Oleh: Asti
Baru-baru ini, Presiden Jokowi telah mengesahkan PP no 28 tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Dikutip dari pasal 116, “ Setiap orang dilarang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.“ Dari sini bisa dilihat bahwa korban rudapaksa yang hamil diperbolehkan, bahkan difalitasi untuk melakukan tindakan aborsi secara aman. Na’udzubillah.
Rudapaksa atau pemerkosaan saat ini memang masih menjadi PR besar. Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022 - Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kasus KSBE yang diterima Komnas Perempuan mencapai 2.776 kasus. Sementara itu, ada 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan. (https://apps.detik.com/)
Beberapa hal yang telah coba diterapkan untuk mengatasi maraknya kasus rudapaksa ini salah satunya dengan penerbitan UU TPKS. Sayangnya, frasa “sexual consent” dalam UU TPKS justru dianggap dapat menyuburkan seks bebas, karena pelaku tidak bisa dijerat pidana ketika melakukan perilaku seksual atas nama suka sama suka. Terbaru, ada pula peraturan yang memperbolehkan korban rudapaksa yang hamil untuk melakukan aborsi. Kasus rudapaksa dapat menimbulkan trauma psikis, serta rasa malu pada korban dan keluarga korban. Tapi, apakah benar kebijakan aborsi ini bisa jadi angin segar untuk korban rudapaksa? Atau malah sebaliknya? Tindakan aborsi bisa jadi akan menambah beban korban dikarenakan tindakan aborsi tetap memiliki resiko atau komplikasi.
Dikutip dari halaman https://www.alodokter.com/, resiko aborsi antara lain pendarahan hebat, cedera pada rahim atau infeksi akibat aborsi yang tidak tuntas, kemandulan, kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya, dan kondisi serviks yang tidak optimal akibat aborsi berkali-kali. Hal lain yang tetap harus dipegang adalah hukum aborsi dalam islam adalah haram, kecuali jika ada kondisi-kondisi khusus yang dibolehkan oleh syara. Oleh karenanya, kita tidak bisa menjadikan aborsi sebagai jalan pintas.
Penyelesaian masalah rudapaksa atau pemerkosaan harus dilihat secara menyeluruh. Saat ini, sistem sekuler kapitalis memandang perempuan sebagai komoditas dan pembangkit ekonomi. Perempuan juga dibebaskan untuk bertingkah laku di depan umum tanpa panduan hukum syara. Sistem pergaulan sosial dalam masyarakat saat ini jauh dari suasana keimanan. Pergaulan bebas merajalela di mana-mana. Hukuman bagi pelaku rudapaksa tidak tegas dan tidak menimbulkan efek jera. Dari kondisi-kondisi ini, seperti aborsi tidak akan bisa jadi solusi bagi korban rudapaksa. Malah, bisa jadi menimbulkan efek sebaliknya.
Sebagai seorang muslim, tentu kita yakin bahwa Allah SWT sudah menyiapkan solusi yang terbaik untuk setiap masalah kehidupan kita. Sistem islam akan membentuk individu muslim yang bertakwa dan soleh. Ia akan senantiasa berusaha taat pada hukum syara. Jika berkaitan dengan masalah perempuan, Islam sangat memuliakan perempuan. Hukum asal seorang perempuan dalam islam adalah ibu dan pengatur rumah tangga. Ia tidak dibebani dengan kewajiban memberikan nafkah. Tetapi, Islam juga memperbolehkan perempuan untuk bekerja dengan keahliannya, bukan dengan mengandalkan sisi feminitasnya. Ia dijaga sebaik-baiknya dengan berbagai aturan syara. Islam mengkondisikan kehidupan di masyarakat agar kondusif dan aman bagi perempuan. Tak lupa islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan membuat jera bagi orang yang melanggar aturan syara.
Mengutip Muslimah News (2022), dalam sistem Islam, hukum untuk kasus rudapaksa ada dua: yakni rudapaksa dengan tanpa ancaman senjata dan rudapaksa dengan ancaman senjata. Jika, tanpa ancaman senjata, maka hukumnya seperti tindakan zina, yaitu dicambuk 100 kali (bagi yang pelaku belum menikah dan rajam sampai mati (bagi pelaku yang sudah menikah). Sedangkan bagi pelaku rudapaksa dengan ancaman senjata maka hukumannya sama dengan hukuman perampok, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Qs. Al Maidah ayat 33.
“Sesungguhnya hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
Dari kedua kategori tadi korban rudapaksa tentu saja tidak dikenai sanksi.
Selanjutnya terkait dengan hukum aborsi, Mengutip kitab Nizham al-Ijtima’i karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Rasulullah saw. telah menetapkan bagi janin seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan dan kemudian meninggal dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki ataupun budak perempuan.”
Aborsi tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang fasik) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya. Demikianlah pengaturan islam dalam kehidupan. Hal ini tentu hanya bisa terwujud, jika aturan islam diterapkan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Wallahu ‘alam bi shshawab
Tags
Opini