Oleh: Tsaqifa Farhana
(Aktivis Mahasiswa)
Fakta pahit, Indonesia menjadi Juara Pengangguran se-ASEAN. Berdasarkan data dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang merupakan lembaga keuangan international melalui World Economic mencatat bahwa tingkat pengangguran Indonesia termasuk tertinggi di ASEAN sebesar 5,2%. Angka pengangguran di Indonesia ini tertinggi dibandingkan enam negara lain di Asia Tenggara (Sumber: CNN Indonesia).
Pengangguran kini tak lagi hanya melanda generasi baby boomer atau millenial, namun generasi Z pun menjadi korban pengangguran. Di Indonesia, hampir 10 juta generasi Z merupakan pengangguran atau kini disebut NEET (not in employment, education and training).
Berdasarkan data BPS 2021 – 2022 terdapat 9,8 juta jiwa atau setara dengan 21% dari total penduduk generasi Z berada dalam kondisi NEET.
Tingginya angka pengangguran menjadi tanda telah gagalnya sistem dan negara saat ini mengayomi kebutuhan rakyat untuk menciptakan dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Negara yang semestinya bertanggung jawab dan memiliki peran utama untuk mencegah semakin tingginya angka pengangguran. Karena sejatinya, ketersediaan lapangan pekerjaan adalah salah satu tolak ukur kesejahteraan ekonomi rakyat pada suatu negara.
Permasalahan pengangguran ini tak kunjung usai, semakin hari semakin tahun angka pengangguran di Indonesia justru semakin tinggi. Padahal semakin banyak jumlah lulusan SMK dan Sarjana, namun tak ada lapangan pekerjaan yang cukup untuk menerima mereka.
Lulusan dan tenaga kerja dalam negeri kian bertambah, dalam kondisi ini industri dan dunia kerja justru membiarkan dan membuka lowongan pekerjaan bagi para Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dibiarkan masuk ke Indonesia.
Dampak dari derasnya arus globalisasi yang meningkatkan arus jasa antarnegara, mengharuskan SDM dalam negeri kini bersaing dengan SDM lintas negara.
Sudahlah para tenaga kerja dan tenaga ahli dalam negeri ini bersaing, berebut mendapatkan “kursi” dan “posisi” dari sempitnya lowongan kerja dalam negeri yang tersedia.
Disisi lain, pada saat yang bersamaan negeri ini malah banyak mengimpor tenaga kerja asing.
Hal ini menambah beban persaingan dengan para TKA yang mereka masuk ke Indonesia dan sudah diterima di berbagai lowongan kerja perusahaan-perusahaan.
Dikarenakan lapangan kerja dalam negeri yang terlalu kompetitif. Banyak individu, memilih untuk merantau, menjadi tenaga kerja di negeri orang daripada menganggur di negeri sendiri karena susah mendapatkan pekerjaan.
Mindset seperti ini dipilih dan telah menjadi tren yang menjadi solusi “alternatif” dan sementara.
Mengapa Demikian?
Menciptakan lapangan kerja dan ruang berusaha yang kondusif semestinya menjadi prioritas kebijakan politik ekonomi negara sebesar Indonesia. Selain merupakan salah satu negeri terpadat di dunia, dengan jumlah penduduk sangat besar, mencapai 273,52 juta jiwa (per Januari 2023), proporsi angkatan mudanya pun sangat besar.
Sejatinya, pengelolaan sumber daya manusia (SDM) saat ini memakai gaya kapitalis. Yang mengakibatkan tenaga ahli dan tenaga kerja justru impor dari negara asing. Rakyat sendiri susah mendapatkan kerja, lowongan kerja yang sempit, akibatnya kehilangan kesempatan kerja bahkan terpaksa harus menjadi TKI.
Sistem kapitalisme menciptakan ketimpangan antara tenaga kerja yang ada dan kebutuhan. Ketimpangan pada daya tampung lapangan kerja yang tidak sesuai dengan kesempatan kerja dan keahlian yang dibutuhkan.
Sehingga kesempatan lapangan kerja yang ada justru diisi dengan TKA.
Sistem kapitalisme menciptakan kebijakan yang berpihak pada oligarki dan konglomerat, keberpihakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan bukan berfokus pada pemerataan sehingga menimbulkan pengangguran baru.
Paradigma sistem kapitalis inilah yang membuat negara menjadi gamang untuk tegak memihak dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Termasuk pada menyediakan lapangan pekerjaan. Tapi yang terjadi saat ini adalah sebaliknya, negara dengan sistem kapitalis kerap kali mendzalimi rakyat dengan kebijakan yang menyesakkan dan menyengsarakan.
Islam Satu-satunya Solusi
Jauh berbeda dibandingkan sistem sekuler-kapitalisme. Dalam aturan Islam, pemimpin negara memiliki peran sebagai pengurus dan penjaga umat. Adanya dimensi akhirat pada kepemimpinan Islam membuat seorang penguasa akan takut jika zalim dan tidak adil kepada rakyat.
Mereka akan berusaha maksimal mengurus dan menyejahterakan rakyat dengan jalan menerapkan syariat Islam sebagai tuntunan kehidupan. Ajaran Islam menetapkan mekanisme jaminan kesejahteraan dimulai dari mewajibkan seorang laki-laki untuk bekerja.
Namun, hal ini tentu butuh support system dari negara, berupa sistem pendidikan yang memadai sehingga seluruh rakyat khususnya laki-laki memiliki kepribadian Islam yang baik sekaligus skill yang mumpuni.
Salah satu mekanisme untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan bekerja. Dengan begitu, negara berperan penting untuk membuka lapangan kerja, terutama bagi para ayah/wali yang mengemban kewajiban dari Allah Swt. untuk mencari nafkah.
Pada tataran ini, negara juga akan mengedukasi dan memotivasi para ayah/wali itu untuk memaksimalkan upaya dalam memenuhi kewajiban atas nafkah tersebut.
Lapangan pekerjaan pun disediakan oleh negara, pekerjaan yang halal dan suasana kondusif yang tersistem oleh negara dengan Islam. Caranya tidak lain dengan membuka akses luas kepada sumber-sumber ekonomi yang halal, dan mencegah penguasaan kekayaan milik umum oleh segelintir orang, apalagi asing.
Negara dalam aturan Islam akan dapat berdaya ekonominya secara mandiri karena mengelola SDA dan tidak diberikan kepada asing. Sehingga ini akan dapat membuka lapangan kerja.
Selain itu, kualitas SDM dengan skill (keahlian, keterampilan) yang negara butuhkan tentu melalui proses yang tidak bisa instan. Di sinilah peran negara untuk mempersiapkan SDM.
Hal itu bisa negara lakukan melalui pendidikan formal seperti mendirikan sekolah maupun pendidikan tinggi dengan berbagai jurusan. Juga berupa pelatihan, pembekalan skill, maupun program belajar dari negara lain. Ini sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. lakukan saat mengutus beberapa sahabat untuk mempelajari teknologi perang di Yaman.
Inilah rangkaian kebijakan makro yang merupakan politik ekonomi Islam dalam upaya menciptakan lapangan kerja sehingga dapat memutus rantai pengangguran di masyarakat.
Politik ekonomi Islam ini merupakan penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat, bukan sebatas suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif.
Oleh karena itu, negara memberi perhatian penting terkait aspek distribusi harta di tengah-tengah masyarakat demi memenuhi kebutuhan individu per individu.
Tags
Opini