MinyaKita, Bukan Lagi Minyak Kita?

Penulis: Ilmi Mumtahanah


Lagi, masyarakat dibuat bingung, heran, dan bertanya-tanya. Betapa tidak, Mendag Zulkifli Hasan kembali menetapkan kebijakan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. Kenaikan kali ini, alasannya bukan lagi karena harga CPO tinggi lalu ramai-ramai diekspor ke luar negeri, tetapi karena penyesuaian harga eceran minyak goreng dengan biaya produksi yang terus naik, dan pergerakan nilai mata uang rupiah yang fluktuatif.

Meski demikian, kenaikan harga MinyaKita ini tentu menimbulkan spekulasi. Mengapa negeri penghasil sawit terbesar di dunia malah menaikkan harga minyak gorengnya? Menjadi sangat aneh ketika kebijakan ini diambil manakala produksi crude palm oil (CPO)/minyak kelapa sawit mentah pada 2023 mencapai 50,07 juta ton, naik 7,15% dibandingkan 2022. Namanya saja yang MinyaKita, tetapi realitasnya bukan lagi minyak yang "ramah" di kantong kita (baca: terjangkau). Lantas, mengapa demikian?

Padahal, program MinyaKita awalnya dibuat untuk menekan harga minyak goreng yang melambung tinggi dan langka pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022. Pada Oktober 2021, minyak goreng  mengalami lonjakan harga yang tidak wajar. Awalnya, HET satu liter minyak goreng adalah Rp11.000, lalu mengalami kenaikan hingga Rp20.000 per liter. 

Operasi pasar besar-besaran digelar oleh pemerintah,  tetapi tidak cukup mengatasi tingginya harga minyak. Sudahlah mahal, sulit pula untuk didapatkan. Kala itu, minyak goreng seakan menjadi primadona yang keberadaannya dicari-cari oleh masyarakat.

Tingginya harga minyak goreng saat itu dipengaruhi oleh tingginya harga CPO  yang melonjak menjadi US$1.340/mT atau setara dengan Rp19.291.243 (kurs waktu itu). Faktor inilah yang ditengarai membuat produsen sawit lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. 

Pada April 2022, Presiden Jokowi menetapkan kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Berkat kebijakan tersebut, minyak goreng kembali beredar di pasar. Lalu, pada Juli 2022, pemerintah melalui Kemendag meluncurkan minyak goreng rakyat merek MinyaKita dengan HET Rp14.000 per liter. Namun, setelah dua tahun berjalan, MinyaKita mengalami kenaikan harga. 

Nahasnya, kenaikan harga minyak goreng yang signifikan dan fluktuatif tersebut bersamaan dengan naiknya hampir semua harga bahan pokok. Mulai dari harga beras, ayam, telur, bawang merah, bawang putih hingga yang lainnya. Haruskah rakyat menelan pil pahit lagi demi mengamini kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka saat beban ekonomi kian sulit?

Pada dasarnya, pemerintahan yang bercorak kapitalistik sangat memungkinkan menetapkan aturan sesuka hati. Buktinya, aturan HET MinyaKita dengan harga Rp14.000 per liter yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat masih bisa direvisi demi aturan HET yang baru. Ketika ingin mengganti kebijakan, aturannya yang diubah, bukan patuh pada aturan yang dibuat sebelumnya. Inilah karakter pemerintahan kapitalis, yaitu mengubah aturan demi kepentingan tertentu.

Selain itu, pemerintahan kapitalis selalu berhitung untung dan rugi kepada rakyat. Indikasinya ada pada alasan yang dikemukakan pemerintah, yaitu biaya produksi naik dan pengaruh nilai tukar rupiah. Pemerintah seakan telah bersiap jika terjadi kemungkinan naiknya biaya produksi dan nilai tukar rupiah melemah yang akan memengaruhi harga distribusi minyak goreng. Seakan tidak mau rugi, semua hitungan kerugian tersebut sudah disiapkan dan dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan HET minyak goreng.

Hal ini kemudian diperparah dengan absennya peran negara dalam melakukan tata kelola sawit, baik dalam aspek produksi maupun distribusi. Besarnya peran swasta dalam pengelolaan sawit sangat berpengaruh pada rantai pasokan minyak goreng serta distribusinya.

Pada aspek produksi, kepemilikan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh perusahaan swasta dengan lahan seluas 7,7 juta ha atau 54% dari total luas lahan sawit di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2023 total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta ha. Sebanyak 50,1% atau 8,4 juta ha di antaranya dikelola oleh perkebunan besar swasta. 

Sementara itu, perkebunan rakyat 37% (6,3 juta ha), perkebunan besar negara 3% (0,57 juta ha), dan lahan belum dikonfirmasi 9% (1,5 juta ha). Selama satu dekade terakhir, kebun sawit milik swasta tumbuh paling pesat.

Pada aspek distribusi, dominasi peran swasta dalam produksi minyak sawit memengaruhi rantai distribusi minyak goreng sawit. Penguasaan sawit oleh swasta memperpanjang perjalanan distribusi minyak goreng yang mengakibatkan harga minyak makin mahal. 

Dari produsen lalu disebarkan melalui distributor, kemudian diedarkan melalui agen-agen di wilayah, berlanjut ke reseller hingga pembeli tingkat akhir, yaitu konsumen. Berapa biaya operasional dan pengiriman untuk mengedarkan minyak goreng kemasan ke pasar tradisional dan modern? Jelas ini membutuhkan biaya yang lebih besar.

Padahal, akan berbeda jika pengelolaan sawit diserahkan kepada negara. Dengan kekuasaan dan kemampuannya, negara akan mendistribusikan pasokan minyak goreng kemasan dengan biaya yang minimalis dan negara tidak boleh membebankan biaya operasional distribusi kepada rakyat. Mekanisme seperti inilah yang ada di dalam sistem tata kelola ekonomi Islam.

Pemerintah, dalam Islam, tidak dibolehkan menjadi regulator dan fasilitator, yakni pembuat aturan bagi kepentingan bisnis korporasi. Namun, pemerintah bertanggung jawab secara penuh mulai di tingkat produksi hingga konsumsi.

Untuk jaminan penyediaan pasokan, khalifah harus memastikan aktivitas produksi berjalan optimal, baik yang dilakukan oleh individu maupun pemerintah sendiri. Produksi yang diperoleh akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik untuk konsumsi harian maupun untuk cadangan. Kelebihannya baru dimungkinkan ekspor. Dalam hal ini, Khilafah juga punya independensi untuk melakukan ekspor dan impor tanpa terikat kepada aturan-aturan internasional yang melanggar syariat dan merugikan.

Kemudian, pada aspek stabilisasi harga, Khilafah akan menempuh dua cara. Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan syariah seperti penimbunan, intervensi harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Jika pedagang, importir, atau siapa pun yang menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.

Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi atau pematokan terhadap harga. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslim untuk menaikkan harga atas mereka maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

Adanya importir, pedagang, dan lainya, jika menghasilkan kesepakatan harga maka itu termasuk intervensi dan dilarang. Jika terjadi ketidakseimbangan (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali atau lembaga pengontrol segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.

Dengan demikian, kekhawatiran terhadap lonjakan harga minyak goreng bisa diminimalisasi. Kebutuhan minyak goreng sebagai salah satu bahan pokok pun bisa disediakan dengan maksimal oleh negara. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak