Oleh: N. Vera Khairunnisa
Bukan rahasia umum lagi bahwa problem pinjaman online (pinjol) sudah begitu meresahkan di tengah-tengah masyarakat. Namun anehnya, penguasa justru malah turut berperan menjerumuskan masyarakat dalam problem ini.
Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy yang mendukung usulan pemberian bantuan biaya kuliah tak terkecuali menggunakan pinjaman online (pinjol). Muhadjir mengatakan ada 83 perguruan tinggi yang menggunakan pinjol. (detik. com, 03/07/24)
Pernyataan Muhadjir menuai kritik dari sejumlah pihak. Menurut Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wisnu Wijaya Adi Putra, usulan Muhadjir berpotensi menjerumuskan mahasiswa ke dalam persoalan baru yakni jeratan utang dan bunga wajib dibayarkan jika menggunakan pinjol buat membayar UKT. (kompas. com, 09/12/24)
Hal yang sama disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah. Menurutnya, dukungan pemerintah terhadap pinjol untuk biaya pendidikan bisa menimbulkan beban atau masalah baru. Trubus juga menilai bahwa pernyataan Muhadjir sebagai bentuk kebingungan dan upaya pemerintah lari dari tanggung jawab dalam menyediakan akses pendidikan yang terjangkau. (tempo. co, 08/07/24)
Tidak habis pikir, mengapa bisa pejabat pemerintah menjerumuskan rakyatnya pada aktivitas pinjol dan meminta masyarakat tidak memandang negatif tentang pinjol? Hanya karena pinjolnya resmi dan bunganya relatif rendah, apakah lantas membuat pinjaman itu halal dalam pandangan agama?
Fakta ini sebetulnya bisa menunjukkan dengan begitu jelas kepada kita mengenai bagaimana pandangan pejabat hari ini begitu kental dengan paradigma kepemimpinan sekulerisme kapitalisme. Sistem sekulerisme merupakan pandangan yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak dijadikan sebagai standar atau tolak ukur kebenaran. Pinjaman berbunga yang diharamkan dalam Islam, dianggap sebagai sesuatu yang normal. Na'udzubillah
Selain itu, dukungan terhadap aktivitas pinjol sebagai solusi biaya pendidikan menunjukkan lepasnya tanggungjawab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya dan malah mendukung pengusaha pinjol. Ini khas negara yang bernuansa kapitalis. Siapa yang dirugikan dan diuntungkan dari skema pinjol untuk pendidikan tinggi ini?
Jika skema pinjol baru dipraktikkan di kampus-kampus di Indonesia, negara maju seperti Amerika Serikat telah lebih dulu menjalankan skema yang mirip ini. Dan mereka telah menuai dampak buruknya. Antara 2014-2016 lalu, Amerika Serikat menghadapi risiko pecahnya gelembung pinjaman untuk menutupi biaya kuliah atau student loan. Pada tahun 2014, gelembung pinjamannya mencapai 1 trilliun dolar AS.
Jennie M. Xue dalam Jurnal Manajemen Risiko No.123 / 16 Sept. - 15 Okt. 2016 Th.XII menuliskan, lulusan sarjana di tahun 2015 menanggung utang pinjaman kuliah terbesar dibandingkan dengan kakak kelasnya. Biaya pendidikan tinggi disebut melonjak dua hingga empat kali lipat atau 1.000 persen!
Student loan merupakan salah satu daya tarik bagi dunia perbankan. Sebab pinjaman ini tidak bisa dihapuskan bahkan hingga peminjamnya meninggal, termasuk tidak dapat dihapuskan dengan status hukum pailit. Makanya, mahasiswa yang keluar kampus (DO) sebelum lulus tetap harus melunasi pinjaman ini. (bandungbergerak. id, 07/02/24)
Ibaratnya, menyelesaikan masalah dengan masalah. Mahasiswa yang seharusnya fokus menuntut ilmu, harus dipusingkan dengan biaya kuliah yang begitu mahal. Ketika solusinya dengan pinjol, maka mahasiswa harus memikirkan bagaimana cara melunasi pinjaman tersebut beserta bunganya. Sungguh tega apa yang dilakukan penguasa hari ini. Bagaimana mungkin akan terwujud generasi emas, jika masalah pendidikan diselesaikan dengan menambah masalah baru?
