Penistaan Agama dan Negara yang Membiarkannya

Oleh  Wahyuni Mulya (Aliansi Penulis Rindu Islam)



Abuya Ghufron Al-Bantani yang kerap disapa Abuya Mama Ghufron mengaku telah merilis 500 kitab yang bertuliskan Bahasa Suryani. 500 kitab Abuya Mama Ghufron bertuliskan Bahasa Suryani diperdebatkan hingga viral saat ini di media sosial. Hal ini karena publik menantang terhadap pembuktian Abuya Mama Ghufron telah menulis 500 kitab dalam tulisan Bahasa Suryani tetapi tidak ada satupun kitab yang ditunjukkannya.

Nama lain Bahasa Suryani Kuno adalah Bahasa Aram Suriah yang memiliki dokumentasinya secara baik. Bahasa Aram Suriah juga pernah menjadi pengantar di seluruh wilayah yang berada di Bulan Sabit Subur. Bahasa ini pernah menjadi terjemahan Kitab telah dibuat sejak abad ke-2 M yang disebut sebagai bahasa tulis yang dibagi menjadi dua bagian, yakni Bahasa Suryani Klasik dan Bahasa Suryani Pertengahan. Bahasa Suryani Baru sudah menjadi hal yang tidak asing bagi era sekarang karena dikenal dengan nama Bahasa Suryani. Posisinya, Bahasa Suryani Baru juga mengalami kekalahan lantaran penuturnya sangat sedikit. Hal itu berasal dari efek perang dunia pertama hingga penganiayaan sampai sekarana sehingga penuturnya nyaris sudah tidak ada lagi.

Mama Ghufron yang mengaku seorang wali dan mengarang 500 kitab berbahasa Suryani serta bisa berbahasa semut telah menyebarkan kesesatan. Mama Ghufron dan pengikutnya terus menyebarkan kesesatan di media sosial. Mama Ghufron tidak memiliki kemampuan keilmuan agama Islam yang baik. Tidak pernah terlihat Mama Ghufron membaca Al Qur’an dan hadits di hadapan para pengikutnya.

Penistaan Agama Seolah Dipelihara

Penistaan agama makin subur saja dalam ruang hidup sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Ironisnya, paham ini juga diadopsi oleh negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Jika agama yang diduga dinistakan adalah agama Islam, maka pelaku harus segera meminta maaf kepada umat Islam sehingga bisa dibicarakan lebih kondusif.

Ketua MUI Prof. Utang Ranuwijaya menilai, melaporkan pelaku terduga penistaan agama ke polisi sudah sangat tepat demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sebabnya, agama merupakan isu sensitif yang dapat memicu ketegangan besar di tengah masyarakat. Ia mengatakan, kasus tindakan penodaan agama bukan tindak pidana aduan. Oleh karena itu, diadukan atau tidak oleh masyarakat, proses hukum akan terus berlanjut.

Semakin Subur dan Menjamur

Penistaan agama yang terjadi kesekian kalinya sejatinya mengindikasikan bahwa perangkat hukum yang ada tidak berefek jera bagi pelaku. Berkaca dari kasus penistaan agama yang sudah pernah terjadi, negara cenderung pasif. Terkadang, pihak aparat baru menindak jika kasus tersebut viral dan menjadi perbincangan publik.

Apalagi posisi umat Islam serba salah. Jika ada muslim yang melaporkan penistaan agama, sebagian pihak menangkisnya dengan dalih umat Islam tidak boleh terprovokasi dan terpancing. Jika penistaan agama dibiarkan, perbuatan tersebut berpotensi kembali berulang dengan pelaku yang berbeda-beda. Jika Islam dihina dan menjadi bahan olok-olokan, umat Islam yang kerap diminta sabar dan tidak tersulut amarah. Melapor dipersalahkan, tidak melapor juga salah.

Sejauh ini juga, hukuman yang ada belum berefek jera bagi pelaku. Terkadang, para penista yang menebar kebencian terhadap Islam hanya cukup meminta maaf secara tertulis atau melalui media elektronik. Sudah banyak kasus penistaan yang mengandung ujaran kebencian hanya berakhir dengan permintaan maaf.

Kebebasan menjadi dewa pada sistem ini, kemudian dibungkus dengan ide HAM. Siapa pun bebas berbuat, bahkan melecehkan agama sekalipun. Tampak di negara asal ide ini, yakni di negara-negara Barat, ide kebebasan yang dibungkus HAM membuat mereka bebas memperlakukan agama, baik agama mereka sendiri ataupun agama orang lain.

Sanksi Tegas Memberantas Penistaan

Para pelaku harus dihukumi dengan hukum Islam. “Tentu saja, negara—dalam hal ini pemerintah—yang harus memberikan hukuman tersebut. Namun, mampukah negara yang menerapkan sistem kapitalisme melakukan itu? Jelas tidak.

Dalam Islam, agama adalah sesuatu yang wajib dijaga dan dimuliakan. Islam juga memiliki sistem pendidikan yang mampu membangun keimanan kuat dan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam sehingga selalu menjaga kemuliaan Islam dan umatnya.

Salah satu tujuan diterapkannya syariat Islam adalah memelihara dan melindungi agama. Di dalam sistem Islam, negara tidak akan membiarkan para penista menyubur di sistem Islam. Islam menjadikan negara sebagai penjaga akidah umat dan menetapkan semua perbuatan terikat hukum syara. Tidak ada kebebasan dalam berbuat dan berbicara.  Pelanggaran hukum syara adalah kemaksiatan . Sebaliknya, negara akan menerapkan sanksi tegas terhadap para pelaku agar bisa berefek jera bagi yang lainnya. 

Ketegasan Islam terhadap penista agama bisa kita lihat dari sikap Khalifah Abdul Hamid saat merespons pelecehan kepada Rasulullah. Saat itu, beliau memanggil duta besar Prancis meminta penjelasan atas niat mereka yang akan menggelar teater yang melecehkan Nabi. Beliau pun berkata kepada duta Prancis, “Akulah Khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!”

Itulah sikap pemimpin kaum muslim, yakni tegas dan berwibawa. Umat akan terus terhina karena tidak ada yang menjaga agama ini dengan lantang dan berani. Hanya dengan tegaknya syariat Islam secara kafah, agama ini terlindungi. 

Oleh karena itu, seruan penegakan syariat Islam harus terus disuarakan agar umat memahami bahwa satu-satunya pilihan hidup terbaik saat ini dan seterusnya adalah diterapkannya syariat Islam di segala aspek kehidupan. Negara yang mampu melakukannya dan punya komitmen untuk menjaga dan melindungi agama dari segala bentuk penistaan ataupun pelecehan hanya Khilafah Islamiah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak