Oleh : Ummu Aqeela
Rontoknya industri tekstil dalam negeri yang menimbulkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan buah dari kekacauan regulasi pemerintah. Tanpa ada perbaikan menyeluruh, kerusakan serupa bisa menimpa sektor-sektor industri lain.
Gelombang PHK terjadi di sentra industri tekstil dan produk turunannya. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara mencatat terjadi PHK terhadap 50 ribu pekerja. Yang terbaru, menyusul 11 ribu pekerja dari enam perusahaan dirumahkan. Gonta ganti kebijakan import tekstil ini yang menjadi salah satu sebab kekisruhan tersebut. (TEMPO, 14 Juli 2024)
Sebagaimana kita tahu, sekarang negeri ini sedang banjir barang-barang impor yang harganya murah. Konsumen tentu akan memilih barang yang lebih murah. Alhasil, produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor tersebut. Penurunan permintaan ini membuat pemasukan rendah bagi industri. Di sisi lain, industri juga perlu mengurangi beban produksi. Jika pemasukan kecil, sedangkan karyawan tetap, tentu akan menyulitkan keuangan industri dan perusahaan tersebut . Jadi, pilihan terakhirnya adalah melakukan PHK.
Sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik. Pekerjaan itu menjadi tempat bergantung keuangan keluarga. Bisa kita bayangkan jika mereka mengalami PHK, tentu sumber keuangan keluarga akan hilang. Pemerintah memang telah memberikan penyelesaian atas masalah ini. Mereka memberikan berbagai macam bantuan, mulai dari BLT, beasiswa, bansos, hingga Program Keluarga Harapan (PKH). Namun kenyataannya, bantuan itu tidak merata dan tidak dapat menghapus jejak kemiskinan yang ada. Artinya, penyelesaian yang diberikan hanya terkesan menyelesaikan masalah permukaan, sedangkan masalah utama terus saja berulang.
Masalah yang tidak kunjung tuntas ini terjadi akibat penerapan kapitalisme dengan sekularisme sebagai landasan hidup masyarakat, juga menjadikan materialisme sebagai pendorong aktivitasnya. Sistem ini lebih mengutamakan para pemodal (kapitalis) sehingga semua urusan dihitung dengan standar untung-rugi materi.
Kapitalisme juga menjadikan kebebasan sebagai hal yang biasa, termasuk dalam hal jual beli. Ideologi ini memaksa semua negara di dunia menerapkan sistem perdagangan bebas. Penerapan aturan ini membuat semua negara, termasuk Indonesia, terpaksa mengikuti. Akhirnya, barang-barang dari luar, baik dari mana pun bebas masuk dan merajai pasar dalam negeri.
Di sisi lain, kapitalisme telah membuat peran negara sebatas regulator. Negara sekadar membuat aturan sesuai kebutuhan para pemodal. Adapun jika katanya memperhatikan rakyat, buktinya justru sebaliknya.
Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna memiliki solusinya. Islam mempunyai sistem pemerintahan yang dikenal dengan nama Khilafah yang akan menerapkan aturan sesuai Al-Qur’an dan Sunah. Salah satunya adalah sistem ekonomi Islam yang akan menghindari munculnya masalah PHK.
Prinsip ekonomi dalam pandangan Islam adalah penyerapan pasar domestik yang akan mendapatkan dukungan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ekspor bukan tujuan utama. Sistem mata uang Islam (dinar-dirham) juga stabil sehingga menghambat inflasi. Sistem mata uang ini akan jadi standar mata uang dunia sehingga negara tidak memerlukan cadangan devisa mata uang negara lainnya.
Khilafah juga akan menerapkan sistem transaksi yang hanya bergerak di sektor riil. Tidak akan ada sistem ribawi maupun sektor nonriil lainnya. Perputaran barang dari sektor riil akan lancar dan tidak boleh terjadi penumpukan stok. Penawaran dan permintaan tidak akan menjadi indikator dalam menaikkan/menurunkan harga karena jumlah uang yang stabil. Khilafah pun akan mengatur pendistribusian barang dan jasa hingga semua kebutuhan rakyat terpenuhi.
Menyoal SDA, negara akan mengelolanya dan hasilnya adalah untuk rakyat yang akan diberikan dalam bentuk pendidikan, keamanan dan kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Kondisi ini akan membuat daya beli masyarakat kuat dan stabil. Harga tinggi tidak lagi menjadi soal karena masyarakat dapat menjangkaunya. Hasilnya, industri akan terus berjalan dan PHK dapat terhindarkan.
Wallahu’alam bishowab.