Untuk masalah biaya pendidikan, memang mustahil bisa diselesaikan dalam sistem yang bernuansa kapitalisme sekulerisme seperti hari ini. Harus ada sistem alternatif yang mampu menyelesaikan masalah tersebut hingga ke akarnya. Inilah sistem Islam.
Islam, Solusi untuk Masalah Pembiayaan Pendidikan
Dalam Islam, menuntut ilmu merupakah kewajiban. Sehingga mereka yang melaksanakan aktivitas ini, akan memperoleh pahala wajib. Sejak awal, para pelajar atau penuntut ilmu diperintahkan untuk meluruskan niat. Bahwa aktivitas menuntut ilmu yang mereka lakukan, diniatkan untuk meraih pahala di sisi Allah SWT, dan untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup. Maka, jangan sampai tujuan suci tersebut ternodai dengan menjalankan keharaman, semisal berhutang riba untuk membiayai aktivitas menuntut ilmu.
Islam menetapkan bahwa negara merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menjamin seluruh kebutuhan mendasar bagi rakyatnya, termasuk memberikan kemudahan bagi rakyat untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Semua fasilitas tersebut diberikan dengan biaya yang sangat murah bahkan gratis.
Penguasa harus memastikan bahwa semua rakyatnya mendapatkan akses pendidikan yang sama, tanpa memandang apakah muslim, kafir, kaya, miskin, keluarga pejabat, atau pun rakyat biasa. Hal itu dilakukan atas dorongan ketakwaan. Mereka meyakini bahwa semua yang dilakukkannya di dunia ini akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat.
Selain menjamin fasilitas pendidikan yang murah dan mudah, Islam juga menetapkan terkait dengan tujuan pendidikan serta kurikulum pendidikan harus selaras dengan akidah dan peraturan Islam. Diharapkan, generasi yang lahir dari sistem pendidikan ini bisa memiliki kepribadian Islam, fakih fiddin serta menguasai sains dan teknologi.
Dalam hal pembiayaan seluruh kebutuhan pendidikan, negara mengambilnya dari Baitul Mal. Ada tiga sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, yaitu: Pertama, pos fa'i dan kharaj, yang merupakan kepemilikan negara. Kedua, pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan. Ketiga, wakaf untuk pendidikan dari individu yang kaya dan cinta ilmu.
Jika tiga sumber pendapatan itu tidak cukup dan dikhawatirkan berdampak negatif bagi keberlangsungan perguruan tinggi jika tidak segera dipenuhi, maka negara wajib segera mencukupinya dengan utang (qardh). Utang ini dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin, laki-laki yang kaya dari kelebihan harta mereka.
Dengan demikian, Islam sudah begitu rinci mengatur masalah pembiayaan dalam pendidikan. Sehingga dalam menghadapi persoalan, tidak lagi hilang arah dan kebingungan. Begitu pun dalam halnya pembiayaan pendidikan, masyarakat tidak dibebankan untuk turut menyelesaikan, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan. Itu pun ketika memang kas Baitul Mal kosong.
Selain itu dalam pandangan Islam, pejabat atau penguasa merupakan teladan bagi umat. Oleh karena itu, mereka harus memberikan contoh yang baik dengan senantiasa mengikuti aturan Islam dalam menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan. Misalnya, dalam kondisi keuangan negara sesulit apapun, tidak boleh penguasa membuat kebijakan berhutang yang mengandung riba, apalagi menjerumuskan masyarakat pada aktivitas haram tersebut. Wallahua'lam
Tags
Opini