Oleh: Mirna
Remaja adalah Individu yang dikenal memiliki karakteristik yang unik, biasanya dimulai saat memasuki jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Ditandai dengan masa puber, perasaan yang terus berkembang, rasa ingin tau yang luas serta keinginan untuk mencoba hal baru (penasaran) yang kadang berimbas pada gagalnya kemampuan mengendalikan diri. Maka tak heran saat rasa ingin mencoba terlalu besar di fase remaja sering kali muncul tindakan-tindakan impulsive dan tidak bertanggung jawab, dan biasanya inilah yang dikenal dengan istilah kenakalan remaja.
Jika ditilik ada epistimologi Islam remaja diistilahkan dengan As-Syabab atau al-Fata. Bentuk jamaknya adalah as-Syubban dan al-Fityah. Term al-Fityah dijumpai dalam al-Qur’an surat al-Kahfi (17:10,13). Sedangkan term as-Syubban atau as-Syabab dijumpai dalam al-Hadis. Ilmu Jiwa membagi perkembangan manusia kepada beberapa periode. Masa remaja adalah salah satu periode perkembangannya, yang disebut dengan Daur as-Syabab. Setelah melewati daur as-Shaba (masa bayi) dan Daur at-Thufulah (masa anak-anak). Dan periode sesudahnya disebut dengan Daur ar-Rajuliyyah dan Daur as-Syaikhukhah. Dilihat dari kaca mata syari’ah, remaja adalah orang yang menginjak aqil-baligh yang memasuki kategori mukallaf, yaitu orang yang sudah mendapat beban kewajiban melakukan syariat. Indikasinya biasanya ditandai dengan menstruasi bagi wanita, dan mimpi indah (erotic dream) bagi laki-laki. Periode remaja juga disebut sebagai periode Sturm und Drang (Storm and Stress), yaitu keadaan pancaroba, antara lain menyangkut prilaku seksual dan kriminal yang sering disebut dengan kenakalan remaja (juvenile delincuency). Pada masa ini remaja banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma dan hukum. Motivasi perbuatannya adalah ingin mendapatkan perhatian, statatus sosial dan penghargaan atas erksistensi dirinya. Dengan kata lain, kenakalan remaja merupakan bentuk pernyataan eksisitensi diri di tengah-tengah lingkungan dan masyarakatnya. Salah satu penyimpangan prilaku tersebut adalah prilaku seksual.
Remaja pada masa puber cenderung menunjukkan perilaku gharizah nau’ yang kentara, saat menyukai lawan jenis mereka sulit mengendalikan tindakannya hingga tak jarang melakukan tindakan-tindakan “romantic” versi mereka, dengan “nembak”, pegangan tangan sampai nonton video tak mendidik hingga berakhir pada aktivitas “haram”. Mereka labil dan mudah dipengaruhi serta belum mampu mengendalikan diri dan berpikir masa depan. Memang tidak semua remaja demikian. Sebagian besar remaja bertindak asusila karena minimnya pemahaman akan agama, ketiadaan rasa takut akan hukuman yang Allah berikan pada para pelaku zina, bisa jadi berawal dari ketidak tauan karena jauhnya mereka dari kehidupan Islam.
Parahnya perilaku salah ini seakan mendapat angina segar di Negera Indonesia. Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan izin memberikan alat kontrasepsi untuk para remaja, melalui PP 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan itu mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi. Pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi. Kebijakn Nyeleneh semacam itu tentu memicu anggapan bahwa pemerintah memberi ruang agar remaja bebas berhubungan badan sebelum sah secara hukum dan agama. Miris memenag saat dunia Pendidikan sedang tidak baik-baik saja karena banyak tindakan bullyng dan rendahnya kualitas SDM penduduk Indonesia, Pemerintah malah mengeluarkan peraturan yang semakin menambah beban orang tua dan dunia Pendidikan.
Lantas bagaimana Negara ini bisa menghasilkan generasi emas peradapan sebagaimana para remaja di masa Rasulullah, jika pemangku kebijakan malah memberi ruang agar kaum remaja semakin jauh dari ketaatan terhadap agama. Dengan dalih kebebasan dan liberalisasi, dengan contoh negara barat yang sukses. Padahal banyak kasus yang menunjukkan betapa menyedihkannya hidup para remaja dinegeri Kapitalis. Kebebasan membuat mereka menjadi liar di usia remaja, saat berusia tua mereka memilih childfree. Jika sudah begitu lantas siapa yang akan melakukan pembangunan di dalam negeri jika generasi yang diharapan jadi pelanjut perjuangan hampir tidak ada?. Ini adalah salah satu masalah besar dunia Pendidikan bangsa ini. Bagaimana peran orang tua, guru dan pemerintah yang sejatinya menjadi pengarah ke “kebaikan” bukan malah sebagai fasilitator “kebodohan”
Jika dilihat dari sudut pandang Islam, pendidikan anak di mulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai akhir hayatnya. Pendidkan tersebut diharapkan mampu melahirkan anak yang sesuai dengan nilai-nilai fitrahnya, sebagai manusia yang suci dan baik. Oleh sebab itu pendidikan harus berorientasi pada perbaikan budi dan ketakwaan. Sebagaimana firman Allah: … “Sesungguhnya kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya. Keculai bagi orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (lihat juga QS. al-Ashr dan juga al-Hadis).
Sesuai dengan misi risalahnya, nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah SWT. untuk memperbaiki akhlak manusia (akhlak mahmudah). Dengan akhlak yang baik diharapkan tercipta kehidupan yang aman dan damai, jauh dari tindak kekerasan dan dishunanisme, sebagaimana sabdanya “Aku diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Memebina anak berarti membina manusia seutuhnya, sehat jasmani dan rohani, oleh sebab itu pendidikan rohani adalah sangat ditekankan dalam keluarga.
Di sini peranan orang tua sangat besar sekali dalam membimbing dan membentuk kepribadian anak. Contoh teladan pendidikan anak dalam Islam adalah sebagaimana difigurkan dalam kisah Luqman. Dalam al-Qur’an Allah berfirman “Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” ( QS. Luqman : 17-18).
Sete;ah orang tua lingkungan juga memiliki peran besar memebntuk karakter remaja. Adapun jika dilihat dari segi lingkungan, pada dasarnya hal ini bisa dikondisikan melalui peraturan atau system yang mengarah pada aspek religius. Karena system yang dikelola oleh Pemerintah lebih mudah membuat aturan menjadi terealisasi. Dengan kata lain system yang diterapkan hendaknya membuat para remaja takut berbuat zina ataupun dosa lainnya. Sistem semacam ini tentu tidak lahir dari tangan manusia namun dari sang Pencipta. Sebuah system yang membuat rakyat didalamnya akan semakin dekat dengan Tuhannya, seperti Sistem Islam. Wallhu’alam Bisswab.
Tags
Opini