Oleh : Ummu Hayyan, S.P.
(Pegiat Literasi)
Pada Selasa, 4 Juni 2024, DPR RI menyetujui pengesahan rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi Undang-Undang. Pengesahan UU KIA dilakukan dalam rapat paripurna DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. nasional.tempo.co
Wakil ketua komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, menjamin Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, tidak akan mendiskriminasi perempuan. Hal itu merespon anggapan UU KIA dinilai mendiskriminasi perempuan di tempatnya bekerja. tirto.id
UU KIA, akankah Membawa Kebahagiaan?
Pengesahan RUU KIA menjadi Undang-Undang dianggap akan membawa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja.
Memang, saat ini perempuan dikatakan berdaya ketika mampu menghasilkan uang melalui bekerja. Cara pandang demikian lahir dari sistem kapitalisme. Kapitalisme adalah ideologi barat. Orientasi hidupnya fokus untuk mencari materi. Sehingga ideologi ini mengukur keberhasilan atau penghargaan dari sisi materi. Inilah yang menjadi steriotipe perempuan berdaya dan produktif adalah perempuan yang bekerja.
Sistem kapitalisme telah membuat kaum muslimin hilang arah dalam mencari solusi atas permasalahan ini. Sistem ini dibangun dari aqidah batil bernama sekulerisme. Akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Pemisahan ini yang menjadikan kaum muslimin sibuk berdiskusi dan berdebat sekitar metode untuk mengatasi persoalan. Mereka sibuk membuat undang-undang yang diharapkan mampu menciptakan keluarga yang utuh dan bahagia. Padahal, akar masalahnya adalah penerapan sistem Sekulerisme - Kapitalisme yang telah mematikan fitrah perempuan sebagai seorang ibu.
Fitrah perempuan sebagai seorang ibu adalah tugas mulia. Karena, hal ini memiliki peran yang sangat strategis dan memiliki dampak besar bagi sebuah peradaban. Dari tangan-tangan perempuan yang menjadi Ibu, maka diberi amanah besar untuk mendidik, mendampingi, merawat anak-anaknya yang akan mengisi peradaban. Tentu, tugas ini tidak akan setimpal dengan pemberian cuti 6 bulan saja karena anak butuh didampingi dan diberi pengasuhan terbaik dari ibu sampai usia mumayyiz_ bahkan hingga usia baligh.
Jika penguasa negeri ini benar-benar ingin memuliakan perempuan, yang notabene seorang ibu, maka seharusnya aturan yang mereka sahkan adalah aturan yang mengembalikan peran perempuan sesuai fitrahnya yakni sebagai al - Umm wa Rabbatul Bayt.
Islam Memuliakan Perempuan
Satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan aturan yang dapat mengembalikan fitrah perempuan hanyalah sistem Islam. Dengan pandangan menyeluruh terkait syariat Islam, maka perempuan akan dipandang sebagaimana syariat Islam memandangnya.
Rasulullah SAW bersabda : "setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya.
Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang perempuan, memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya, ia akan ditanya tentang kepemimpinannya" (HR. Bukhari)
Menjalankan peran sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt tidak mudah. Peran ini membutuhkan kesabaran, keikhlasan, keluasan ilmu dan tabiah motherhood pada diri perempuan. Karena itu, Rasulullah SAW memberi kabar gembira dalam sabdanya :
"barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik terhadap mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka" (HR. Bukhari Muslim dan Tirmidzi)
Islam memberi motivasi aqidah untuk para ibu agar dapat menjalankan perannya sebagai al Umm wa Robbatul Bayt.
Namun, secara teknis, Islam memiliki aturan agar peran strategis dan politis bisa berjalan secara all out.
Melalui sistem ekonomi Islam, negara akan memastikan setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memberi nafkah keluarganya. Sehingga laki-laki dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya secara ma'ruf. Seorang ibu tidak khawatir dengan masalah finansial keluarga. Dia akan fokus membangun profil generasi cemerlang di rumah-rumah mereka.
Di sisi lain, negara bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan dasar publik. Yaitu meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan. Semua kebutuhan publik itu diperoleh masyarakat secara gratis. Jika nafkah dalam keluarga sudah terjamin oleh peran suami dan kebutuhan publik dijamin oleh negara, maka perempuan akan sangat dimudahkan menjalankan perannya. Bahkan, tidak ada alasan bagi perempuan bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
Bekerja adalah pilihan bagi perempuan. Motivasinya adalah Untuk memanfaatkan ilmunya bagi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Negara akan memberi regulasi jam kerja agar tidak melalaikan peran utama perempuan sebagai al Umm wa Rabbatul Bayt.
Jelas, bahwa hanya Islam yang tulus memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak demi membangun profil generasi cemerlang. Islam memuliakan perempuan dengan semua peran fitrahnya.
Wallaahu a'lam bish-shawwab
Tags
Opini