Oleh :Eka Ummu Hamzah
( Pemerhati Masalah Publik)
Baru- baru ini pemerintah dalam hal ini presiden membentang karpet merah bagi Ormas ( Organisasi Masyarakat ) agama, presiden telah meneken peraturan perizinan kemudahan pengelolaan tambang bagi Ormas. Kemudahan ini tertera dalam dua ketentuan yang terbit tahun ini. Diantaranya berupa peraturan pemerintah No 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mulai berlaku pada 31 Mei 2024.
Adanya peraturan perizinan ini ternyata tidak serta-merta ormas menerimanya. Diantara ormas yang menerima konsesi tambang ada PBNU, Muhammadiyah, dan Persis. ( Kompas.com. 29 Juli 2024). Tapi juga tidak sedikit ormas yang menolak konsesi tambang ini. Hingga saat ini, peraturan perizinan pengelolaan tambang bagi ormas ini masih menjadi polemik ditengah elit politik dan organisasi masyarakat lainnya.
Indonesia memang salah satu negara di dunia ini yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, diantaranya migas, nikel, dan barang-barang tambang, dan sumber energi lainnya. Pengelolaan SDA ini tidak boleh diserahkan kepada asing, swasta apabila ormas. Pasalnya, untuk mengelola SDA tersebut membutuhkan biaya yang yang fantastis. Belum lagi pemanfaatan dari hasil pengelolaan SDA tersebut jika diserahkan kepada ormas khususnya, maka yang menikmati keuntungannya adalah ormas bukan negara apalagi rakyat. Jika pun negara mendapatkan bagian keuntungan berupa pajak dan royalti, itu hanya sebagian kecil dari keuntungan yang didapat dari pihak pengelola ( ormas, swasta dan asing).
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Barang tambang dan energi yang jumlahnya melimpah, tidak boleh diserahkan kepada asing, swasta atau ormas. Dalam pandangan Islam, hutan, dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang murah atau subsidi untuk kebutuhan umum seperti pendidikan, kesehatan, atau untuk fasilitas umum.
Paradigma pengelolaan SDA milik umum yang berbasis swasta atau yang lainnnya harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya.
Paradigma ini tidak dibangun secara asal-asalan. Melainkan pengelolaan mengikuti hukum syariat Islam. Sebagaimana yang dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Jamal.
Dalam hadits tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasullullah untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah memenuhi permintaannya, tapi segera diinginkan oleh seorang sahabat," Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Rasulullah kemudian bersabda, " tariklah tambang tersebut darinya".
Penarikan kembali pemberian Rasulullah ini menjadi indikasi dari larangan harta yang menjadi milik umum dikelola oleh individu, swasta apalagi ormas.
Dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang membutuhkan usaha yang keras dan biaya yang fantastis untuk mendapatkannya masuk dalam kategori milik umum, baik yang tampak seperti garam , batubara dan lain-lain, maupun yang berada dalam perut bumi seperti minyak bumi dan lain-lain.
Penguasaan sepenuhnya oleh negara, akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus, yaitu sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar, dan juga negara diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara.
Akan tetapi, sistem pengelolaan kekayaan alam seperti ini tidak bisa berjalan dalam sistem Demokrasi-Liberal seperti saat ini. Pengelolaan sumberdaya alam yang benar dan adil hanya bisa dijalankan dalam sistem Islam yang berasaskan akidah Islam. Dalam sistem Islam, aturan tidak bisa diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik, asing atau oligarki. Aturan bersifat fiks. Swasta boleh beroperasi tapi sebagai pekerja negara, bukan pengelola kekayaan alam.
Di sini akan muncul kedaulatan ekonomi dan energi yang sebenarnya. Inilah keunggulan sistem Islam.
Wallahu a'lam
Tags
Opini