Oleh : Anis Nofitasari S.Pd
Salah satu definisi sedih adalah ketika kita tahu bahwa semakin tahun angka kemiskinan bukannya menurun, tapi semakin naik tak terkendali. Kelaparan menjadi salah satu kabar buruk yang tak bisa dielakkan oleh pendengaran. Miris memang. Namun hal itu adalah sebuah fakta sampai saat ini. Ditambah lagi yang membuat tak habis pikir adalah sampah makanan yang tertimbun sudah menjulang, mencapai Rp 213 triliun sampai Rp 551 triliun per tahun.
Angka tersebut diperkuat dan diasumsikan menjadi salah satu sebab kerugian di bidang ekonomi.
Dilansir dari suara.com, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengungkapkan Indonesia selalu kehilangan nilai ekonomi gara-gara banyakan sisa makanan terbuang (food lost and waste).
‘’Risiko kehilangan nilai ekonomi ini mencapai Rp 551 triliun,’’ ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa di Jakarta, Rabu, (3/7/2024)
Dilansir tirto.id, Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah nasional pada tahun 2023 mencapai 26,20 juta ton. Jumlah itu lebih rendah dari timbulan sampah nasional pada tahun sebelumnya yang sebesar 37,73 juta ton.
Meski jumlah itu lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut cukuplah fantastis.
Dilansir dari laman UNNES, nilai dari sampah makanan yang terbuang, diperkirakan US 680 milyar untuk negara maju dan US 310 milyar untuk negara berkembang. Di sisi lain, 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan. Total sampah yang dihasilkan setiap tahunnya sebenarnya dapat menghidupi 2 milyar orang.
Pada dasarnya sampah makanan adalah makanan yang terbuang dan tidak termakan serta tidak dapat diolah proses limbah karena telah mengandung zat-zat tak baik untuk lingkungan. Sampah terjadi pada setiap mata rantai dari produksi sampai konsumsi. Sampah makanan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sisa makanan akibat penyajian yang berlimpah akibat budaya berlebihan dari masyarakat urban atau kita sebut dengan ‘’left over’’. Dan sisa makanan yang terjadi akibat kesalahan perencanaan dan manajemen baik yang masih layak dikonsumsi ataupun tidak atau kita sebut dengan ‘’food waste’’. Keduanya adalah sampah berbahaya bagi lingkungan karena mengandung komposisi kimia yang tidak dapat didaur ulang. Jika sampah makanan membusuk, ia akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.
Masih dilansir dari laman UNNES, menurut data dari World Resources Institute (WRI), emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan adalah gas metana, yang memiliki potensi 25 kali lebih tinggi dibanding karbon dioksida dalam meningkatkan pemanasan global. Rata-rata emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari 1 ton food waste besarnya 4,3 kali lipat dari left over. Lebih persisnya, dari kelima tahapan rantai paso pangan, penyumbang terbanyak emisi gas berasal dari tahap konsumsi.
Dari fakta-fakta yang terkuak, dapat kita ketahui, banyak sekali problem pelik yang menjangkiti negeri. Food Waste adalah juga problem dunia, erat dengan konsumerisme, sebuah budaya yang lebih mementingkan kesenangan tanpa memikirkan efek jangka panjang dan global. Hal itu sebagai buah penerapan sistem kapitalisme sekuler, yang jauh dari akhlak islam. Hanya sekedar pemenuhan terhadap keinginan, bukan kebutuhan, memudahkan manusia untuk mubadzir dan bersikap boros. Hal itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Di sisi lain juga menggambarkan adanya mismanajemen negara dalam distribusi harta sehingga mengakibatkan kemiskinan dan problem lain seperti kasus beras busuk di Gudang bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga, dll.
Sudah saatnya solusi paripurna harus benar-benar dipikirkan negara. Bagaimana pengaturan tersebut dapat memenuhi hajat hidup orang banyak tanpa menciptakan kerugian sama sekali terhadap pihak lainnya. Sudah waktunya Islam menjadi lirikan sempurna atas fakta-fakta sistem yang fasad. Islam punya aturan terbaik dalam mengatur konsumsi dan juga distribusi sehingga terhindar dari kemubadziran dan berlebih-lebihan. Dengan pengaturan yang cermat, akan terwujud distribusi yang merata dan mengentaskan kemiskinan, dan food waste dapat dihindarkan. Melalui pendidikan sejak dini, individu-individu akan dibina agar Islam tak hanya menjadi solusi praktis, tapi menjadi solusi paripurna yang turut menjaga martabat manusia di segala bidang yang ada. Dengan sistem pendidikan Islam mampu mencetak individu yang bijak bersikap termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan. Sehingga tidak terjadi ledakan-ledakan permasalahan sosial yang berujung pada efek negatif lainnya. Semoga hal itu segera terealisai. Wallahu a’lam bisshawab.
Tags
Opini