Oleh : Wahyuni Mulya
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
Dalam neraca perdagangan China bulan Juni 2024 tercatat surplus sebesar USD 99,05 miliar atau naik 41,9% year-on-year (yoy) dimana ekspor naik 8,6% (yoy) sementara penurunan laju impor hingga 2,3% (yoy). Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, kinerja ekspor-impor Tiongkok tentu saja akan mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Produk manufaktur China terus menggempur pasar domestik RI. Belakangan yang mencuat diantaranya adalah tekstil hingga keramik. Ada kekhawatiran industri RI tidak sanggup dengan gempuran tersebut dan akhirnya keok. Apalagi impor barang murah dari China sudah lama terjadi. China juga terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi, sehingga biaya rata-rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.
Menteri Keuangan atau Menkeu AS, Janet Yellen mengatakan bahwa pasar negara berkembang, termasuk beberapa negara G20, berbagi keprihatinannya tentang kelebihan kapasitas industri China. Yellen juga mendorong, untuk memberikan tekanan kepada Beijing agar mengubah model ekonominya.
Saat ini over capacity China telah berdampak pada banjirnya produk China ke Indonesia, namun di sisi lain kinerja impor China yang turun membuat permintaan komoditas dari negara mitra dagang termasuk Indonesia juga akan merosot. Kondisi ini membuat RI kebanjiran produk murah China sehingga menekan daya saing produk lokal termasuk UMKM. Imbasnya PHK hingga ancaman penutupan pabrik Indonesia semakin besar.
Apa Respon Negara?
Pemerintah RI melalui Kementerian Perdagangan berwacana mengenakan bea masuk hingga 200% terhadap barang-barang impor untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada dan norma-norma perdagangan internasional yang berlaku.
Aturan ini disebut Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan aturan ini meski mengutamakan nasional interest namun tidak mengabaikan kemitraan dengan negara sahabat serta tak khusus menargetkan produk China. Sementara Chief Economist CNBC Indonesia, Anggito Abimanyu mengatakan banjirnya produk impor Tiongkok di Indonesia tidak lepas dari oversupply produksi Negeri Tirai Bambu dan Indonesia mungkin negara satu-satunya yang tidak mampu menghadapi gempuran produk China.
Apa Penyebabnya?
Sikap pemerintah tersebut disebabkan terpasungnya kebijakan perdagangan luar negeri kita oleh ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani pada 12 November 2017 dan diimplementasikan sejak 1 Agustus 2019. ACFTA merupakan kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA (FTA Center, Kemendag, 1-8-2019).
ACFTA berdampak buruk pada produk dalam negeri karena produk Cina leluasa masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah. Masyarakat Indonesia yang tingkat kemiskinannya tinggi dan memiliki literasi finansial yang rendah tentu lebih memilih untuk membeli produk Cina yang murah daripada produk lokal. Akibatnya, industri dalam negeri tumbang yang berujung PHK, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, serta turunnya perekonomian.
Ditambah lagi liberalisasi ini makin luas spektrumnya karena arus digitalisasi. Sebanyak 90% produk e-commerce berasal dari produk asing. Serbuan produk asing di e-commerce menjadi tidak terelakkan mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar e-commerce di Asia Tenggara. Saat ini, di pasar-pasar tradisional dan modern telah masuk produk asing.
Apa Solusinya?
Jika Indonesia mau mandiri dan maju, harus bisa melepaskan diri dari perdagangan bebas (liberalisasi) karena itulah penjajahan gaya baru saat ini. Alhasil, solusinya tidak hanya pada tataran teknis, tetapi harus sampai pada level paradigma kebijakan, yaitu gambaran negara mandiri dan maju sebagaimana diharapkan rakyat negeri ini.
Negara dengan kepemimpinan Islam menjalankan hubungan luar negeri, termasuk perdagangan, berdasarkan dua hal, yaitu sesuai syariat (termasuk agenda dakwah dan jihad) dan kemaslahatan rakyat. Khilafah akan menjalin hubungan luar negeri dengan cermat dan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara. Kalaulah ada hubungan perdagangan luar negeri, negara tetap akan mengutamakan perlindungan industri atau dunia usaha rakyat. Negara menjamin iklim usaha yang kondusif dan aman untuk rakyat. Negara juga akan membuat kebijakan yang menjamin kesejahteraan rakyat sehingga memiliki daya beli tinggi dan edukasi sehingga rakyat bijak dalam konsumsi, sehingga tidak mudah tergoda dengan barang murah.
Tags
Opini