat Sistem Kapitalis Sekuler Demokrasi dengan kebijakannya yang tidak transparan serta terlalu mengutamakan investasi tanpa pengawasan memadai. Dan permasalahan itupun belum ditambah lagi dampak buruk lingkungan yang ditimbulkan, entah itu berkaitan dengan ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang, ataupun potensi bencana alamnya.
Solusi Islam
Syariat Islam memberikan aturan yang jelas. Hukuman tegas terhadap pemimpin yang korup wajib ditegakkan. Sistem Islam pun mengatur hasil pengelolaan tambang berlimpah sepenuhnya merupakan hak rakyat, haram diberikan kepada siapapun dan pihak manapun, baik dimiliki pribadi, swasta atau asing serta tidak boleh diklaim sebagai milik negara. Pengelolaannya dilakukan oleh negara, bukan oleh siapapun atau pihak manapun, baik kapitalis lokal maupun asing.
Hasil pengelolaannya akan diberikan kepada rakyat sepenuhnya melalui berbagai mekanisme guna memenuhi hajat hidup rakyatnya, di antaranya adalah ketersediaan LPG untuk masyarakat, penyediaan fasilitas layanan umum seperti pemberian layanan kesehatan, pendidikan, keamanan gratis bagi rakyat, penyediaan fasilitas umum seperti jalan raya/ transportasi, ketersediaan air bersih, BBM, listrik, dan lain sebagainya. Diberikan kepada seluruh warga negara tanpa memandang SARA ataupun status ekonomi, kaya miskin, muslim dan nonmuslim mendapatkan layanan hak yang sama. Karena Perintah Allah SWT yang termaktub dalam Hadist Rasulullah SAW :
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Hadist tersebut menerangkan bahwa kekayaan alam baik itu yang berupa air, padang gembala (hutan) dan hasil tambang apapun adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta lokal apalagi asing.
Tags
Opini