Penulis: Ilmi Mumtahanah
“Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas", inilah tema yang diusung pada perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024. Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan, keluarga merupakan penentu dan kunci dari kemajuan suatu negara. Oleh sebab itu, katanya, pemerintah saat ini tengah bekerja keras untuk menyiapkan keluarga Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing.
Pemerintah, jelasnya, menargetkan pembentukan keluarga berkualitas yang dimulai sejak prenatal (masa sebelum kehamilan), masa kehamilan, dan masa 1.000 hari pertama kehidupan manusia. Dalam hal ini, intervensi dilakukan terutama pada perempuan.
Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Bagaimana seorang perempuan akan fokus membentuk keluarga berkualitas manakala ia disibukkan dengan dunia kerja? Disibukkan menjalani program pemberdayaan ekonomi perempuan.
Disfungsi Peran Perempuan
Fungsi keluarga hari ini tidak bisa terwujud dengan baik. Hal tersebut tampak pada berbagai problem serius pada keluarga, seperti tingginya kemiskinan, stunting, KDRT, terjerat pinjol, perceraian, dll. Semua itu akibat banyak kebijakan negara yang mengakibatkan masalah pada keluarga.
Selain itu, definisi generasi emas yang didengungkan akan diwujudkan juga tidak jelas, bahkan orientasi duniawi. Maka, penetapan Harganas ini tak ubahnya hanya sekadar seremonial karena berbagai hal yang kontradiktif pada kenyataannya.
Padahal, Prof. Dr. Hamka dalam bukunya yang berjudul Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan menuliskan, "Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.” (hlm. 15).
Perspektif Hamka ini menunjukkan bahwa perempuan—terlebih dalam kapasitasnya sebagai ibu—berperan vital dalam pembangunan negara. Ini karena arah generasi tergantung didikan ibunya, mendidiknya menuju kebaikan atau malah keburukan.
Sayangnya, kaum feminis dan para pengusung ide moderasi beragama membelokkan peran vital dan mulia ini. Perempuan Indonesia senantiasa diminta menjadi pejuang bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Perempuan harus berdaya dan setara, tidak terkungkung di bawah ketiak laki-laki, serta tidak melulu menunggu nafkah dari suami. Inilah yang Barat sebut sebagai pemberdayaan ekonomi perempuan.
Ya, populasi kaum hawa yang jumlahnya lebih banyak dari kaum adam memberi akses bagi perempuan untuk berpartisipasi di segala bidang pembangunan. Sayangnya, hal ini memberi kontribusi besar terhadap disfungsi keluarga karena peran domestik ibu bukan lagi menjadi fokus perempuan.
Lantas, seperti apa sebenarnya peran perempuan dalam Islam?
Peran Perempuan dalam Pandangan Islam
Dalam mukadimah Dustur Nizham al-Ijtima’i dinyatakan bahwa hukum asal seorang perempuan dalam Islam adalah ummu wa rabbatul bayt, sebagai ibu bagi anak-anaknya dan pengelola rumah bagi suaminya.
Ia merupakan kehormatan yang wajib terjaga. Artinya, dalam sektor domestik, Islam menetapkan dua peran penting bagi seorang perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
Karena itu, berbahagialah bagi seorang perempuan yang dengan peran domestik tadi, Allah Swt. muliakan dirinya. Diriwayatkan bahwa Jahimah as-Salami pernah memohon izin kepada Rasulullah saw. untuk berjihad. Rasul bertanya kepadanya apakah ia masih memiliki ibu. Saat Nabi saw. mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang ibu, beliau bersabda, “Hendaklah engkau tetap berbakti kepada dia karena surga ada di bawah telapak kakinya.” (HR ath-Thabrani dan an-Nasa’i).
Dalam Islam, persoalan mencari nafkah dan perlindungan terbebankan pada suami atau wali, bukan pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anak, istri, ataupun ibu. Itu semua agar si ibu bisa optimal menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak. Jika sudah tidak ada suami atau wali, urusan nafkah dan perlindungan terhadap perempuan beralih pada negara.
Adapun peran muslimah di sektor publik, mereka tidak boleh menjadi mesin penghasil uang atau komoditas ekonomi atas nama pemberdayaan. Ini karena Islam memuliakan perempuan dan menjaganya dari segala sesuatu yang buruk dengan menetapkan rambu-rambu bagi kehidupan khusus dan kehidupan umumnya.
Bekerja, bagi perempuan, hukumnya mubah, boleh-boleh saja selama sesuai bidang keilmuan yang ia kuasai, mendapat izin suami atau wali, menutup aurat, dan menjaga interaksi dengan lawan jenis.
Terpenting, status bekerja tadi bagi si perempuan bukan karena tekanan ekonomi dan sosial, serta peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarganya. Sungguh, Islam sangat menjaga dan memuliakan wanita.
Itu semua dilakukan agar perempuan dapat fokus pada perannya sebagai ibu pencetak generasi berkualitas, generasi emas. Bukan hanya sekadar slogan, tetapi memang dibarengi usaha yang sejalan dengan konsepnya. Wallahualam.