Oleh: Resa Ristia Nuraidah
(Aktivis Muslimah Majalengka)
Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin menyatakan bahwa pihaknya selalu terbuka dan menerima para investor yang berminat untuk berinvestasi di Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Kabupaten Majalengka.
Ini dikatakan Bey menanggapi calon investor dari Arab Saudi dan India yang batal berinvestasi di BIJB Kertajati baru-baru ini karena tidak lolos dalam proses tender.
Menurutnya, kunci dari majunya Bandara Kertajati di Majalengka adalah penerbangan. Maka pihaknya terus berupaya menghadirkan rute-rute baru. Selain angkutan penumpang, fasilitas kargo juga akan terus ditingkatkan.
Layanan lain yang ingin Bey hadirkan, yakni menjadikan BIJB Kertajati sebagai bandara umrah. Lebih lanjut, evaluasi perlu dilakukan agar investasi di BIJB Kertajati tetap menarik bagi para investor, sekaligus meninjau kembali jika ada persyaratan yang terlalu ketat. [Jabarprov.go.id]
Terbukanya bandara untuk investor & upaya melonggarkan peraturan untuk investor agar memudahkan investor untuk berinvestasi merupakan sebuah tindakan jual diri bagi negara. Hal ini akan mengancam kedaulatan negara sekaligus menunjukkan lepas tangannya negara dari pengurusan kemaslahatan masyarakat.
Melakukan pembangunan dengan membuka keran investasi sungguh memiliki banyak risiko. Terlebih dalam sistem kapitalisme, investasi bukan sekadar bicara keuntungan bisnis tetapi jauh lebih dari itu, investasi telah menjelma menjadi alat penjajahan gaya baru saat ini.
Dengan modal yang mereka miliki, investor mudah saja mendikte pemerintah untuk melayani kepentingan bisnis mereka. Di sisi lain, negara yang telah terjerat investor mau tidak mau harus rela mengikuti kemauan para pemodal ini.
Negara yang telah kehilangan posisi tawar di hadapan pengusaha nasional maupun global, sedikit demi sedikit kewenangannya tergeser dalam mengatur ekonomi bangsa. Berada dalam dikte para kapitalis, negara akan dijalankan sesuai arahan para investor. Konsekuensinya, berbagai kebijakan yang pemerintah rumuskan kian tidak berpihak kepada rakyat, melaikan pada para investor. Bahkan rakyat akan menjadi tumbal kebijakan mereka yang pro-korporasi.
Risiko-risiko ini sebenarnya telah tampak di hadapan kita. Berbagai proyek oligarki hadir dan menyengsarakan rakyat. Pembangunan yang kapitalistik telah merebut ruang hidup masyarakat. Mirisnya, kita menyaksikan sendiri rakyat harus terusir dari tanah yang telah mereka tinggali selama ini.
Risiko investasi nyatanya tidak hanya berdampak pada kehidupan rakyat. Lebih dari itu, kedaulatan rakyat terenggut di tangan para investor. Karena faktanya, investasi merupakan alat politik untuk menguasai negara lain.
Padahal tanggung jawab negara ini tidak boleh berpindah ke tangan individu atau sejenisnya. Satu-satunya pihak yang berwenang atas hal itu hanyalah pemerintah. Memindahkan wewenang ini bermakna sebagai pengkhianatan atas amanah. Pemindahan wewenang tersebut juga tidak akan menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, kesengsaraanlah yang akan terjadi.
Hanya sistem Islamlah yang bisa memberikan solusi tepat dalam pengurusan umat dan hal itu akan terwujud karena memiliki paradigma yang berpijak pada pengurusan urusan umat, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan mereka secara paripurna bukan keuntungan oligarki semata.
Dalam Islam, pemerintah akan menyadari bahwa mereka sebagai ra’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) rakyat, bukan sekadar regulator yang hanya bisa membuat regulasi, tetapi pada akhirnya menyengsarakan rakyat. [Wallahu a'lam bi Ash-shawāb]
Tags
Opini