Oleh : Azza Hafizah
Pada tahun 2020, Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan. Bahkan pada tahun 2019, telah ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. Pada tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Sampah makanan ini tidak hanya berdampak buruk pada lingkungan akan tetapi menyebabkan kerugian negara. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Selain itu dampak sampah makanan juga mempengaruhi emisi gas rumah kaca, total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbulan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 -ek.
Atau 7,3 persen emisi gas rumah kaca Indonesia tahun 2019. (tirto.id 3/07/24)
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyebut beras menjadi jenis makanan yang paling banyak 'dibuang' di Indonesia. Bappenas memperkirakan kebutuhan konsumsi tanaman pangan beras/jagung per tahun di Indonesia pada 2022 mencapai 26,1 juta ton. Dari jumlah itu, penyusutan dan sisa beras yang terbuang mencapai 3,5 juta ton.
Bila tak dibenahi, Bappenas memperkirakan jumlah beras/jagung yang terbuang akan melonjak pada 2045. Kebutuhan beras/jagung pada 2045 diperkirakan mencapai 42 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 5,6 juta ton akan akan terbuang. (CNBCindonesia.com 3/7/24)
Untuk mencegah hilangnya potensi ekonomi akibat susut dan sisa pangan, Bappenas telah meluncurkan peta jalan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Akankah peta jalan ini efektif mengatasi susut dan sisa pangan?
Upaya mengatasi sampah makanan tidak hanya dari hilir, dengan memanfaatkan sisa makanan tetapi diatasi dari hulu yaitu penyebab banyaknya makanan yang terbuang. Jika penyebab banyaknya sampah sisa makanan ini tidak dihentikan maka sampah sisa makanan ini akan terus diproduksi.
Hal ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang sangat erat kaitannya dengan konsumerisme budaya konsumtif yang menjangkit umat manusia hari ini sejatinya merupakan buah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem kapitalisme telah melahirkan cara pandang yang bathil di tengah masyarakat bahwa kepuasan materi adalah standart kebahagiaan manusia berlomba-lomba mengejar kehidupan hedon tanpa memikirkan dan mengaitkan dengan batasan yang ditetapkan syariat islam.
Industri kapitalisme juga diarahkan ketujuan kepuasan materi. Sistem ekonomi kapitalisme sangat fokus pada aspek produksi sehingga pabrik-pabrik termasuk pabrik makanan terus bermunculan. Kehidupan konsumerisme dan hedonisme sungguh telah memalingkan umat islam dari identitasnya mereka tidak lagi berfikir mendalam dalam aktivitas kehidupanya apakah sudah sesuai syariat islam atau tidak.
Keberadaan akal seorang muslim, seharusnya digunakan untuk mencari jalan keimanan dan mengokohkanya. Umat saat ini malah terkooptasi memikirkan kesenangan kehidupan duniawi semata. Akibatnya umat islam semakin lemah keimananya kepada Allah SWT. Mereka jauh dari syariat islam termasuk akhlak islami. Fenomena Food West pun tak terhindar dari gaya hidup konsumerisme yang melingkupi kehidupan umat. Selain rusaknya cara pandang masyarakat, fenomena food waste juga disebabkan mismanagemen dalam distribusi harta sehingga menyebabkan ketimpangan ekonom. Sistem ekonomi kapitalisme mengandalkan mekanisme pasar dalam menyelesaikan problem distribusi padahal hal tersebut hanya menyebaboan kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin. Keadaan ini telah menimbulkan masalah lain seperti kasus beras busuk digudang bulog, pembuangan sembako untuk stabilitas harga dan sebagainya.
Solusi Islam dalam menangani sampah makanan.
Sungguh komsumerisme menjadi penyakit sistemis buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme, oleh karena itu solusi atas permasalahan ini harus bersifat sistemis yaitu kembali kepada aturan yang menempatkan negara sebagai pengurus rakyat melalui penerapan aturan yang benar yang bersumber dari pencipta dan pengatur kehidupan manusia Allah SWT.
Islam memiliki aturan terbaik dalam konsumsi dan distribusi harta yang mampu menjauhkan masyarakat dari sifat mubadzir dan berlebih - lebihan.
Dan janganlah kamu menghambur - hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra [17]: 26—27).
Sebagai pengurus umat, khilafah menjamin kesejahteraan setiap individu masyarakat dengan pengaturan yang cermat dan berlandaskan syari'at akan terwujud distribusi secara merata sehingga mampu mengentaskan kemiskinan hingga mencegah food waste. Dalam pengaturan ekonominya islam menempatkan distribusi sebagai persoalan utama, mendistribusikan bahan makanan pada warga yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang miskin dan tidak bisa makan.
Pada saat yang sama, Khilafah menyediakan dana yang besar dari baitulmal, untuk memastikan tiap-tiap rakyat bisa makan secara layak. Dengan begitu, harapannya tidak ada orang yang kelaparan, juga tidak ada pangan yang menumpuk dan terbuang sia-sia.
Negara juga akan membuka lowongan pekerjaan disistem pertanian, industri, perkebunan, perdagangan hingga jasa hal ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Negara juga menjamin pendidikan kesehatan dan keamanan setiap warga negaranya secara cuma-cuma. Selain itu negara melarang aset-aset Sumber Daya Alam dikuasai swasta atau pemilik modal karena pada dasarnya harta tersebut adalah milik rakyat.
Kesejahteraan ini didukung oleh pengkondisian masyarakat agar beriman dan bertaqwa sehingga memilih gaya hidup yang berkah melalui pendidikan islam yang berbasis aqidah islam. Individu dalam daulah khilafah akan dididik agar memiliki kepribadian islam sehingga pola pikir dan pola sikapnya islami. Individu dan masyarakat akan dibina berdasarkan gaya hidup yg diridhai Allah SWT. Mereka akan memiliki gaya hidup bersahaja. Mereka hanya akan membeli barang sesuai dengan kebutuhan dan tidak menumpuknya tanpa dimanfaatkan apalagi membuangnya. Mereka tidak berperilaku konsumtif apalagi berfoya-foya hanya demi eksistensi diri karena paham kelak segalanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu penerapan sistem pendidikan dalam khilafah mampu mencetak individu yang bijak bersikap dalam mengolah dan mengatur konsumsi makanan. Selain itu islam menetapkan hukum zakat, waris dan sedekah sunnah sebagai mekanisme distribusi harta, masyarakat dalam berlomba sedekah dan wakaf sebagai amal jariyah untuk akhirat mereka. Demikianlah islam menghapuskan konsumerisme ditengah masayarakat yang memadukan ketaqwaan individu dan peran negara yang tidak mengabaikan hukum-hukum Allah SWT.
Wallahu A'lam Bishowab