Kuota Haji Khusus dan Celah Penggangsiran Fulus



Oleh: Nai Haryati, M.Tr.Bns., CIRBD.
(Praktisi, Pengamat Politik dan Ekonomi)



Ibadah haji merupakan momentum yang dicita-citakan oleh umat Islam yang beriman. Tingginya antusiasme masyarakat untuk bisa melaksanakan ibadah haji sangat tinggi, begitupun di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah kuota antrian ibadah haji reguler yang begitu panjang dengan masa waktu tunggu yang cukup lama. Bahkan tidak sedikit orang yang rela merogoh kocek yang besar dengan mendaftar kuota haji khusus untuk memangkas waktu antrian ibadah haji.

Pada tahun 2024 saja ada 221 ribu jemaah yang diberangkatkan ke tanah suci berasal dari Indonesia. Jumlah kuota jemaah dari Indonesia tersebut merupakan yang terbesar di dunia.


Polemik Alokasi Kuota Haji Khusus

Sangat disayangkan realitas penyelenggaran ibadah haji masih diwarnai dengan sekelumit persoalan. Mulai dari keterbatasan fasilitas sampai kepada indikasi pelanggaran dalam penyalahgunaan pembagian kuota haji.

Pemerintah mendapat tambahan kuota sebanyak 20.000, penambahan kuota haji dimaksudkan untuk memangkas lama antrian tunggu jemaah haji. Setelah penambahan kuota, Kementerian Agama menetapkan jemaah haji reguler 213.320 orang dan haji khusus 27.680 orang.

Dalam undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji pasal 64 bahwa kuota haji khusus adalah 8 % dari total kuota haji per tahun. Sehingga ketika pun kuota haju khusus ditambah dengan tambahan kuota baru maka maksimal  19.280 orang. Hal ini menjadi indikasi yang menunjukkan penyalahgunaan pembagian kuota haji dimana jumlah kuota haji khusus melebihi 8%. 

Selain tidak sesuai Undang-Undang, utusan Kementerian Agama berusaha melobi anggota DPR untuk menyetujui proporsi jemaah haji dengan memberikan sejumlah uang pelicin (majalah.tempo.co, 14/7/2024). Penyalahgunaan kuota ini menimbulkan kisruh, selain pembedaan jenis haji khusus menimbulkan diskriminasi tetapi juga membuka celah korupsi. Celah tersebut datang mulai dari biro perjalanan yang berebut mendapat kuota, kementerian agama yang tergiur mengalokasikan kuota lebih besar dan iming-iming fulus agar anggota dewan memberikan persetujuan. Tak ayal regulasi pun diakali dalam rangka penggangsiran dana besar dari penyelenggaraan ibadah ke Baitullah.


Komersialisasi Ibadah Haji dalam Kerangka Kapitalisme

Penyelenggaraan ibadah seharusnya diatur dengan baik dan membuat nyaman umat.  Namun dalam sistem kapitalisme penyelenggaraannya dilaksanakan dengan paradigma pengelolaan bisnis dengan landasan profit oriented dan asas manfaat. 

Jika ibadah haji dibangun dengan kerangka kapitalisme, maka akan dilakukan komersialisasi untuk meraup keuntungan pihak tertentu. Dampaknya tentu akan merugikan masyarakat khususnya calon jemaah haji. Berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki pelayanan ibadah haji pun tidak akan membawa dampak signifikan, karena akar masalah utamanya adalah paradigma salah yang lahir dari sistem hidup yang mengagungkan materi.


Islam dan Politik Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pengelolaan ibadah haji tentu harus mendapat perhatian dan kesungguh-sungguhan dalam mengurusinya. Ibadah haji merupakan rukun Islam dan tentu mendapat prioritas. Maka hal ini akan tertangani jika mengacu pada sistem hidup yang berasal dari Pemilik dan Pengatur Alam Semesta. Maka di sini Politik Islam dan Haji tidak bisa terpisahkan.

Jemaah haji adalah tamu Allah swt. Negara dalam Islam akan mengelola penyelenggaraan ibadah haji dengan penuh tanggung jawab dan memudahkan jemaah dalam semua tahapan termasuk saat di tanah suci, dalam segala sarana dan prasarana yang memanfaatkan kemajuan teknologi.

Terbukti, semasa peradaban islam tegak, penyelenggaraan ibadah haji mendapat penanganan yang baik dengan basis service excellent. Pada masa peradaban telah dibangun rel kereta api sebagai alat transportasi para jemaah haji, dimana kereta api pada saat itu menjadi moda transfortasi tercanggih. Selain itu negara menyediakan rumah singgah untuk membantu jemaah yang kehabisan bekal. 

Sumber daya manusia yaitu para pejabat dan petugas yang bertanggung jawab mengurusi penyelenggaran ibadah haji adalah individu yang amanah. Mereka adalah Khadimul Ummah yang lahir dari sistem pendidikan Islam yang berasas akidah Islam. Mereka tidak akan serakah sebagaimana tabiat sistem Kapitalisme yang menghalalkan segala cara dalam mencapai keberhasilan duniawi.


 Khatimah
 
Kepemimpinan dalam Islam menjadikan penguasa wajib meri'ayah atau mengurusi kebutuhan masyarakat, begitupun dalam pelaksanaan ibadah. Mereka akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Sebagaimana dalam hadist disebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)

Demikianlah Islam mengatur penyelengaaran ibadah haji sebagai bagian politik negara. Mereka akan sangat bersungguh-sungguh mencurahkan segala upaya untuk melayani para tamu Allah swt. Persiapan infrasruktur fisik maupun non fisik akan disiapkan yang dilandasi kesadaran sebagai pelayan masyarakat. Jauh dari paradigma menyesatkan ala Kapitalisme yang akan berusaha mencari celah menggangsir dana rakyat untuk kepentingan yang bersifat sesaat. Wallahu a'lam bi ashawwab.

1 Komentar

  1. Nai Haryati paragraf ke-11 kalimat ke-2 kok transfortasi ya? Bakunya transportasi ibu pengamat.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak