Fatamorgana Keadilan dalam Demokrasi




Oleh: Rahmatia (Pemerhati Umat)

Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Ronald Tannur terdakwa kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti. Putusan tersebut langsung menuai sorotan publik. Penyebabnya, majelis hakim menilai Edward Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituangkan dalam dakwaan pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 259 KUHP dan Pasal 351 ayat (1) KUHP. (Jpnn.com, 3l8/2024)

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik mengatakan Ronald dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Muzakki. Baik dalam pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP maupun ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP.

Hakim menilai keterangan Ronald yang mengatakan masih berusaha memberikan bantuan kepada korban pada saat kritis dengan membawanya ke rumah sakit adalah alasan utama untuk membebaskan Ronald. Menurut Pangeran, pertimbangan itu tidak dapat menjadi pembenaran perbuatan Ronald yang menganiaya Dini hingga membuat korban tewas. (DPR.go.id, 03/08/2024)

Masyarakat akan menanggap bahwa kasus-kasus seperti ini adalah karena kesalahan hakim yang tidak tegas dalam menerapkan hukum sesuai undang-undang. Seharusnya kita patut curiga terhadap sistem hukum Indonesia saat ini yang belum mampu menegakkan keadilan bagi pelaku kejahatan.

Dimana Indonesia sebagai negara yang menganut demokrasi dengan pilarnya Trias Politika dari Montesque, yang merupakan tokoh pemikir dari Prancis membagi kekuasaan negara menjadi tiga: eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang). Pembagian ini bertujuan agar menghindarkan kekuasaan yang otoriter, tapi jika kita berfikir lebih lanjut apakah benar pembagian kekuasaan negara ini dapat menegakkan keadilan?

Jika kita membayangkan sang pembuat undang-undang adalah raja, kemudian sang raja melanggar undang-undang lalu hakimnya adalah raja sendiri, bagaimana menghakimi raja dengan adil? Tentu tidak ada keadilan yang tercipta.

Maka dari itu, Montesque menawarkan rumusan trial politika ini. Mungkin sekilas seperti soluktif bagi problem tersebut. Seolah-oleh tidak ada kerjasama antara ketiga kekuasaan tersebut, tapi faktanya para pelanggar hukum sering bekerjasama dengan para penegak hukum, sehingga tidak terlaksananya undang-undang sebagai sumber hukum saat ini.

Keadilan rasanya seperti fatamorgana dalam negara Indonesia saat ini. Ide-ide yang diambil dari para pemikir barat tidak mampu menumbuhkan keadilan. Yang sangat di sayangkan sekali, negara mayoritas muslim ini harus merasakan pahitnya ketidakadilan, padahal keadilan merupakan suatu ciri utama dalam ajaran Islam. Setiap orang muslim akan memperoleh hak dan kewajibannya secara sama dalam islam. Berdasarkan pada hakekat manusia yang derajatnya sama antara satu mukmin dengan mukmin yang lain. Namun, semua itu hanya jadi angan kosong semata dalam sistem demokrasi. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi negara yang krisis keadilan. Keadilan hanyalah angan kosong tanpa Islam, dan muslim akan mulia dengan hukum Islam.

Berbeda dengan Demokrasi yang mengambil hukum dari manusia, hukum Islam bersumber dari Allah SWT Zat Sang Maha Adil. Dimana sumber hukum sistem Islam memiliki kejelasan sumber hukum yakni Al-Qur'an, Hadis, Ijma Sahabat dan Qiyas Syar'i yang sudah diterapkan sebelumnya dalam dunia Islam.

Dengan adanya kejelasan sumber hukum inilah, tidak akan ada perselisihan dan keabu-abuan karena rujukannya berasal dari Wahyu Allah SWT sebagai Hakim tertinggi dalam sistem Islam. Sistem Islam juga memiliki kejelasan pengertian kejahatan (Jarimah) dan sanksinya karena sumbernya dari Allah SWT.

Dalam sistem hukum Islam yang sejak awal sudah mampu mendeskripsikan perbuatan apa saja yang masuk dalam kategori kejahatan sekaligus menetapkan berbagai jenis sanksinya. Kejahatan (Jarimah) adalah segala sesuatu yang melanggar hukum syari'ah sehingga berimplikasi dosa dan layak mendapatkan sanksi hukum (Uqubat).

Selain itu, sistem hukum di dalam Islam tidak akan bisa diintervensi karena berasal dari Allah SWT. Tidak akan ada satupun yang bisa mengotak Atik atau memanipulasi hukum. Dengan demikian sistem hukum Islam akan memberikan sanksi kepada siapapun pelanggar hukum sesuai dengan apa yang disyari'atkan Allah SWT.

Keadilan akan tercipta, para pelaku kejahatan akan diberikan sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukannya sedangkan orang yang tidak bersalah tidak boleh dicari kesalahannya karena itu melanggar hukum dan termasuk kedzaliman. Hakim yang memutuskan perkara dengan benar akan mudah didapati dalam sistem hukum Islam. Sebaliknya, demokrasi menjadikan hukum yang diputuskan oleh hakim sulit memenuhi keadilan. Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak