Perlindungan Anak dalam Perspektif Islam






Oleh : Hamsina Ummu Ghaziyah
(Pemerhati Masalah Anak)

Kasus pencabulan atau kekerasan seksual pada anak di bawah umur kian hari kian meresahkan. Seperti nasib malang yang menimpa siswi sekolah dasar (SD) berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menjadi pencabulan oleh 26 orang. Pelaku rerata anak di bawah umur berstatus pelajar.

Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Simalayuk mengungkapkan, korban dicabuli oleh 26 orang pria dilakukan sebanyak tujuh kali sejak April dan baru dilaporkan pada bulan Mei 2024. Menurutnya, peristiwa pencabulan ini tidak dilakukan secara bersamaan, namun di tempat dan waktu terpisah. (Cnnindonesia.com,23/6/2024)

Terlepas dari kasus pencabulan, dilansir dari Kabar24bisnis.com,(23/6/2024), di Sumatera Barat seorang anak berinisial AM (13) diduga mengalami penganiayaan oleh sejumlah oknum kepolisian hingga tewas. Tak hanya itu, dugaan penganiayaan juga dilakukan terhadap lima orang anak dan dua orang dewasa berumur 18 tahun. Penganiayaan itu, diduga berupa sundutan rokok, ditendang, dicambuk, hingga pemaksaan seksual.

Atas tindakan sejumlah oknum kepolisian tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak agar Polresta Padang dan Polda Sumbar memproses hukum oknum anggotanya yang diduga melakukan penganiayaan. LBH Padang juga meminta agar Komnas HAM aktif melakukan pemantauan terhadap kasus tersebut.

Sungguh miris melihat runutan berbagai kasus kekerasan yang kerap dialami generasi terutama anak-anak. Terlebih, kekerasan paling dominan adalah kekerasan seksual, baik secara fisik maupun verbal. Ironisnya, negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan ini, pada faktanya hampir tidak ada perlindungan terhadap anak. Kita bisa lihat sendiri fakta-fakta yang terjadi di lapangan, tidak hanya kekerasan seksual saja bahkan anak-anak di bawah umur ini pun kerap  dieksploitasi, dipaksa kerja bahkan hingga berjam-jam.

Ini baru sebatas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat. Belum lagi di lingkungan sekolah, dimana oknum guru tega melakukan kekerasan seksual pada anak didiknya dengan modus mendidik. Bahkan, jangan salah, sekolah bertaraf internasional pun tak terlepas dari kasus kekerasan seksual. Seperti  halnya kasus pedofil yang sempat "meledak" pada April 2014 di TK Jakarta Internasional School (JIS). Belum lagi, kekerasan seksual di lingkungan keluarga. Kerap kita menyaksikan di berbagai laman berita seorang ayah tega memperkosa anak gadisnya, seorang ibu tega mencabuli anak balitanya, ada pula anak yang disiksa entah itu oleh orang tua kandungnya maupun orang tua tiri.

Jika demikian banyak fakta yang terjadi, lantas nasib anak-anak ini akan seperti apa? Kemana mereka harus mencari perlindungan? Di Indonesia sendiri sudah ada lembaga yang menaungi keberadaan anak-anak yang menjadi korban kekerasan, yakni Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, sejauh ini, keberadaan KPAI belum mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap anak. Pasalnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus berulang dan belum ada solusi yang benar-benar real untuk menuntaskan problem kekerasan ini.

Dari data kasus kekerasan seksual, KPAI sepanjang tahun 2023 dari Januari hingga Agustus terdapat 2.355 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pun mencatat, sepanjang tahun 2023 ada sekira 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan. Bahkan, anak korban kekerasan tersebut dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Tercatat, ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023. Kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Dan jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di tanah air sebanyak 8.838 kejadian. Sementara, kekerasan fisik tercatat 4.025 kejadian dan kekerasan psikis sebanyak 3.800 kejadian sepanjang tahun 2023.(Dataindonesia.id)

Rentetan kasus kekerasan seksual pada anak tak bisa dipandang sebelah mata. Pasalnya, atas tindakan yang dialami sang anak dapat menimbulkan dampak yang sangat luar biasa. Secara psikologis, anak tidak hanya berpotensi mengalami trauma berat yang cukup panjang tetapi juga pertumbuhan pola pikirnya akan terganggu. Kekerasan seksual tidak hanya meninggalkan bekas luka pada tubuh anak, tetapi juga berpengaruh pada emosional, penyimpangan seksual, dan penurunan fungsi otak. Bahkan, kualitas hidup anak yang mengalami kekerasan seksual akan menurun. Trauma berat tersebut terbawa hingga mereka dewasa. Oleh karena itu, permasalahan kekerasan seksual pada anak ini tidak bisa dianggap remeh. Butuh penanganan serius serta solusi yang benar-benar menyelesaikan persoalan kekerasan hingga tuntas, bukan  solusi tambal sulam.

Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak ini membuktikan betapa manusia telah  jauh dari kehidupan beragama. Sistem pendidikan di negeri ini pun juga terbukti telah gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia. Karena pada faktanya, sustem yang diemban negeri inilah yang menjadi sumber kekerasan sebenarnya.

Sejatinya, negeri ini mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Namun, akibat kedangkalan berfikir manusia dalam menerapkan hukumlah yang mengakibatkan berbagai persoalan muncul ditengah-tengah masyarakat. Hukum jahiliah buatan manusia masih bercokol di negeri ini, maka jangan heran mengapa masih banyak tindak kriminalitas yang kian hari kian bertambah. Apalagi, sistem sanksi yang diterapkan tidak sama sekali memberi pencegahan dan efek jera. Keberadaan badan hukum, kementerian serta lembaga-lembaga yang menaungi anak-anak pun dengan segala programnya terbukti belum mampu mewujudkan perlindungan terhadap nasib anak-anak. 

Inilah akibat paradigma kapitalisme sekular dalam memandang persoalan anak. Paradigma sekular hanya melahirkan individu liberal, dengan menganggap perilaku hidup bebas adalah sebuah tindakan yang sah-sah saja. Alhasil, generasi muda yang seharusnya menjadi ujung tombak lahirnya peradaban justru menjadi budak hawa nafsu sekularisme karena menjadikan kehidupan serba bebas sebagai cara pandang hidup mereka. Sebagai contoh, adanya pergaulan bebas, narkoba, pornografi, merupakan sebagian faktor terjadinya kekerasan seksual. Anak-anak yang sudah terlanjur terpapar sistem sekular ini bisa menampakkan sikap bebas dan sulit diatur bahkan terkesan liar dan pembangkang. Lantas masihkah kita mempertahankan sistem rusak yang tengah diadopsi oleh negara saat ini?

Untuk mengakhiri problematika umat, termasuk kekerasan seksual pada anak, tentunya kita memerlukan sistem terbaik yang lahir dari aqidah yang shahih. Sistem tersebut tak lain adalah Islam, yang tak hanya sekadar agama tetapi juga sebuah ideologi paripurna yang di dalamnya terpancar aturan-aturan syar'i berlandaskan Alquran dan Sunnah.

Dalam hal ini, Islam memiliki mekanisme dalam menjaga, melindungi, mencegah,  dan memberantas kekerasan seksual pada anak. Islam melarang dan mengharamkan segala bentuk aktivitas yang berujung pada kemaksiatan. Islam begitu ketat mengatur bagaimana interaksi laki-laki dan perempuan serta hubungan antar kekerabatan dalam keluarga. 

Adapun mekanisme Islam dalam memberikan perlindungan kepada anak yakni dengan membangun tiga pilar, diantaranya ketakwaan individu, kontrol masyarakat, serta penerapan syariat Islam oleh negara.

Pertama, membangun ketaqwaan individu di atas aqidah Islam. Maka dalam hal ini diperlukannya sistem pendidikan yang memumpuni yang mampu membentuk karakter individu dengan syakhshiyah Islamiyyah (kepribadian Islam)  sehingga cara berpikir dan bertingkah laku individu tersebut sejalan dengan syariat Islam. Individu yang telah tertancap syakhshiyah Islamiyah dalam dirinya akan senantiasa merasa takut ketika berbuat dosa. 

Kedua, adanya kontrol dalam lingkungan masyarakat. Salah satu peran penting dalam bermasyarakat adalah dengan beramar ma'ruf nahyi munkar. Hal ini akan mencegah terjadinya berbagai pelanggaran hukum syara termasuk di dalamnya pelecehan seksual terhadap anak. 

Ketiga, penerapan syariat Islam oleh negara. Poin penting dalam membangun tiga pilar di atas adalah penerapan syariat Islam oleh negara. Sebab, dengan adanya penerapan syariat Islam secara total dalam setiap lini kehidupan akan mencegah berbagai bentuk pelanggaran hukum syara. Negara dakam Islam akan menutup atau memblokir secara total akses-akses yang memicu terjadinya pelecehan seksual seperti pornografi, peredaran miras, narkoba, dsb. Penerapan hukum syara juga akan memberi efek jera bagi setiap pelaku karena sanksi atau hukuman yang diberikan sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan semua tergantung kebijakan dari Qhadi atau hakim.

Demikianlah mekanisme Islam dalam memberantas pelecehan seksual pada anak. Sesungguhnya, hal ini hanya akan terwujud ketika negara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Tidak ada solusi yang lebih kompleks dan komprehensif selain sistem Islam, karena di dalamnya terpancar aturan-aturan shahih yang berasal dari Al Qur'an dan Sunnah.

Wallahu A'lam Bishshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak