Oleh: Epi Lisnawati
Badan Pangan Nasional menaikan HAP (harga acuan pemerintah) gula dan HET (harga eceran tertinggi) MinyaKita. HAP gula konsumsi di tingkat konsumen resmi naik menjadi Rp 17.500 per kilogram (kg). Harga tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia kecuali di beberapa daerah. Keputusan relaksasi ini ditandai dengan terbitnya surat Nomor 425/TS.02.02/B/6/ 2024 tanggal 26 Juni 2024 tentang Perpanjangan Relaksasi Harga Gula Konsumsi di Tingkat Konsumen.
Dalam surat itu ditetapkan harga gula konsumsi di tingkat produsen sebesar Rp 14.500/kg dan di tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp 17.500/kg. Untuk daerah/wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan wilayah 3TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan) harga Gula Konsumsi di tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp 18.500/kg.
(detik.com, Sabtu 29 Juni 2024)
Kemudian untuk HET MinyaKita dari Rp14.000 per liter menjadi Rp 15.700 per liter. Kementerian Perdagangan saat ini sedang menunggu revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait kenaikan HET MinyaKita sebesar Rp 1.700 dari harga sebelumnya Rp 14.000 per liter. Alasan pemerintah menaikan HET MinyaKita menjadi Rp 15.700 karena HET MinyaKita Rp 14.000 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan harga biaya pokok produksi yang terus mengalami peningkatan( Liputan6.com, Jum’at 28 Juni 2024)
Kebijakan ini memperparah kondisi masyarakat yang saat ini tengah dilanda kemiskinan, maraknya PHK, serta daya beli masyarakat yang semakin rendah. Maka kebijakan menaikan HAP gula dan HET MinyaKita membuat kondisi rakyat semakin sengsara dan menderita.
Pemerintah seharusnya bertindak sebagai pengurus rakyat yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negara tanpa kecuali. Pemerintah juga harus membuat mekanisme khusus yang memudahkan masyarakat mengakses kebutuhan pokok tersebut. Hanya saja hal ini mustahil terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi.
Sistem kapitalisme demokrasi telah melegalkan liberalisasi di semua lini kehidupan masyarakat termasuk sektor pertanian dan perdagangan. Konsep liberalisasi menjadikan negara harus menyerahkan urusan pangan negeri kepada pihak korporasi swasta dari hulu hingga hilir.
Selanjutnya pemerintah semakin berlepas tangan dan lemah dalam mengawasi produksi hingga distribusi pangan. Kebijakan pangan semakin tidak berpihak kepada rakyat dan petani lokal. Negara semakin berpihak dan melayani kepentingan korporasi dan asing. Akhirnya kedaulatan pangan semakin tergadai dan sangat tergantung pada impor dan korporasi swasta.
Liberalisasi pertanian ini pun semakin mendorong pemerintah mengurangi subsidi pertanian. Hal ini menyebabkan para petani terus menurunkan jumlah produksinya bahkan sedikit demi sedikit bangkrut jika ada petani yang masih bertahan tidak mampu menaikan level produksinya.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam negara bertanggung jawab penuh terhadap pengaturan urusan pangan rakyatnya bukan sekadar regulator demi kelancaran bisnis pangan. Negara langsung melaksanakannya tidak diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Rasulullah Saw bersabda “ Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya" (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam sistem Islam negara melakukan beberapa kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Di sektor produksi dengan cara menerapkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan menggunakan sarana produksi pertanian terbaik para petani difasilitasi mengakses bibit terbaik, peralatan yang canggih dan teknik pertanian terbaru. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan hingga komunikasi hingga arus distribusi menjadi lancar.
Di sektor ekstensifikasi yaitu dengan meningkatan luasan lahan pertanian. Negara menerapkan hukum pertanahan berlandaskan syariat Islam. Diantaranya yaitu tidak membiarkan tanah tanpa dikelola selama lebih dari tiga tahun. Negara juga memberikan tanah milik negara kepada siapa saja yang mampu mengelolanya.
Kemudian untuk menjaga stabilitas harga negara melakukan cara sesuai aturan Islam yang tidak merusak mekanisme alami supply dan demand. Cara yang dilakukan diantaranya yaitu melarang penimbunan, kartel, menyuplai pasar dengan cadangan pangan milik negara atau mendatangkan dari wilayah/ negara lain. Semua ini dilakukan oleh negara dengan memperhatikan kemaslahatan rakyat dan petani. Kemudian negara juga tidak melakukan perjanjian internasional yang merugikan rakyat.
Penerapan seluruh mekanisme yang sesuai aturan Islam ini akan memudahkan rakyat mengakses kebutuhan pokoknya termasuk pangan. Maka saat sistem Islam diterapkan di semua lini kehidupan termasuk aturan pertanian dan pangan niscaya rakyat akan sejahtera terbebas dari kemiskinan dan kelaparan. Maka terwujudnya kedaulatan pangan dalam sistem Islam merupakan sebuah keniscayaan.
Wallahu’alam Bissawab.
Tags
Opini