Pembangunan Desa Ala Kapitalis, Mampukah Menciptakan Pemerataan ?




Oleh : Eti Fairuzita



Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pembangunan desa memiliki peran sentral dalam mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.
"Kedua, pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah, dan antara desa dan kota. Pembangunan desa menjadi penyeimbang untuk memangkas jurang perbedaan antara kehidupan di perkotaan dan pedesaan," ujar Bamsoet dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta.
"Faktanya meskipun dari aspek kewilayahan, sebagian besar wilayah Indonesia adalah pedesaan, namun jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan lebih banyak dari pedesaan," ucapnya.

Bamsoet menyebut bahwa pembangunan desa juga memiliki peran sentral dalam upaya mengentaskan kemiskinan.
Dia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024 yang mencatat persentase angka kemiskinan di desa mencapai 11,79 persen, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan sebesar 7,09 persen.
"Tidak hanya dari aspek kuantitas, dari aspek kualitas, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di desa juga jauh lebih tinggi dibandingkan di perkotaan," ujarnya.

Namun, dia mengingatkan agar arah kebijakan penggunaan dana desa harus tetap dikedepankan untuk program pemulihan ekonomi, diantaranya untuk perlindungan sosial dan penanganan kemiskinan ekstrem, bantuan permodalan kepada BUMDes, dana operasional pemerintahan desa, serta dukungan program sektor prioritas di desa.
"Termasuk penanganan stunting, mendukung ketahanan pangan dan hewani, serta pembangunan lumbung pangan desa, dan pariwisata skala desa sesuai dengan potensi dan karakteristik desa," tuturnya.

Dia pun menekankan bahwa pembangunan desa dapat menjadi stimulan bagi perubahan sosial yang bermuara pada pemberdayaan masyarakat desa. "Insentif fiskal yang dihadirkan melalui program dana desa, harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin agar tepat sasaran, sehingga dapat menjadi stimulus pembangunan desa," ucapnya.

Menurut dia, slogan "tinggal di desa, rezeki kota, bisnisnya mendunia" harus menjadi tren dalam menurunkan laju urbanisasi.
"Menjadi magnet yang menarik minat generasi muda untuk kembali ke desa, membangun daerahnya, dan mengoptimalkan berbagai potensi dan peluang," katanya.

Dia menambahkan bahwa komitmen perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap pembangunan desa yang sangat besar akan dilanjutkan oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto di pemerintahannya yang akan datang.
"Sehingga pembangunan desa bisa menghidupkan daya saing, menarik minat generasi muda untuk tinggal di desa dan membangun desa," imbuhnya.

Pembangunan desa diklaim dapat memeratakan pembangunan dan membawa kesejahteraan masyarakat desa. Sayangnya, realitanya tidaklah demikian. Hingga hari ini, nyatanya masih banyak penduduk miskin di desa dan masih banyak desa tertinggal. Maraknya urbanisasi terlebih pasca lebaran, menjadi salah satu bukti adanya kesenjangan tersebut. Terlebih dalam sistem hari ini maraknya korupsi termasuk dana pembangunan desa, cukup banyak dilakukan oleh pejabat desa. 

Tak ayal dikatakan, pemerataan pembangunan desa hanyalah ilusi semata. Sistem desentralisasi yang diterapkan juga mengakibatkan tidak meratanya pembangunan desa. Sebab sistem ini menjadikan pemerintah pusat berlepas tangan atas pembangunan yang terjadi di desa. Setiap desa didorong untuk mencari sumber pemasukan secara mandiri untuk dipergunakan membangun desa. Padahal kemampuan daerah dan potensi ekonomi yang tersimpan di desa-desa tentu berbeda-beda. 

Memang benar, negara tidak sepenuhnya lepas tanggung jawab sebab kita mengetahui ada program dana desa yang seolah merupakan bentuk perhatian pusat ke desa-desa di berbagai pelosok negeri. Program dana desa ini menggelontorkan dana milyaran rupiah untuk setiap desa. Namun di balik itu semua, ternyata tersimpan motif neoliberlisasi ekonomi, khususnya melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis negeri ini. Negara dalam sistem kapitalisme berpijak pada kepentingan dan keuntungan. Karena itu, program-program yang dicanangkan untuk  mengelola desa didasarkan pada untung dan rugi. Maka tak heran kita menemukan desa yang mendapat perhatian lebih karena faktor  SDA sebagai potensi ekonomi yang dimiliki oleh desa tersebut.

Mirisnya SDA tersebut diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta atau asing. Sehingga tidak ada keuntungan yang didapatkan desa kecuali hanya sedikit. Negara sendiri mendapatkan pemasukan pajak dan izin privatisasi SDA oleh swasta. Segala bentuk pembangunan yang dilakukan pemerintah di pedesaan tidak akan mewujudkan pemerataan selama paradigma pembangunan masih berasaskan kapitalisme.  Pembangunan ala kapialisme hanya berorientasi pada keuntungan bukan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Sebab keuntungan tersebut hanya dinikmati para pemilik modal yang diberi peluang besar mengelola kekayaan alam negeri ini.

Berbeda dengan Islam. Islam menempatkan negara sebagai pengatur urusan umat yang bertanggung jawab penuh dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan seluruh warga negaranya. Pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah prasarana yang dibuat demi kemaslahatan umat. Sehingga pembangunannya tidak berpusat pada sentra ekonomi, tetapi menyebar merata pada setiap permukiman warga. Maka pembangunan di kota dan di desa tidak akan timpang seperti kondisi hari ini yang hanya fokus pada perkotaan namun mengabaikan pedesaan.

Pembangunan di desa juga tidak disandarkan pada keuntungan segelintir orang atau pemilik modal, tetapi kesejahteraan seluruh warga desa. Sebab Inilah visi politik negara Khilafah, yakni mewujudkan kesejahteraan seluruh warga negaranya individu per individu.
Apalagi sistem ekonomi Islam memiliki aturan kepemilikan yang mengharamkan pengelolaan SDA diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Seluruh SDA dengan jumlah berlimpah adalah milik rakyat (publik). Oleh karena itu, negaralah yang wajib mengelola SDA tersebut untuk kemaslahatan umat.
Pembangunan desa akan didukung sistem sentralisasi. Dimana semua daerah akan dalam pantauan negara dengan pejabat dan pegawai yang amanah akan terwujud desa yang maju dan rakyat sejahtera sebagaimana wilayah kota. 

Adapun pembiayaan pembangunan infrastruktur diambil dari Baitul Mal. Pembangunan infrastruktur seperti jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, saluran air minum, dan listrik akan diprioritaskan di seluruh wilayah kota maupun desa. Sebab ketiadaannya atau menunda keberadaannya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Akan tetapi, jika dana dari Baitul Mal tidak mencukupi, maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharibah) dari rakyat.

Pajak diambil dari rakyat yang kaya saja dan sesuai dengan jumlah biaya yang dibutuhkan. Namun jika waktu pemungutan dharibah membutuhkan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun maka boleh bagi negara meminjam kepada pihak lain selama tetap dalam koridor syariat. Pinjaman yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pihak pemberi pinjaman. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharibah yang dikumpulkan dari masyarakat. Sejarah Khilafah yang pernah tegak 13 abad, telah membuktikan terwujudnya pemerataan pembangunan di kota dan di desa begitu kuat dan bisa dinikmati oleh seluruh umat.

Wallohu alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak