Perbedaan Diametral dan Revisi Substantif, di Balik Peningkatan Penerimaan Pajak



Oleh: Nai Haryati, M.Tr.Bns., CIRBD.
(Praktisi, Pengamat Politik dan Ekonomi)



Pemerintah menjadikan pajak sebagai instrumen penting dalam pembangunan dan tulang punggung pendapatan negara. Pajak menjadi komponen pendapatan terbesar dalam APBN bahkan angkanya bisa melebihi 80% dari total penerimaan negara. Walhasil pemerintah akan berupaya menggenjot penerimaan pajak dan memantau perkembangannya guna menambah pundi-pundi kas negara.

Berbagai upaya ditempuh guna mencapai target penerimaan pajak mulai dari pelaksanaan reformasi perpajakan, kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi, implementasi coretax administration system serta sinergi dengan instansi lainnya. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun. Target ini mengalami kenaikan 9,4 % dari tahun sebelumnya Rp1.818,2 triliun.

Menteri keuangan Sri Mulyani dalam acara hari peringatan pajak nasional menyampaikan terkait perkembangan penerimaan negara yang setiap masa terus membaik, hal tersebut dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya (liputan6.com, 14/7/2024). Sejak lebih dari 40 tahun silam penerimaan negara yang berasal dari pajak tercatat terus meningkat.

Kenaikan penerimaan negara dari pajak secara substantif merupakan peningkatan pungutan atas rakyat. Pajak dibebankan dalam berbagai lini kehidupan mulai dari penghasilan, konsumsi barang dan jasa, barang mewah, kepemilikan atau pemanfaatan tanah atau bangunan, dan emisi karbon yang dihasilkan. Tidak hanya dibebani dengan pajak yang berasal dari pusat, masyarakat bahkan dibebani dengan pajak yang berasal dari daerah.

Proporsi pajak yang besar dalam APBN serta target penerimaan yang progresif setiap tahun merupakan hal yang lumrah dalam sistem kapitalis yang diterapkan oleh negara saat ini. Pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai Pembangunan. Pajak menjadi instrumen kebijakan fiskal, baik untuk mendukung program pemerintah maupun dalam kondisi darurat (discretionary measures).

Dampak lain diterapkan sistem kapitalisme adalah adanya liberalisasi atas kepemilikan alam oleh pihak swasta. Sumber daya alam yang seyogyanya menjadi potensi besar untuk pemasukan kas negara nyatanya dikuasai oleh para kapitalis dan oligarki. Negara akhirnya harus bertumpu kepada pajak yang dipungut dan dipaksakan kepada rakyat.

Revisi substantif atas peningkatan penerimaan pajak sejatinya harus difahami oleh masyarakat. Besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kedzaliman. Regulasi menjadikan pajak sebagai iuran rakyat kepada Kas Negara yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang. Hal ini sejatinya membuktikan bahwa negara dalam sistem kapitalis saat ini tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. Peran negara dalam tata kelola hanya sebagai fasilitator dan regulator. Pembebanan dalam pengurusan hajat hidup rakyat dikembalikan lagi kepada rakyat yang berwujud pungutan.

Sementara dalam sistem Islam yang melahirkan aturan kehidupan paripurna, ada banyak sumber pendapatan untuk membiayai pengurusan urusan rakyat. Hal tersebut sejalan dengan sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh Islam dan pengelolaan serta pengembangannya sesuai dengan sistem ekonomi islam.

Islam memiliki dua sumber pendapatan yaitu pendapatan tetap dan tidak tetap. Kaum Muslim memiliki hak didalam pendapat tetap yang masuk ke Baitu Mal berupa Fai’, Jizyah, Khataj, Usyur, Harta milik umum yang dilindungi negara, Harta haram yang pejabat dan pegawai negara, Khusus Rikaz dan tambang, Harta orang yang tidak memiliki ahli waris, Harta orang murtad.

Pajak atau dharibah masuk kedalam pendapatan tidak tetap yang bersifat temporal, dipungut berdasarkan kebutuhan dan ketentuan hukum syara. Ketika kas baitul mal kosong maka negara dapat memungut pajak atau dharibah dari rakyat untuk mengatasi dharar bagi kaum muslim. Pajak hanya akan dipungut dari kaum muslim yang kaya, sehingga pajak tidak akan dijadikan tumpuan dalam pemasukan kas negara.

Penguasa dalam islam dilarang mengambil harta rakyat secara dzalim dan tanpa landasan hukum syariah. Semampang syariah menjadikan penguasa sebagai raa’in yang akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan islam. “Imam adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah penjaga dan yang diberi amanah atas yang dipimpinnya.

Sistem dalam islam memiliki perbedaan diametral dengan sistem kapitalis. Akuntabilitas negara dan penguasa akan terikat dengan hukum Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan. Hal itu akan melahirkan rasa takut kepada Tuhannya atau pertanggungjawaban di akhirat nanti. Islam akan membentuk sistem yang mencegah penguasa berlaku tiran dan sewenang-wenang memberlakukan kebijakan kepada rakyat. Maka sudah seyogyanya kaum muslim berjuang mewujudkan kehidupan islam yang berorientasi kepada pelayanan dan pengurusan urusan umat. Kesungguh-sungguhan tersebut lahir karena dorongan keimanan dan yakin bahwa islam hadir sebagai jalan hidup yang membawa kepada kemuliaan dan rahmat bagi seluruh alam, Wallahu a’lam di ash-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak