Ilusi Keadilan dalam Sistem Demokrasi




Oleh : Ummu Aimar 



Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp9,5 miliar. Hasyim Asy'ari yang menurut DKPP terbukti melakukan tindak asusila itu memiliki sejumlah aset.

Hal itu berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang terakhir disetorkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Maret 2024 untuk pelaporan periodik 2023. Dalam LHKPN itu, Hasyim mengaku memiliki sebelas bidang tanah dan bangunan yang tersebar di Semarang, Kudus, Rembang, dan Pati.

Luasan tanahnya bervariasi mulai dari 120 meter persegi di Kudus hingga 5.600 meter persegi di Pati. Secara total, belasan tanah dan bangunan Hasyim tersebut ditaksir senilai Rp 7,3 miliar.
Selain tanah dan bangunan, Hasyim Asy'ari juga mengaku memiliki motor Vespa PX150, Honda Spacy, mobil Toyota Prado, dan mobol Nissan New Series. Seluruh kendaraan Hasyim itu senilai Rp 324 juta.
(https://www.jpnn.com)

Begitu sangat jelas hal ini menggambarkan sistem hukum di negeri ini yang jauh dari kata keadilan, dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku yang akhirnya bisa berulang. Bahkan hukum disistem demokrasi saat ini dikatakan tajam ke bawah tumpul ke atas . 

Makin ke sini, demokrasi makin parah rusaknya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa aspek. Yaitu aspek hukum. Hukum dalam demokrasi  telah dikuasai oleh penguasa dan jajaran nya yang ada kepentingan segelintir orang . Maka, sebuah keniscayaan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Kedua, aspek sosial. Tatanan sosial rusak akibat penerapan demokrasi kapitalisme. Nafas-nafas sekularisme merasuk ke dalam benak manusia, melahirkan pola sikap dan pola pikir yang jauh dari Islam.

Ketiga, aspek politik. Dalam dunia politik, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme merajalela. Memang ada sebuah lembaga pemberantasan korupsi, tetapi mereka tidak punya taring. Gigi mereka ompong untuk menegakkan hukum dan keadilan. Banyak kasus korupsi yang mengambang dan belum ada tuntutan para koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang mereka rampok. Bahkan, ada pula yang pelakunya sampai sekarang masih belum ditemukan.

Dalam demokrasi kapitalisme, politik bukan lagi untuk mengurusi urusan umat, Penguasa bukan pelayan umat, akhirnya keadilan sekarat, diperjualbelikan berdasarkan kepentingan yang berkuasa. Rakyat menjadi korban atas rentetan kezaliman berlapis yang tersistem dalam demokrasi kapitalisme. Begitu pula mereka yang berusaha menegakkan keadilan, harus siap menghadapi tangan besi demokrasi dalam membungkam kritik kritis yang menggangu kepentingan segelintir orang tersebut.

Demokrasi ini dari dasar hukumnya sudah cacat. Ideologi yang menaungi dan melahirkan demokrasi adalah kapitalisme. Orientasinya materi, yang dikejar materi dan dunia.

Jelas Demokrasi gagal mendefinisikan keadilan. Keadilan itu adalah memberikan hak sesuatu sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akalnya, dan menentramkan jiwa manusia. Demokrasi tidak sesuai fitrah manusia, karena manusia diajak menyaingi Allah SWT dalam membuat hukum. Demokrasi tidak bisa memuaskan akal, karena yang dipuaskan adalah syahwat dan nafsu semata. 

Demokrasi tidak akan mewujudkan ketentraman, karena potensi ketidakadilan, Oleh karena itu, sistem buatan manusia tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan maupun keadilan.

Maka Ini menjadi bukti lemahnya hukum  buatan akal manusia yang diterapkan hari ini. Wajar karena manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan sering terjebak pada konflik kepentingan.  Inilah gambaran sistem hukum dalam demokrasi, yang bahkan juga membuka celah terjadinya kejahatan berulang.

Banyak sekali fenomena ketidakpastian, ketidakadilan, Oleh karena itu, hukum dalam sistem demokrasi tidak diorientasikan pada upaya mewujudkan keadilan ini bukan sekadar opini, tetapi ini adalah fakta. 

Misalkan diorientasikan sekalipun untuk keadilan, hukum demokrasi buatan manusia tidak akan pernah bisa mencapai level keadilan. Ini yang menjadi titik poinnya. Hukum buatan manusia pasti akan condong pada kelompok tertentu, terutama si pembuat hukum. Sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Beda dengan hukum yang telah Allah tetapkan yaitu hukum syariat islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-sunnah. Karena Allah tidak memiliki tendensi ke mana pun dan siapa pun, maka pasti adil. Apalagi sifat Allah adalah yang Mahaadil.

Untuk mengakhiri krisis keadilan dalam sistem demokrasi itu bukan dengan membuat undang-undang baru atau merevisi KUHP dengan RKUHP. Tetapi, dengan menurunkan ego dan menghilangkan kesombongan dengan taat pada hukum Allah Subhanahu wata'ala. 

Islam adalah agama yang sempurna, diturunkan dari Zat Yang Mahaadil dan Maha Penyayang. Allah Subhanahu wata'ala menciptakan manusia disertai seperangkat aturan yang dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Tetapi, sayangnya umat Islam hari ini tidak hidup dalam aturan Islam, melainkan diatur dengan aturan buatan manusia, yakni demokrasi kapitalisme. Sehingga terjadi banyak kerusakan, ketidakadilan, dan kemungkaran. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain kembali pada Islam agar keadilan dapat diwujudkan. 

Demokrasi tidak akan mewujudkan ketentraman, karena potensi ketidakadilan, Oleh karena itu, sistem buatan manusia tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan maupun keadilan. Karena di sana ada kepentingan hawa nafsu manusia.

Apabila Islam bisa diterapkan dalam level insitusi tertinggi yaitu negara, insyaallah Islam sebagai rahmat seluruh alam dapat diwujudkan. Keberkahan turun dari langit, keadilan dan kesejahteraan benar-benar terwujud dalam bingkai Khilafah Islamiah. Inilah PR besar umat Islam untuk mengupayakan kembali tegaknya khilafah. 

Sungguh berbeda dengan sistem islam. Islam menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allah, Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil.   Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, yang berfungsi jawabir dan zawajir. Islam juga memiliki definisi kejahatan dan sanksi yang jelas.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak