Rengganis Santika
Negeri kita Indonesia merupakan surganya kelapa sawit. Hampir setiap propinsi memiliki perkebunan sawit yang membentang luas. Tak heran bila Indonesia dinobatkan sebagai salah satu produsen CPO (Crude Palm Oil) terbesar didunia. CPO adalah bahan baku minyak goreng. Ini adalah Paradoks, katanya surga sawit namun minyak goreng sulit. Seharusnya rakyat negeri ini bisa menikmati minyak goreng dengan murah dan mudah. Kita belum lupa beberapa waktu lalu, harga minyak goreng melambung tinggi dan langka. Rakyat harus mengantri sampai menelan korban jiwa. Rupanya kondisi ini belum sepenuhnya reda. Harga minyak goreng kembali mahal. Ada apa?? Inilah yang perlu kita temukan akar masalahnya.
Ada Apa di Balik Mahalnya Minyak Goreng?
Dilansir dari berita TEMPO.CO, Jakarta, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, kenaikan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 tak masuk akal. Sebab Indonesia eksportir minyak sawit mentah (CPO). (Sabtu, 20 Juli 2024). "CPO melimpah tapi harga minyak goreng bikin resah!"
Rakyat resah karena minyak goreng adalah komoditi penting. Laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), stok awal CPO Januari 2024 sebesar 3,146 juta ton. Dari jumlah produksi itu, konsumsi dalam negeri mencapai 1,942 juta ton, sementara jumlah ekspor 2,802 juta ton. Artinya pengusaha lebih memilih ambil untung saat harga CPO dunia naik. Sementara didalam negeri berlaku hukum "supply demand" saat supply berkurang hargapun naik.
Kenaikan 'minyakita' diumumkan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat. Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com pada Sabtu (20/7), setidaknya ada lima pedagang di pasar Lenteng Agung yang menjual Minyakita dengan harga Rp16.000. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat bingung atas alasan Kemendag, bahwa harga eceran minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. (Liputan6.com, Jakarta)
Alasan ini selain tidak ada transparansi juga terkesan mengada-ada.
Rakyat di negeri surganya sawit sejatinya tak layak menanggung harga minyak goreng yang mahal. Kenaikan harga ini memang tidak masuk akal, hal ini menunjukkan adanya salah kelola akibat penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem yang pro kapitalis yaitu para pengusaha/pemilik modal. Seharusnya di sektor komoditi strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak ini, pemerintah hadir.
Dalam kapitalisme justru pemain utamanya adalah oligarki mereka memonopoli Industri minyak goreng. Merekalah yang mengendalikan dari hulu ke hilir. Mulai dari penguasaan berjuta hektar perkebunan sawit hingga distribusi dan penentu harga.
Sementara posisi negara hanya sebagai regulator. Perusahaan lah yang memperpanjang rantai distribusi sehingga mengakibatkan harga makin mahal. Padahal Minyakita digadang-gadang sebagai minyak 'murah' bersubsidi dari penerintah. Faktanya swastalah pemegang kendali. Ini adalah kezaliman yang nyata oleh para penguasa dan pengusaha.
Syariat Islam Solutif dan Berkeadilan
Negara yang menerapkan kapitalisme akan menutup mata atas nasib rakyat. Dalam islam seharusnya Rakyatlah pemilik sah lahan sawit yang di HGU kan pemerintah pada para olighart. Islam memandang pemenuhan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Pemimpin/khalifah dari negara yang menerapkan syariat islam memosisikan dirinya sebagai ra'in yang maknanya seperti gembala. Seorang gembala ketika mendapatkan areal rumput hijau, yang terfikir adalah bagaimana caranya semua dombanya kenyang. Tak terfikir oleh gembala untuk dirinya apalagi dimakan.
Ketika hujan gembala akan memastikan tidak ada dombanya yang kehujanan, tak terfikir sang gembala pergi mencari tempat berteduh sendiri. Itulah gambaran seorang pemimpin seorang khalifah sebagai ra'in, sebagaimana disebutkan dalam hadist. Penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sawit akan menjadikan minyak mudah didapat dengan harga murah. Dalam islam tata kelola dari hulu ke hilir diurus oleh negara demi kemashlahatan rakyat. Sementara dalam hadist disebutkan "Manusia berserikat (sama-sama membutuhkan) dalam tiga hal air, padang (hutan) dan api" (HR Ibnu Majah). Maka seorang khalifah tak akan semena-mena memberi Hak Guna Usaha (HGU) atas hutan milik rakyat kepada swasta terlebih sampai puluhan tahun. Rakyat hanya gigit jari. Penerapan sistem Islam secara keseluruhan (kaffah) akan mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena negara menjadi pengendali distribusi kebutuhan rakyat termasuk minyak.
Tags
Opini