Oleh: Nai Haryati, M.Tr.Bns., CIRBD.
(Praktisi, Pengamat Politik dan Ekonomi)
Eksodus produk manufaktur China terus membanjiri pasar domestik RI. Mulai dari elektronik, barang barang mesin, bahan baku industri, kebutuhan rumah tangga dan yang mencuat terbaru yaitu keramik dan tekstil. Muncul kekhawatiran industri RI tidak sanggup dengan gempuran tersebut dan akhirnya tumbang. Apalagi impor barang murah dari China sudah lama terjadi dan China terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi, sehingga biaya rata-rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.
Perubahan selera pasar yang cepat serta potensi pasar di masa mendatang bisa diadaptasi dengan baik oleh manufaktur China dan didukung oleh infrastruktur yang baik dan kemudahan investasi. Jika kondisi ini berlangsung terus maka lambat laun akan mematikan industri dalam negeri (cnbncindonesia.com, 26/7/2024).
Hukum Rimba Perdagangan Bebas
Produk China yang menggempur pasar domestik RI disebabkan ikatan kerjasama multilateral China Asean Free Trade Area (CAFTA) yang bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China. Dalam jurnal berjudul Strategi China Dalam Pelaksanaan China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) (2006) karya Anastasia Laura, dkk, pembentukan CAFTA bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi antara negara-negara anggota serta untuk meliberalisasi perdagangan barang dan jasa.
Perdagangan bebas mengancam eksistensi industri dalam negeri serta menyebabkan imperialisasi produk china di Indonesia. Ibarat hukum rimba, yang kuat yang akan menang, kekuatan ekspansi produk China di Indonesia dengan harga yang lebih murah mengalahkan produk dalam negeri yang semakin terseok-seok. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan literasi finansial yang rendah pada masyarakat Indonesia. Mereka tentu lebih memilih untuk membeli produk Cina yang murah daripada produk lokal. Akibatnya, industri dalam negeri tumbang yang berujung pada PHK, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, serta turunnya perekonomian.
Solusi Inkoheren dan Tidak Solutif
Saat ini, pemerintah tengah berencana mengenakan bea masuk tambahan atas barang-barang impor, termasuk asal China. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 25 Juni 2024 mengatakan pemerintah akan menggunakan mekanisme Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Solusi tersebut inkoheren dengan permasalahan yang terjadi karena pasca pandemi Covid-19, China langsung menggenjot produksinya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Over capacity produk cina yang tidak terserap di pasar dalam negeri diobral ke luar negeri dengan harga yang lebih murah.
Lebih dari itu, kebijakan bea masuk juga dinilai kurang solutif karena membutuhkan waktu lama dalam merealisasikannya. Hal ini diperkirakan membutuhkan waktu minimal setahun, perlu penyelidikan oleh KADI(Komite Anti Dumping Indonesia) serta surat perintah dari Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan. Indonesia juga berpotensi mendapat peringatan dari WTO dikarenakan menerapkan kebijakan bea masuk yang tinggi. Proses yang memakan waktu lama tersebut menyebabkan industri dalam negeri semakin terjerembab dalam kekalahan di dalam ring pertarungan pasar bebas.
Langkah Holistik Melindungi Industri Dalam Negeri
Upaya melindungi industri dalam negeri dapat dilakukan dengan paket kebijakan holistik dari pemerintah. Selain menerapkan bea masuk, perlu adanya revitalisasi industri dengan memberikan berbagai kemudahan agar tercipta iklim investasi yang kondusif bagi pemain industri dalam negeri. Jangan sampai mereka dibebani dengan berbagai pungutan, termasuk pajak, yang menjadikannya kalah bersaing dengan produk China.
Pemerintah seharusnya menyetop kran impor dari luar setelah mengetahui bahaya dari banjirnya produk dari China. Pemerintah bisa memberlakukan bea masuk sementara sehingga tidak perlu menunggu proses penyelidikan dumping.
