Menjerumuskan Rakyat dalam Jeratan Student Loan



Oleh: Ari Sofiyanti



Polemik biaya UKT yang naik kini semakin pelik. Alih-alih menuntaskan problem, kabarnya pemerintah hanya menunda kenaikan itu sampai tahun depan. Solusi alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah ternyata juga menambah beban masalah yaitu wacana student loan yang sempat dibahas dalam rapat DPR RI bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Mendikbud Nadiem Makarim kemudian menjawab kontroversi terhadap wacana student loan yang diutarakan anggota Komisi X DPR. Nadiem berkata wacana student loan masih dibahas oleh kementeriannya. Senada dengan rencana DPR, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pun mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk membayar biaya kuliah. 

Skema student loan ini memang bukan solusi baru karena sudah diterapkan di beberapa negara lain seperti Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, hingga Korea Selatan. Meski solusi ini banyak diterapkan, bukan berarti menjadi solusi yang benar. Terbukti dengan penelitian yang mengungkapkan timbulnya masalah sosial lanjutan akibat student loan. Hutang pendidikan yang berkepanjangan tentu dapat menghambat keuangan masa depan dan meningkatkan depresi. Apalagi dengan kondisi lapangan pekerjaan di Indonesia yang masih kurang tersedia dan banyaknya tuntutan biaya hidup akan makin membebani generasi kedepannya.

Semua polemik yang tidak terselesaikan ini adalah akibat dari penerapan kapitalisme. Pemerintah telah berlepas tangan dan meminta rakyat untuk mengupayakan sendiri biaya pendidikan tinggi mereka. Ini adalah bentuk dari kedzoliman. Solusi-solusi yang muncul dari pemerintah seperti pinjol jelas merupakan mindset kapitalistik. Untuk menjalankan skema pinjol tentu ada pelaku usaha sektor keuangan dan tidak mungkin mereka memberikan pinjaman tanpa beban biaya tambahan apapun. Tidak mungkin para pelaku usaha ini sama sekali tidak mengambil keuntungan. Keuntungan ini biasanya diambil dari bunga. Sedangkan bunga atau riba jelas-jelas haram hukumnya. Bagaimana mungkin pemerintah negeri muslim menjerumuskan rakyatnya ke dalam dosa?

“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).

Sungguh kita harus menyadari bahwa tumpukan masalah kita hari ini adalah karena sistem kapitalisme dan karena kaum muslim mengabaikan hukum syariat Islam. Padahal Allah mewajibkan penguasa untuk menerapkan seluruh syariat Islam (kaffah). Dalam hal pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Artinya rakyat tidak dibebani biaya pendidikan seperti halnya sekarang. Apalagi ditawari student loan.

Lalu, bagaimana negara dapat mengcover semua biaya pendidikan dari dasar hingga tinggi? Jelas karena ada mekanisme syariat dalam sistem ekonomi. Negara Islam (Khilafah) wajib mengelola sumber daya alam di wilayahnya secara mandiri, dengan kata lain haram menyerahkan pengelolaan tambang, hutan, laut dan kekayaan alam lainnya kepada swasta atas nama investasi. Hasil dari kekayaan alam yang melimpah inilah yang digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan dalam sistem pendidikan, kesehatan, infrastruktur, keamanan dan kebutuhan publik lainnya. Sehingga rakyat bebas dari pajak. Selain itu, rakyat juga tetap boleh beramal baik dengan memberikan infak, donasi atau wakaf kepada sekolah-sekolah.

Sistem pendidikan Islam dari era Rasulullah hingga Khilafah Utsmaniyah ternyata tercatat sebagai sistem pendidikan keemasan dalam sejarah. Salah satu contoh saja, Sultan Muhammad Al-Fatih menyediakan pendidikan secara gratis, bahkan memberikan beasiswa bulanan untuk tiap siswa. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun sekolah beserta asrama siswa. Setiap asrama dilengkapi dengan ruang tidur dan ruang makan. Selain itu dibangun pula perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang ahli di bidangnya. 

Pengaturan sistem pendidikan Islam ini diterapkan atas dasar akidah Islam, yaitu keimanan pemimpin terhadap Allah dan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Amanah mereka benar-benar dijalankan agar terwujud kesejahteraan umat karena dalam Islam seharusnya tidak ada celah bagi penguasa untuk memuaskan nafsu pribadi. Ketaatan mereka kepada Allah inilah telah mengantarkan negeri muslim kepada rahmat dan berkah. Maka sebaiknya Indonesia juga tersadar untuk kembali pada hukum Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu a'lam bish-shawwab .

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak