Oleh : Ani Hayati, S.Hi ( Pegiat Literasi)
Indonesia dihebohkan dengan meningkatnya kasus gagal ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ada banyak faktor yang bisa meningkatkan resiko terkena gagal ginjal. Dokter mengungkap salah satunya adalah kebiasaan konsumsi makanan dan minuman kemasan yang tinggi gula. Meski tak ada lonjakan anak penderita gagal ginjal yang berujung cuci darah, keberadaan kasus ini perlu menjadi perhatian karena sebagian kasus erat kaitannya dengan pola konsumsi yang salah atau tidak sehat, dan ini yang mendominasi faktor penyebab gagal ginjal (CNN Indonesia,25/07/24).
Tidak dipungkiri, menjamurnya berbagai produk makanan olahan cepat saji telah menjadi solusi praktis bagi para orang tua yang sibuk bekerja. Fast food, junk food, dan sejenisnya seakan menjadi “penolong” bagi mereka yang ingin menyiapkan makanan untuk anak tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Jadilah makanan cepat saji menjadi menu andalan keluarga.
Realita hari ini banyak produk industri makanan dan minuman berpemanis. Sayangnya produk tersebut mengandung gula yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam angka kecukupan Gizi. Hal ini wajar dalam kehidupan yang diatur oleh sisitem kapitalisme, di mana uang menjadi tujuan utama dari proses produksi. Swasta abai dengan aspek kesehatan dan keamanan pangan untuk anak, sehingga tidak sesuai dengan konsep makanan halal dan thayyib. Selain itu, demi tujuan meraup keuntungan semata, negara telah abai dalam menentukan standar keamanan pangan.
Negara harus serius dalam menangani masalah ini. Jangan sampai ketakseriusan pemerintah mengakibatkan penurunan kualitas generasi muda karena minimnya atensi negara dalam memastikan asupan makanan sehat. Bagaimana mau menjadi negara hebat jika generasi muda kita dihantui beragam penyakit dan gangguan kesehatan, seperti diabetes, obesitas, gagal ginjal, kolesterol, dan lainnya. Sungguh miris!
Konsep Islam tentang Makanan
Dalam Islam setiap individu dianjurkan memakan makanan halal lagi thayyib. Allah Taala berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 88 yang artinya, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian, dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya.”
Dalam ayat tersebut Allah Swt. dengan sharih menjelaskan bahwa memakan makanan dalam rangka memenuhi fitrah adalah wajib dan orang yang meninggalkannya atau melalaikannya akan berdosa. Perintah untuk memakan yang “halalan thayyiban” dan larangan “mengikuti langkah-langkah setan” di dalam ayat tersebut mengandung banyak kemaslahatan.
Halal yang dimaksud ialah segala sesuatu yang boleh dikonsumsi dilihat dari aspek zatnya, cara memperolehnya, dan cara pengolahannya. Sedangkan thayyib dalam bahasa Arab berasal dari kata taba yang berarti lezat, subur, suci, halal, dan membolehkan. Thayyib juga berarti “yang terbebas dari kekeruhan”, maksudnya ialah makanan tersebut mendatangkan kebaikan bagi kesehatan, proporsional (tidak berlebihan), dan bergizi.
Pemenuhan kebutuhan makanan yang sehat lagi baik bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga negara yang memiliki peran sentral sebagai berikut.
Negara wajib mengontrol industri agar memenuhi ketentuan Islam tersebut. Untuk itu negara akan menyediakan tenaga ahli, melakukan pengawasan dan sanksi yang tegas bagi pihak yang melanggar aturan. Negara juga akan melakukan Edukasi atas makanan halal dan thayyib ini melalui berbagai mekanisme dengan berbagai sarana untuk mewujudkan kesadaran pangan yhang halal dan thayyib.
Keseluruhan kebijakan tersebut harus diterapkan secara komprehensif dan sistemis, yakni mengubah pola dan gaya hidup berparadigma sekuler, hedonis, dan konsumtif menjadi pola dan gaya hidup islami di segala aspek kehidupan agar dapat menjadikan generasi yang berkualitas, sehat jasmani dan rohani bukan generasi yang sakit. Wallahua’lam bish-shawwab