Selain itu pemerintah perlu memberikan jaminan keamanan terhadap arus barang yang masuk. Langkah tersebut dilakukan agar tidak ada barang yang akan merusak pasar dalam negeri serta aktivitas impor ilegal.
Namun miris, kebijakan kontradiktif diberlakukan melalui Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang salah satu isinya adalah relaksasi impor. Paradoks, di satu sisi pemerintah membuka lebar pintu impor, tetapi di sisi lain berencana menaikkan bea masuk impor. Hal ini justru menghambat geliat industri yang sebelumnya sudah dihadapkan pada banyak tekanan, baik dari sisi pengadaan bahan baku, persoalan ketenagakerjaan dan mahalnya sumber daya energi.
Langkah-langkah holistik untuk melindungi industri dalam negeri justru tidak ditempuh oleh pemerintah. Keberpihakan penguasa terlihat jelas kepada para importir. Sejatinya inilah gambaran profil negara yang bersifat kapitalistik, yaitu hanya mementingkan keuntungan, baik itu keuntungan pribadi penguasa, kelompoknya, bisnisnya, serta para kroninya, yaitu para pengusaha importir. Ini tentu berbeda dengan profil negara dalam Islam yang berorientasi kepada kemaslahatan rakyat yang diurusinya.
Mekanisme Perdagangan dalam Islam
Islam memiliki mekanisme yang khas dalam mengatur hubungan luar negeri, termasuk perdagangan. Landasan yang dijalankan yaitu berdasarkan syariat dan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara.
Di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 161 disebutkan, “Perdagangan luar negeri berlaku menurut kewarganegaraan pedagang, bukan berdasarkan tempat asal barang dagangan”. Berdasarkan pasal tersebut, negara dalam melakukan hubungan luar negeri akan melihat status negara lain tersebut. Jika negara tersebut terkategori kafir harbi fi’lan seperti AS, Israel, Myanmar dan China yang melakukan genosida terhadap muslim Uighur, negara tidak akan melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara tersebut.
Adapun terhadap kafir harbi hukman (tidak memerangi umat Islam) dan mu’ahidun (terikat perjanjian damai), negara boleh melakukan perdagangan luar negeri. Dengan syarat tidak mengimpor produk yang haram, misalnya khamar, narkoba, dan aneka produk yang memberikan mudharat pada masyarakat.
Produk-produk strategis seperti makanan pokok, sandang, dan alutsista, negara akan mewujudkan swasembada di dalam negeri. Upaya tersebut dilakukan agar negara tidak tergantung pada impor yang bisa membahayakan kedaulatan negara.
Negara akan menjamin iklim usaha yang kondusif dan aman untuk rakyat agar industri dalam negeri memiliki daya saing yang tinggi. Industri tidak akan dibebani dengan pungutan yang memberatkan. Negara akan memberi kemudahan-kemudahan seperti bantuan modal dan jaminan keamanan. Dengan begitu, industri bisa maju dan optimal memproduksi kebutuhan rakyat.
Agar produk dalam negeri mampu terserap baik maka negara akan menjamin kesejahteraan masyarakat yang berdampak pada daya beli yang tinggi. Edukasi literasi finansial pada rakyat pun akan dilakukan sehingga bijak dalam mengonsumsi produk, tidak mudah terjebak pada tren atau barang murah. Terakhir yaitu sanksi yang tegas akan diberlakukan bagi para pihak yang membahayakan industri dalam negeri dan mengancam pemenuhan kebutuhan rakyat.
Solusi holistik akan dilakukan oleh negara ketika mereka menjadikan Islam sebagai rujukan dalam pengaturan muamalah. Hubungan yang terjalin antar negera dengan rakyat adalah melindungi dan mengayomi. Begitupun dalam aspek perdagangan, maka negara dalam Islam akan mengutamakan kemaslahatan rakyat sebagai tanggung jawab mereka dihadapan Allah swt. Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini