Datangkan Dokter Asing, Apakah Penting?




Oleh: Bunda Twins



Pernyataannya Menkes baru bari ini tentang dokter Asing didatangkan bukan untuk saingi dokter lokal di Istana Kepresidenan (2/7/2024) mendapat perhatian publik dan  penolakan dari Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp. OG(K), sebagai Dekan Fakultas kedokteran  Universitas Airlangga.
Menkes juga mengatakan bahwa pihaknya mendatangkan dokter dari luar negri untuk menyelamatkan nyawa 300 ribu orang indonesia yang kena stroke, 250 ribu yang kena serangan  jantung, 600 bayi yang kemungkinan besar meninggal tiap tahun.
Menkes juga menilai indonesia masih kekurangan dokter ahli. Dirinya yakin upaya itu juga dapat mengakselerasi trasfer ilmu bedah torak kardiovaskuler bagi dokter lokal.

Alasan Prof. Budi Santoso merespon dengan tegas penolakan rencana Menkes adalah karena ia yakin 92 Fakultas kedokteran di indonesia mampu meluluskan dokter dokter berkwalitas yang tidak kalah dengan dokter asing.
Selain itu menurutnya semua dokter di indonesia layak untuk tidak rela jika dokter asing bekerja di negri ini.
Sebab, lanjutnya, kita mampu untuk memenuhi dan menjadi dokter tuan rumah di negeri sendiri.

Ada Kapitalisme dalam Pelayanan Kesehatan 

Sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan asas keuntungan materi dan sistem demokrasi yang bebas membuat peraturan sesuai kepentingannya merupakan biang keladi. 

Dalam pengesahan UU Kesehatan (2023) Pasal 248 Ayat (1) UU Kesehatan menyatakan, WNA yang bisa praktik di Indonesia hanyalah tenaga medis spesialis dan subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu yang telah mengikuti evaluasi kompetensi.
Sedangkan Pasal 251 mengatur bahwa mereka bisa praktik di Indonesia jika terdapat permintaan dari fasilitas pelayanan kesehatan, untuk alih teknologi dan ilmu pengetahuan, serta untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali hanya untuk dua tahun berikutnya.
Adapun bagi WNA lulusan dalam negeri dapat melaksanakan praktik sebagai tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia dengan syarat memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai dokter dan Surat Izin Praktik (SIP). Mereka juga dapat melakukan praktik atas permintaan dari fasilitas pelayanan kesehatan pengguna dengan batasan waktu tertentu.

Menurut data WHO (2019), rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk, padahal standar WHO yakni 1,0 per 1.000 penduduk. Peringkat ketersediaan dokter spesialis di Indonesia pun berada pada urutan ke-147 di dunia. Jika diperinci lagi, Indonesia masih kekurangan dokter umum sebanyak 124.000 orang dan 29.000 orang dokter spesialis. Sedangkan saat ini, Indonesia baru mampu mencetak 2.700 dokter spesialis setiap tahun.
Tidak heran, data tersebut turut menguatkan legitimasi bagi pemerintah untuk merekrut dokter asing.

Konten UU Kesehatan yang berkenaan dengan perekrutan dokter asing juga tidak berpihak pada dokter lokal. Namun, rasanya terlalu klise jika alasan perekrutan dokter asing hanya dalam rangka memenuhi kurangnya kebutuhan dokter di Indonesia.
Ini karena kita juga tidak bisa menyangkal bahwa sektor kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah lahan untuk meraih profit. Hal ini sudah diaruskan secara internasional sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semua anggota WTO juga menjadi anggota GATS (General Agreement on Trade in Services). Tujuan GATS adalah memperluas tingkatan liberalisasi pada dua belas sektor jasa, yaitu sektor bisnis, keuangan, konstruksi, kesehatan, pendidikan, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budaya, jasa lainnya, dan jasa komunikasi.

Dengan demikian, jelas bahwa adanya kapitalisasi di sektor kesehatan menyebabkan tata kelola dan pelayanan kesehatan menjadi lahan bisnis dari pemerintah kepada rakyatnya. Bisnis kesehatan membuat kualitas layanan medis menjadi bahan persaingan. Tidak heran, perekrutan dokter asing pun dianggap unsur penting untuk mendongkrak cuan. Namun dampaknya, dokter lokal jelas akan tersingkir dan pada akhirnya biaya kesehatan makin mahal.

Mahalnya biaya pendidikan bidang kedokteran,proses pendidikan yang sulit dan lama menjadi permasalahan klasik, padahal itu masih belum termasuk biaya program profesi (koasisten) serta pendidikan dokter spesialis dan subspesialis.Tidak heran jika pada akhirnya mayoritas yang mampu menempuh pendidikan dokter adalah masyarakat kalangan atas. Ketika sektor pendidikan hanya bisa diakses oleh pihak tertentu atas nama nominal pembiayaan tertentu, ini menegaskan adanya kapitalisasi pendidikan. Lebih buruk lagi, kebutuhan rakyat akan dokter jadi lambat untuk dipenuhi.
Lantas, jika pemerintah malah berusaha memenuhi kebutuhan rakyat akan dokter itu dengan mendatangkan dokter asing, bagaimana nasib dokter lokal beserta seluruh sistem pendidikan kedokteran di dalam negeri? Yang terjadi adalah di satu sisi, posisi sektor kesehatan sebagai komoditas ekonomi meniscayakan kapitalisasi kesehatan makin pekat. Disisi lain keberadaan dokter asing berpotensi makin meningkatnya biaya kesehatan. Adapun kualitas layanan juga belum tentu terjamin.

Dengan adanya begitu banyak hal yang melatar belakangi dari kebijakan mendatangkan dokter asing ke Indonesia lebih kepada kepentingan kapitalis, maka menjadi hal yang tidak penting. Masih banyak permasalahan yang harusnya menjadi prioritas demi kemajuan layanan kesehatan untuk masyarakat. 

Pandangan Islam 

Ada baiknya kita mencermati pandangan Islam perihal perekrutan dokter asing. Dalam Islam, keberadaan dokter asing sejatinya tidak masalah. Ini karena paradigma yang digunakan dalam perekrutan bukanlah paradigma liberal sebagaimana kapitalisme. 
Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim)._

Meski begitu, Negara Islam, dalam hal ini Khilafah, harus memegang kendali penuh untuk mengatur urusan perekrutan dokter asing. Hal ini terkait erat dengan langkah Khilafah memosisikan kesehatan sebagai sektor publik yang wajib tersedia bagi rakyat sehingga mekanisme pengelolaannya juga sebagaimana fasilitas umum.

Secara syar’i, fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum yang jika tidak terpenuhi akan menimbulkan keguncangan. Untuk itu di dalam Khilafah, pengelolaan kesehatan tidak boleh ada paradigma bisnis. Kesehatan bukan semata faktor kemanusiaan, melainkan sektor publik yang haram untuk dikapitalisasi maupun diliberalisasi.

Penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan dalam Khilafah adalah tanggung jawab negara. Hal ini justru akan sangat berat jika dibebankan kepada rakyat. Oleh sebab itu, tidak semestinya penguasa berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)._
Secara teknis, Khilafah wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan, dan berbagai fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat.

Pembiayaan kesehatan pun menjadi anggaran baitulmal sehingga bisa gratis untuk rakyat. Ini adalah bagian dari ikhtiar Khilafah dalam mengatur urusan rakyatnya dengan kualitas layanan terbaik dan terdepan.
Khilafah berperan penting untuk menyediakan nakes, baik dari sisi keberadaan dokter dan perawat, sistem pendidikan ilmu-ilmu kedokteran dan kesehatan yang kondusif dan tepat guna, maupun jumlah personel dan kualitas layanan kesehatan yang memadai. Pembiayaan pendidikan dokter/nakes juga disediakan oleh Khilafah secara gratis melalui baitulmal sebagaimana sistem pendidikan pada umumnya.

Tidak lupa, Khilafah mengutamakan pemberdayaan SDM dokter di dalam negeri sebelum merekrut dokter asing sehingga pada akhirnya perekrutan dokter asing bisa diminimalkan, bahkan ditiadakan. Khilafah juga menjamin kesejahteraan para dokter dan nakes, serta menjaga idealisme dan dedikasi mereka bagi terwujudnya tanggung jawab negara di sektor kesehatan.

Memang, upaya pengadaan dokter/nakes di dalam negeri tidak bisa dilepaskan dari pembiayaan yang tinggi. Namun, anggaran Khilafah melalui baitulmal memiliki banyak sumber pendapatan dengan jumlah yang besar. Di antaranya, ada pos fai dan kharaj sebagai harta kepemilikan negara, yakni berupa ganimah, khumus, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki saja. Selanjutnya, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Kesehatan pada Masa Keemasan Khilafah

Masa keemasan Khilafah tercatat mampu menghasilkan para dokter hebat yang ilmunya masih bisa kita nikmati manfaatnya hingga kini. Menurut kutipan dari buku History of the Arabs oleh Philip K. Hitti dan jurnal Origin and Development of Unani Medicine: An Analytical Study oleh Arshad Islam, begitu banyak ilmuwan Islam yang membawa kemajuan dalam bidang kedokteran dunia. Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahrawi hanyalah sedikit di antaranya.

Khilafah juga telah terbukti mampu menyediakan fasilitas kesehatan terbaik di dunia pada masanya. Fasilitas kesehatan, khususnya milik pemerintah, dikelola di atas prinsip pelayanan penuh dengan anggaran bersifat mutlak berbasis baitulmal. Khalifah Al-Walid I dari Khilafah Bani Umayyah dikenal sebagai penguasa yang pertama kali mendirikan fasilitas layanan kesehatan di kalangan muslim yang disebut dengan bimaristan.
Imam Ath-Thabari mencatat setidaknya ada dua peran Khalifah Al-Walid I dalam pembangunan institusi kesehatan di kalangan muslim. Pertama, ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra; dan kedua, memulai pembangunan bimaristan di Damaskus. Bimaristan ini disebut sebagai cikal bakal sistem rumah sakit pada era modern. Selain merawat orang sakit, bimaristan juga menyediakan dokter serta obat-obatan. Pada masa-masa selanjutnya, kita mengenal nama-nama bimaristan, seperti Al-Bimaristan an-Nuri dan Al-Bimaristan al Manshuri.

Wallahualam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak