UU KIA, untuk Menyejahterakan Ibu dan Anak atau Kepentingan Ekonomi ?




Oleh : Bunda Twins



Kementerian Ketenagakerjaan menyambut baik persetujuan DPR RI atas RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang. Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebutkan UU KIA diyakini akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh.
"Pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas," ungkap Putri dalam keterangan resminya, Jumat (7/6/2024).

Putri mengatakan, Kemnaker merupakan salah satu bagian dari kementerian yang terlibat dalam pembahasan RUU KIA selain KPPPA, Kemensos, Kemendagri, dan Kemenkumham. Melalui keterlibatannya, pihaknya memastikan bahwa pengaturan-pengaturan dalam RUU KIA tidak bertentangan dengan aturan-aturan ketenagakerjaan lainnya.

Aturan lainnya itu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), maupun Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).

"Kami telah memastikan bahwa apa yang diatur dalam UU KIA tersebut terutama yang kaitannya dengan ibu yang bekerja yang melahirkan, menyusui, dan keguguran serta pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran, tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja," tambahnya.

Secara spesifik, beberapa pengaturan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagakerjaan adalah cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja. Selain itu, setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Selama masa cuti tersebut mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan keempat. kemudian 75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.

Selain itu, mereka yang mengambil cuti tersebut tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan aturan-aturan ketenagakerjaan.

"Ketentuan mengenai cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja yang diatur dalam UU KIA merupakan bentuk penguatan dari ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yang mana ketentuan mengenai hal tersebut tidak dilakukan perubahan dalam UU Cipta Kerja," jelasnya.

Selain ibu yang melahirkan, UU KIA juga mengatur hak suami untuk cuti pendampingan istri pada masa persalinan, yaitu selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.

Bentuk perlindungan lainnya bagi ibu yang bekerja yang melahirkan adalah hak waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran; serta kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja.

Ia menambahkan, selain penguatan perlindungan pekerja/buruh, UU KIA juga mempertegas aspek kesejahteraan pekerja/buruh melalui penyediaan fasilitas kesejahteraan pekerja.

--
UU KIA Disusun Berdasarkan Perspektif Materialistis.
--

UU KIA seolah-olah dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Namun, ternyata hal yang mendasari lahirnya UU ini bukanlah semangat untuk menyejahterakan keduanya, melainkan peraihan target ekonomi. Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menjelaskan bahwa pengesahan UU KIA membuktikan bahwa negara terus bergerak membangun dunia kerja yang inklusif dan produktif bagi perempuan.

Menurutnya, UU ini akan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja dan kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas nasional. Selama ini kendala-kendala maternitas dan reproduksi menjadi alasan utama yang menghambat kaum perempuan berpartisipasi di dunia kerja.

Tampak dari penjelasan ini bahwa UU KIA lebih kental aroma pemberdayaan ekonomi perempuan daripada jaminan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Dengan disahkannya UU ini, perempuan didorong untuk bekerja karena meski bekerja, ia masih bisa merawat anaknya pascapersalinan karena ada cuti melahirkan yang cukup panjang.

Namun, apakah cuti tersebut akan cukup untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak? Sementara itu, negara minim dalam memfasilitasi para ibu. Tidak ada jaminan kesehatan gratis bagi ibu dan anak. Juga tidak ada jaminan tersedianya makanan bergizi seimbang bagi ibu dan anak.

Begitu juga tidak ada jaminan bahwa ibu bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan menyempurnakannya hingga dua tahun. Bahkan bagi ibu tanpa masalah medis, jatah cuti hanya tiga bulan.

Negara juga tidak memberikan jaminan pekerjaan bagi kepala keluarga (laki-laki/bapak) sehingga banyak PHK dan ibu pekerja harus menanggung beban ekonomi keluarga. Bisa dibayangkan, betapa beratnya beban ibu. Sudahlah terbebani secara mental karena harus meninggalkan anak bayi untuk bekerja, ditambah lagi harus terbebani menanggung nafkah keluarga. Sungguh melelahkan. Lantas di mana sisi sejahteranya?

Beginilah ketika kesejahteraan dipandang dengan perspektif kapitalisme, kesejahteraan hanya diukur berdasarkan capaian materi. Tidak ada tempat bagi dimensi ruhiyah. UU KIA disusun berdasarkan perspektif materialistis ini. Kesejahteraan ibu dan anak yang hendak diwujudkan mengacu pada pencapaian materi, yaitu bahwa ibu masih bisa bekerja mendulang rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi meski sedang memiliki bayi.

Oleh karenanya, target-target materi dinomorsatukan dalam kapitalisme, misalnya pertumbuhan ekonomi, kinerja industri, tingkat produksi, dan hal sejenis. Sedangkan hal-hal yang bersifat ruhiyah diabaikan.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Kesejahteraan dalam perspektif Islam tidak didominasi ukuran materi, tetapi sangat memperhatikan aspek ruhiyah. Indikator kesejahteraan ibu dan anak dalam Islam tidak lepas dari posisinya sebagai hamba Allah.

Oleh karenanya, ibu disebut sejahtera bukan karena menghasilkan rupiah, tetapi ketika ia bisa menjalankan fungsi dan tugas yang telah Allah Swt. tetapkan baginya, yaitu sebagai pengasuh dan pendidik bagi anaknya. Fungsi hadanah dan tarbiah ini menjadi aspek penting untuk mengukur kesejahteraan ibu dalam pandangan Islam.

--
Butuh Solusi Komprehensif
--

Demikianlah, persoalan kesejahteraan ibu dan anak butuh solusi komprehensif, bukan semata cuti dan gaji. Jika diringkas, kesejahteraan ibu dan anak melibatkan beberapa aspek berikut:

1. Model negara yang melayani rakyat, bukan memalak. Jika model negara masih seperti hari ini yang memosisikan rakyat sebagai konsumen sehingga kalau ada uang akan disayang dan kalau tidak ada uang akan ditendang, kesejahteraan ibu dan anak mustahil akan terwujud.

2. Sistem ekonomi yang diterapkan haruslah menyejahterakan. Kapitalisme terbukti menjadikan kekayaan berputar di segelintir pengusaha kapitalis saja sedangkan rakyat harus berebut remah-remah.

3. Sistem sosial harus menempatkan peran ibu sebagai pencetak generasi, yaitu fungsi pengasuhan dan pendidikan anak (hadanah dan tarbiah), sebagai hal yang penting dan utama.

Tiga aspek ini semuanya hanya terwujud di dalam sistem Islam, yaitu Khilafah. Islam menegaskan fungsi imam (pemimpin negara) adalah sebagai ra’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) rakyatnya hingga terpenuhi semua kebutuhannya, baik kebutuhan dasar maupun pelengkap.

Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan mengembalikan kepemilikan umum berupa tambang, laut, hutan, sungai, dll. dari swasta kepada rakyat. Negara akan mengelola kepemilikan umum tersebut dan mengembalikan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat dalam bentuk jaminan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan gratis sehingga rakyat tidak terbebani. Khilafah juga menjamin lapangan pekerjaan untuk para laki-laki balig sehingga ia bisa menafkahi keluarganya dan para ibu bisa fokus mengasuh dan mendidik anak tanpa terganggu oleh tekanan ekonomi.

Khilafah juga menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk ibu dan anak sehingga dipastikan keduanya mendapatkan makanan bergizi seimbang dengan mudah. Negara juga memastikan ketersediaan rumah yang layak dan sehat untuk keluarga sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Tidak lupa, negara juga menyediakan tempat bermain seperti taman dan lainnya secara gratis dan dalam jumlah yang mencukupi sehingga anak bisa bereksplorasi dan keluarga bisa memenuhi kebutuhan jiwanya.

Negara Khilafah sangat memperhatikan pendidikan generasi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Seseorang mendidik anaknya itu lebih baik baginya daripada ia menyedekahkan (setiap hari) satu sha'” (HR At-Tirmidzi).

Semua hal yang dibutuhkan untuk mencetak generasi berkualitas akan disediakan oleh negara. Negara mendukung dan memfasilitasi para ibu agar perannya sebagai pendidik generasi bisa optimal dan para ibu tidak akan dibebani secara ekonomi.

Inilah solusi nyata sistem Islam untuk mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak. Dengan solusi ini, ibu dan anak akan sejahtera secara hakiki, tidak hanya pada seribu hari pertama, tetapi sepanjang hidupnya. Wallahualam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak