Oleh: Sri Mariana,S.Pd
(Pendidik, Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menilai adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik adalah bentuk inovasi teknologi.
Menurut dia, inovasi teknologi dalam pembiayaan kuliah melalui pinjol sebenarnya menjadi peluang bagus namun sering kali disalahgunakan.
"Pinjol ini memang sudah mengandung arti kesannya negatif. Tetapi, kan ini sebuah inovasi teknologi. Akibat dari kita mengadopsi teknologi digital terutama, dan ini sebetulnya kan peluang bagus asal tidak disalahgunakan dan tidak digunakan untuk tujuan pendidikan yang tidak baik," ungkap Muhadjir dalam konferensi pers di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Muhadjir menekankan bahwa pinjaman online tidak bisa disamakan dengan judi online yang memang ada pelarangan di atas hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(tirto.id/3/7/2024).
Sebagai informasi, berdasarkan laporan OJK, nilai penyaluran pinjol di Indonesia mencapai Rp22,76 triliun per Maret 2024. Nominal tersebut tumbuh 8,89% dari bulan sebelumnya (month-on-month/mom) yang besarnya Rp20,90 triliun. Angka kucuran Maret 2024 itu juga meroket sekitar 15,35% dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang besarnya Rp19,73 triliun per Maret 2023.
Penyaluran pinjol pada Maret 2024 masuk ke 9,78 juta akun penerima pinjaman. Jumlah peminjam tersebut naik 6,36% secara bulanan (mom). Sebanyak 7,3 juta akun peminjam berasal dari Pulau Jawa atau setara 75% dari total peminjam nasional. Dari total pinjaman Maret 2024, sebanyak Rp7,65 triliun di antaranya atau 33,61% masuk ke sektor produktif.
Melihat data ini, termasuk polemik UKT yang sudah terjadi sebelumnya dan belum ada solusi tuntasnya, maka pelajaran apa yang bisa kita ambil? Benarkah pinjol solusi UKT? Atau sejatinya fenomena ini adalah bukti nyata gagalnya pemerintah menyejahterakan rakyatnya dan sebaliknya malah menjerumuskan rakyatnya?
Cara Pandang Kapitalistik
Perihal ini, patutlah kita memotret sisi lain realitas kesejahteraan hidup masyarakat. Per Maret 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 25,22 juta orang. Jumlah tersebut turun 0,33% dibandingkan pada 2023 yang besarnya 25,9 juta orang. Dari data tersebut, penurunan tingkat kemiskinan di pedesaan lebih besar dibanding perkotaan. Meski begitu, jarak kemiskinan antara perkotaan dan pedesaan masih cukup lebar. Pada Maret 2024, tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 11,79%, sedangkan di perkotaan 7,09%.
Secara nasional, penurunan persentase kemiskinan terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Namun, apakah dengan angka kemiskinan yang menurun tipis itu lantas kita layak bangga? Sementara itu, pada saat yang sama, ada kalangan yang tidak kalah gencar memperkaya diri dan kroninya melalui jejaring oligarki. Belum lagi menguatnya cengkeraman swasta (lokal/asing) di sektor-sektor SDA strategis yang sejatinya itu milik rakyat.
Sejatinya semua langkah ini sangat erat kaitannya dengan cara pandang kapitalistik. Tingginya angka kemiskinan bersamaan dengan kibaran bendera komersialisasi kampus yang kadung menancap secara legal, baik itu melalui UU Dikti (UU 12/2012), pendahulunya yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maupun berbagai kebijakan turunannya.
Di antara kebijakan turunan tersebut adalah Permendikbudristek 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek. Pemberlakuan Permen ini dituding akan menyebabkan makin banyaknya mahasiswa baru—tidak terkecuali yang berprestasi—yang harus berguguran. Hal ini karena kebijakan tersebut bisa dikatakan sebagai biang keladi mahalnya UKT.
Pencabutan Subsidi
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap konsekuensi status perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) yang juga bagian dari mandat sesat UU Dikti. Kendati pemerintah tidak mau disalahkan atas narasi “pencabutan subsidi biaya pendidikan tinggi”, tetapi realitas tidak bisa berdusta. PTN yang sudah berbadan hukum (PTN-BH), kinerja pembiayaannya tidak mungkin semata dari subsidi.
Memang menurut UU Dikti secara tekstual, PTN semestinya bisa menurunkan UKT, yakni dengan mencari sumber pendanaan lainnya agar ketergantungannya terhadap APBN makin rendah. Realitas pahit ini pun tampil melegitimasi besaran alokasi dana APBN untuk pendidikan “akan selalu kurang”.
Ini tampak jelas dari rendahnya anggaran pendidikan yang hanya 20% dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Sektor pendidikan tinggi hanyalah salah satunya. Secara riil, jumlah itu sangat jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.
Untuk itu, upaya menaikkan UKT yang sempat muncul adalah cara paling instan bagi kampus untuk memperoleh dana segar. Ini masih belum termasuk biaya lain, seperti uang pangkal. Jadi wajar jika akhirnya UKT tidak makin murah, tetapi malah sebaliknya.
Pemerintah Makin Lepas Tangan
Pada titik ini kita layak untuk menyadari bahwa skema pinjol untuk pendidikan telah menjelaskan bahwa rakyat diminta untuk mengupayakan sendiri biaya pendidikan tinggi, bagaimanapun caranya. Meski pemerintah tampak mencoba menawarkan sejumlah alasan seperti menerbitkan kebijakan kerja sama dengan lembaga pinjol resmi, tetapi tetap saja tidak bisa menutupi aksi lepas tangan dari tanggung jawab mencerdaskan rakyat.
Ketika di satu sisi polemik UKT menegaskan kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan, pemerintah bukannya berkontribusi menyolusi dengan berusaha mengembalikan subsidi, tetapi malah menawarkan solusi pragmatis yang menambah masalah baru. Jika pinjol kemudian benar-benar menjadi solusi, ini adalah kebijakan yang menjerumuskan rakyat pada keharaman. Pinjol tidak mungkin lepas dari sistem bunga (riba), bukan?
Untuk itu, tidak berlebihan jika kita menilai bahwa kondisi ini justru menunjukkan pemerintah tidak berkontribusi apa-apa dalam menunaikan pendidikan sebagai hak rakyat. Sektor publik yang semestinya menjadi pelayanan dari pemerintah bagi rakyatnya, telah dikomersialkan. Sementara itu, sumber utama pemasukan negara malah berasal dari pajak hasil memalak rakyat. Lantas, apa yang bisa kita pertahankan dari negara yang seperti ini?
Investasi Peradaban
Pemerintah semestinya menyadari bahwa pendidikan adalah investasi peradaban masa depan. Tidak akan ada ruginya jika saat ini pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembiayaan pendidikan. Hal ini demi menghasilkan barisan generasi terdidik, para calon pemimpin, dan SDM unggul pembangun peradaban.
Sayangnya, sudahlah pemerintah berlepas tangan perihal subsidi pendidikan, ditambah lagi memberikan solusi pembiayaannya melalui pinjol. Ini semua tidak hanya makin menghancurkan muruah pendidikan, tetapi juga langkah nyata merusak masyarakat dan mengundang azab Allah. Na’użu billāh.
Allah Taala berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”(QS Al-Baqarah [2]: 275).
Juga terdapat sabda Rasulullah saw., “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).
Dengan ini, keberadaan pinjol untuk pendidikan juga menegaskan bahwa sistem pendidikan di negara kita memang sekuler karena dinaungi sistem demokrasi yang juga sekuler. Pendidikan yang memiliki visi mulia serta berperan urgen menghasilkan generasi terpelajar, akan menjadi sangat hina jika dibiayai oleh dana pinjol yang jelas mengandung riba.
Sungguh, riba tidak ubahnya judi, yakni cara haram dalam mengembangkan harta sehingga keduanya jelas haram untuk kita ambil. Tidak ada yang lebih baik di antara riba dan judi. Keduanya sama-sama merusak masyarakat. Oleh sebab itu, pernyataan yang membandingkan riba dan judi seperti ini tidak pantas dinyatakan oleh seorang penguasa muslim, terlebih dirinya seorang pejabat yang masih aktif.
Pendidikan Tanggung Jawab Negara
Drama pinjol untuk pembiayaan pendidikan ini adalah wujud nyata liberalisasi pendidikan. Hal ini harus dihentikan. Bahkan sistem sekuler liberal yang telah melahirkannya juga harus diganti dengan sistem sahih, yakni sistem Islam.
Langkah pemerintah sekuler yang makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya juga jelas-jelas kezaliman karena telah merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini berdampak pada terancamnya kualitas SDM rakyat sehingga sulit bersaing di pentas dunia.
Cara pandang kapitalistik sungguh berbeda nyata dengan pandangan dan pengaturan syariat Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Hal ini berawal dari sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Juga sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).
Serta hadis, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad).
Atas dasar ini, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam dan besar jumlahnya. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.
Di dalam Islam, sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.
Bersamaan dengan itu, Islam tidak akan membiarkan adanya celah yang memungkinkan pendanaan pendidikan secara haram. Negara Khilafah dengan sistem ekonomi Islam memiliki banyak mekanisme sehingga harta yang masuk ke baitulmal adalah harta yang halal dan berkah.
Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki.
Selain pembiayaan, negara Islam juga menjamin keberlangsungan sistem pendidikan tersebut. Hal ini dalam bentuk jaminan dan realisasi pembangunan infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar, termasuk uang saku mereka. Wallahualam bissawab.
Tags
Opini