Oleh Nurul Layli
(Aktivis Mahasiswa)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memamerkan kinerja jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Hal ini karena angka penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak 1983 yang hanya Rp13 triliun. Hal ini ia sampaikan dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional, 14 Juli 2024. Ia juga mengatakan bahwa pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen yang penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya (cnnindonesia.com).
Terkait angka penerimaan pajak, Menkeu merinci misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Bahkan, untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun. Menurut Menkeu, dalam proses mencapai target penerimaan pajak tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari sektor keuangan yang terganggu, perubahan iklim, bencana alam, hingga faktor pesatnya perkembangan digitalisasi (liputan6.com).
Fenomena kenaikan penerimaan pajak tersebut merupakan sebuah narasi yang cukup menggelitik, sebab peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan Menkeu sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat. Rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan untuk kemudian dijadikan sumber pendapatan negara. Di sisi yang lain, kesejahteraan rakyat justru dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 mencapai angka 25,22 juta orang (bps.go.id). Sungguh miris, melihat kondisi masyarakat hari ini yang belum mengenyam kesejahteraan. Lantas, jika seperti ini kondisinya, apa yang layak untuk dibanggakan?
Fenomena ini sebenarnya lumrah terjadi dalam negara yang menerapkan sistem Kapitalisme-Sekuler. Sistem ekonomi kapitalisme memberikan kebebasan berkepemilikan (freedom of ownership) kepada mereka yang kuat modal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Bahkan, tidak lagi melihat sumber ekonomi tersebut menguasai hajat hidup orang banyak atau tidak. Sebagai gantinya, negara memungut pajak dari penghasilan badan usaha ataupun orang pribadi agar bisa membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Jumlah yang didapatkan tentu jauh lebih sedikit dibandingkan apabila sumber-sumber ekonomi tersebut dikelola langsung oleh negara sebagai kepemilikan umum. Inilah yang menyebabkan APBN selalu mengalami defisit dan harus ditambal dengan utang.
Hal tersebut sebenarnya menyalahi apa yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Walhasil, meskipun negeri ini dikenal kaya raya dan sumber dayanya melimpah ruah, tetapi penguasa tidak pernah mampu menyejahterakan rakyatnya.
Hal ini karena seluruh sumber daya tersebut justru menjadi “kue” yang diperebutkan oleh pengusaha yang berkolaborasi dengan para penguasa. Pada saat yang sama, modal untuk menyejahterakan rakyatnya hanya bertumpu pada pajak dan utang yang ujung-ujungnya tetap saja membebani pundak rakyat, bahkan makin mencekik leher mereka. Inilah bukti dari bobroknya penerapan sistem Kapitalisme-Sekuler dalam pengurusan urusan rakyat.
Fakta di atas amat sangat berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam sistem Islam yakni Khilafah Islamiyah. Sistem ekonomi Islam memiliki konsep kepemilikan harta yang akan menopang seluruh operasional yang ada dalam kekhilafahan. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga kategori, yakni (1) Kepemilikan Individu, (2) Kepemilikan Negara, dan (3) Kepemilikan Umum.
Kepemilikan individu mencakup harta pribadi warga negara Khilafah, misalnya upah dari pekerjaannya, warisan, hibah, dan lainnya. Adapun kepemilikan negara, dalam Islam dikenal istilah Baitul Mal yang berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara. Sumber penerimaan negara yang masuk ke Baitul Mal (kas negara) diperoleh dari (1) fai (anfal, ghanimah, khumus), (2) jizyah, (3) kharaj, (4) ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) harta orang murtad.
Terkait dengan kepemilikan umum, Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut. Pertama, fasilitas/sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum.
Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lain. Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau. Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara.
Kemudian, terkait dengan pajak yang diberlakukan dalam Baitul Mal sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya. Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila Baitul Mal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Selain itu, pajak dipungut berdasarkan kebutuhan Baitul Mal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan Baitul Mal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Pajak dalam Islam diterapkan secara temporal, bukan menjadi penerimaan rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini.
Inilah pengaturan Islam terkait dengan sumber penerimaan negara yang sudah pasti menyejahterakan dan tidak menzalimi rakyat. Sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Dengan penerapan Islam secara kaffah pula, insyaAllah keberkahan dan rahmat Allah akan melingkupi bumi beserta seluruh isinya. WaLlahu’alam bishawab.
Tags
Opini